Memaafkan Koruptor: Oleh Siapa, untuk Siapa?

Memaafkan Koruptor: Oleh Siapa, untuk Siapa?

"SAYA dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, memberi kesempatan untuk tobat, hei para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya, mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong," ujar Presiden Prabowo dalam pidatonya di hadapan mahasiswa Indonesia di Al-Azhar Mesir, ditayangkan melalui Youtube Sekretariat Presiden, Kamis, 19 Desember 2024.

Penggalan kalimat ini merupakan Pidato Presiden Prabowo Subianto. Dalam pidatonya, Prabowo juga menyampaikan bahwa tak mempermasalahkan jika koruptor mengembalikan uang dengan sembunyi-sembunyi.

Adapun penggalan statementnya yang menjadi sorotan publik adalah, “Cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya enggak ketahuan, mengembalikannya lho ya. Tapi kembalikan.”

Statement dari seorang Presiden ini akhirnya menjadi perdebatan publik di media sosial. Adapun yang menjadi perdebatan mulai dari ‘memberikan kesempatan tobat’, ‘mengembalikan uang dengan sembunyi-sembunyi supaya engga ketahuan’, ‘kembalikan lalu dimaafkan’.

Tentu ini menjadi pertanyaan, apakah statement ini sebenarnya hanya sekadar gurauan di tengah pidato atau memang normative statement yang jadi perintah dari Presiden Republik Indonesia.

Pada hari yang sama, 19 Desember 2024, Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra memberikan respons bahwa usul dari Presiden Prabowo untuk memaafkan koruptor asal mengembalikan kerugian negara merupakan bagian dari amnesti.

Yusril juga menyampaikan bahwa apa yang diucapkan oleh Prabowo juga sesuai dengan kewenangan Presiden dalam Konstitusi.

Sementara itu, dalam konferensi pers Pimpinan KPK, Jumat, 20 Desember 2024, Setyo Budiyanto menilai pernyataan dari Presiden tersebut masih secara umum, hanya untuk beberapa perkara, sehingga perlu pendetailan dari pembantu Presiden.

Memang pernyataan dari Presiden Prabowo yang paling mencolok adalah, ‘Cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya nggak ketahuan’.

Tentu menjadi pertanyaan, bagaimana pengembalian secara diam-diam oleh koruptor kepada negara?

Bukankah pengembalian kerugian negara ke kas negara harus melalui lembaga negara juga, seperti Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atau lembaga berwenang?

Jika merujuk pada biaya sosial korupsi (Social Cost of Corruption) dikenal istilah biaya implisit, artinya ada biaya oportunitas yang ditimbulkan akibat korupsi.

Misalnya, cicilan bunga yang semakin besar, domino effect sebelum dan sesudah adanya korupsi, serta biaya yang hilang akibat sumber daya yang hilang karena adanya korupsi.

Contoh nyatanya, bagaimana jika uang negara tersebut justru diinvestasikan dulu oleh koruptor baru dikembalikan kepada negara?

Artinya, kerugian negara yang ditimbulkan bukan hanya soal jumlah yang diambil, tapi dampaknya terhadap sosial masyarakat.

Koruptor jelas dan tegas dalam undang-undang disebut sebagai ‘extraordinary crime’ atau kejahatan luar biasa, mengingat dampaknya yang sangat merusak terhadap negara dan masyarakat.

Korupsi tidak hanya melibatkan perbuatan individu yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, tetapi juga menjerumuskan bangsa dalam berbagai krisis ekonomi, sosial, dan politik.

Kejahatan ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara, memperlebar ketimpangan sosial, dan menghambat pembangunan berkelanjutan. Apa mungkin kejahatan seperti ini bisa dimaafkan begitu saja?

Memaafkan koruptor oleh siapa dan untuk siapa sebenarnya? Pertanyaan ini jadi renungan (kontemplasi) bagi pemerintah dan rakyat.

Apakah mungkin pemerintahan yang berasal dari rakyat mau begitu saja memaafkan koruptor yang telah mengkhianati kepercayaan rakyat dan merugikan negara secara multidimensional?

Dan, apa mungkin rakyat mau memaafkan koruptor yang telah mengkhianati kepercayaannya?

Memaafkan koruptor adalah isu kompleks, yang melibatkan pertimbangan moral, hukum, dan sosial.

Sebagian kalangan berargumen bahwa memaafkan adalah langkah yang bisa memberi kesempatan bagi pelaku untuk berubah dan berkontribusi kembali kepada masyarakat.

Namun, bagaimana mungkin dalam konteks kejahatan yang berdampak luas bisa selesai dengan kata ‘dimaafkan’.

Koruptor seringkali beroperasi dalam jaringan lebih besar dan dapat memengaruhi kebijakan publik, mendistorsi alokasi sumber daya, dan menghambat program pembangunan yang dirancang untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks ini, memberikan maaf kepada koruptor bisa dilihat sebagai bentuk pengabaian terhadap hak-hak masyarakat yang telah dirugikan.

Pada akhirnya, pertanyaan tentang apakah kita harus memaafkan koruptor adalah pertanyaan yang tidak hanya berkaitan dengan hukum, tetapi juga dengan keadilan sosial.

Memaafkan bukanlah suatu tindakan yang dapat dilakukan begitu saja tanpa mempertimbangkan dampak lebih luas terhadap masyarakat, integritas sistem hukum, dan keberlanjutan pembangunan negara.

“Ibarat kapal tanpa nahkoda yang tidak tahu arahnya ke mana, terkadang oleng ke kiri, terkadang oleng kanan.”

Perumpamaan di atas sebenarnya ingin menunjukkan kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia yang kian hari semakin terombang-ambing.

Mulai dari kasus korupsi di KPK yang tidak tuntas, KPK yang independennya sekadar formalitas, Kejaksaaan Agung yang tidak tegas, banyaknya oknum Polri yang culas, hingga skandal korupsi Hakim Mahkamah Agung yang sangat di luar batas.

Lalu, siapa yang bisa dipercaya?

Sebagai masyarakat biasa, yang bisa kita lakukan hanya berharap sistem pemberantasan korupsi masih berfungsi sebagaimana mestinya.

Jika memang maksud dari Presiden Prabowo sebenarnya ingin mengedepankan pencegahan dan pemulihan aset, tentu ini adalah strategi yang harus didukung sebagaimana tertuang dalam Konvensi PBB (UN Convention Against Corruption) tahun 2006 yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

Mengedepankan pencegahan dan pemulihan aset, sebenarnya bukan berarti menghapuskan pidana dari koruptor sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengembalian kerugian negara menjadi faktor yang meringankan bagi koruptor atas hukuman dari majelis hakim.

Jika memang pemerintah ingin mengedepankan pencegahan dan pemulihan aset sebagai upaya pemberantasan korupsi, bukan berarti seolah-olah menganggap penindakan menjadi upaya yang ‘toxic’.

Di tengah semakin membludaknya korupsi di Indonesia, mulai dari level pusat hingga desa, justru upaya penindakan memberikan efek jera dan rasa takut untuk korupsi kepada penyelenggara negara hingga masyarakat.

Jangan sampai narasi pemberantasan korupsi yang tidak tegas dari pemerintah, akhirnya mengubah persepsi masyarakat bahwa tindak pidana korupsi dari ‘extra ordinary crime’ menjadi ‘ordinary crime’, dari koruptor adalah penjahat luar biasa menjadi penjahat ringan.

Secara keseluruhan, pemberantasan korupsi di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih holistik, yaitu dengan menggabungkan penindakan tegas, pencegahan atas perbaikan sistem, serta pemulihan aset hasil korupsi yang sistematis.

Penegakan hukum yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memberi efek jera. Mereformasi sistem untuk menutup celah korupsi, serta memulihkan aset sebagai langkah menciptakan pemerintahan yang sehat.

Sumber