Meluruskan Salah Kaprah Periode Jabatan Legislatif

Meluruskan Salah Kaprah Periode Jabatan Legislatif

Salah satu kasus yang saat ini mencuat adalah gugatan ke Mahkamah Konstitusi mengenai periode jabatan anggota DPR RI. Dalil utama penggugat adalah, jika jabatan eksekutif dibatasi 2 periode, mengapa jabatan legislatif di DPR RI tidak dibatasi periode yang sama?

Pernyataan ini sesungguhnya menggambarkan kekeliruan dalam melihat keseluruhan sistem politik dan ketatanegaraan kita. Jabatan presiden hingga bupati/wali kota berada dalam rumpun eksekutif sebagai penyelenggara negara dan atau penyelenggara pemerintahan di level provinsi hingga kabupaten/kota.

Sementara DPR-MPR berada di rumpun legislatif dengan tiga fungsi utama; membuat undang-undang; menetapkan anggaran; dan melakukan fungsi pengawasan. Melalui pemisahan ini jelas dan tegas bahwa wewenang, tugas dan fungsi eksekutif dan legislatif berbeda.

Penjelasan mengenai rumpun yang berbeda ini penting agar ada pemahaman yang menyeluruh tentang perbedaan legislatif dan eksekutif. Kenapa UU bahkan UUD 1945 memberikan periodisasi yang tegas untuk rumpun eksekutif hanya 2 periode? Semata-mata karena kewenangan pihak eksekutif yang sangat besar dalam menjalankan pemerintahan, baik pusat maupun daerah.

Presiden, gubernur hingga bupati dan wali kota memiliki perangkat pemerintahan dalam menyelenggarakan negara. Mereka juga berhak menetapkan kuasa pengguna anggaran sehingga mampu mengalokasikan anggaran pembangunan sesuai rencana pembangunan atau justru "membelokkannya" untuk kepentingan kelompok atau golongan.

Karena itu, di antara ide utama pembatasan jabatan eksekutif adalah agar tidak ada abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan dalam menyelenggarakan negara.

Sementara fokus legislatif adalah fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan negara. Bahkan dalam penyusunan UU dan anggaran, legislatif harus tetap membahasnya dengan eksekutif. Karena itu dalam konteks ini, membandingkan secara setara jabatan eksekutif dan legislatif tentu tidak apple to apple.

Perlu dipahami bahwa pencalonan legislatif bukan hanya sekadar dalam ruang kampanye publik. Ada ruang dinamika politik yang kompleks di internal partai politik dalam penentuan bakal calon legislatif menjadi calon legislatif (caleg).

Seorang bakal caleg harus bersaing dengan bacaleg lainnya untuk meyakinkan partai agar menjadi caleg untuk maju dan berkontestasi di dapil tersebut. Dengan kata lain, sebelum bertarung di gelanggang Pemilu, seorang bacaleg "bertempur" dulu dengan bacaleg lainnya untuk mendapatkan nominasi dari partainya.

Artinya, argumentasi bahwa caleg pendatang baru tidak fair menghadapi kekuatan caleg petahana di pemilu tidak sepenuhnya benar. Semua bacaleg yang ditetapkan partai menjadi "caleg tetap" telah melalui saringan ketat, di mana salah satu kriterianya adalah para caleg memiliki kekuatan dan daya juang untuk bersaing diantara sesama agar kursi di dapil tersebut dapat direbut (atau dipertahankan).

Perlu ditegaskan kembali di sini bahwa pada akhirnya adalah rakyat yang memilih dan menentukan siapa yang mereka kehendaki untuk duduk sebagai wakilnya di DPR. Tidak ada jaminan bahwa petahana yang dianggap memiliki akses pada program otomatis melenggang kembali ke DPR. Banyak contoh di dalam setiap pemilu di mana anggota dewan petahana kalah dengan pendatang baru, bahkan di Pemilu 2024 baru-baru ini.

Rakyat pada akhirnya adalah pemegang mandat tertinggi dan menentukan siapa yang mereka kehendaki melalui mekanisme reward and punishment.

Ketika caleg yang juga anggota DPR petahana ternyata tidak memberikan kinerja yang memenuhi aspirasi masyarakat, maka di pemilu selanjutnya tentu akan dihukum dengan tidak dipilih lagi oleh warga di dapil.

Sebaliknya, bagi caleg yang juga anggota DPR memberikan kinerja baik dengan memenuhi aspirasi masyarakat, tentu akan diberikan reward, yaitu dipilih kembali sebagai wakil rakyat di dapilnya. Artinya keterpilihan petahana merupakan faktor yang kompleks yang tidak otomatis akan mendapatkan kursinya kembali di pemilu selanjutnya.

Salah satu dalil lain yang diajukan pemohon adalah mengenai maraknya money politics yang dianggap memuluskan langkah petahana. Ini dalil yang menjelaskan bahwa ada permasalahan besar di dalam sistem demokrasi kita. Sayangnya pemberantasan politik uang tidak bisa dilakukan melalui pembatasan masa bakti anggota legislatif.

Solusi terbaik untuk mencegah maraknya praktik politik uang adalah dengan menguatkan penegakan hukum dan memperkuat kelembagaan dari Bawaslu serta aparat penegak hukum lainnya. Pemberian sanksi tegas dan tanpa pandang bulu terhadap pelaku money politics tentu akan menyurutkan niat pihak-pihak lainnya untuk melakukan hal serupa.

Mari kita benahi sistem pemilu ke depan agar penyelenggaranya bisa fair dan akuntabel. Ini prioritas utamanya dan bukan justru membatasi sesama caleg untuk bisa berkontestasi dan berkompetisi mendapatkan amanat dari rakyat.

Eddy Soeparno Wakil Ketua MPR RI

Sumber