Memahami Gen Z di Tempat Kerja

Memahami Gen Z di Tempat Kerja

Dalam beberapa tahun terakhir, generasi Z (Gen Z) telah memasuki dunia kerja dengan semangat dan harapan yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh besar dengan teknologi digital yang berkembang pesat, serta menghadapi tantangan sosial dan ekonomi yang berbeda. Penting bagi perusahaan untuk memahami nilai dan preferensi Gen Z untuk menciptakan tempat kerja yang tidak hanya menarik bagi mereka, tetapi juga mendukung produktivitas dan kesejahteraan mereka.

Membangun tempat kerja yang ramah Gen Z memerlukan perhatian khusus terhadap aspek fleksibilitas, pengembangan karier, penggunaan teknologi, serta keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka menginginkan lebih dari sekadar gaji tinggi; mereka ingin pekerjaan yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka, termasuk keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.

Fleksibilitas

Salah satu karakteristik utama Gen Z adalah keinginan mereka untuk memiliki fleksibilitas dalam pekerjaan. Mereka tidak ingin terikat pada jam kerja tradisional 9-to-5 atau lokasi kantor yang kaku. Gen Z lebih suka memiliki opsi untuk bekerja dari rumah atau memilih jam kerja yang sesuai dengan gaya hidup mereka.

Perusahaan perlu menawarkan kebijakan fleksibel, seperti pekerjaan jarak jauh (remote working) atau pengaturan kerja hibrid, yang memungkinkan karyawan untuk bekerja dari mana saja dan kapan saja. Hal ini memberikan mereka kebebasan untuk menyeimbangkan pekerjaan dengan kehidupan pribadi, yang sangat penting untuk kesejahteraan mereka. Perusahaan yang menawarkan fleksibilitas ini dapat menjadi lebih menarik bagi Gen Z yang mencari kebebasan dan kenyamanan dalam bekerja.

Generasi Z tumbuh dalam dunia yang serba digital, sehingga mereka mengharapkan tempat kerja yang mendukung penggunaan teknologi terbaru. Penggunaan alat kolaborasi digital, seperti Slack, Microsoft Teams, atau Zoom, sangat dihargai oleh Gen Z, karena ini memudahkan komunikasi dan kolaborasi yang efisien.

Selain itu, perusahaan juga harus memastikan bahwa sistem internal yang digunakan, seperti manajemen proyek atau platform kerja, mudah diakses dan user-friendly. Dengan memastikan bahwa tempat kerja menggunakan teknologi yang canggih, perusahaan tidak hanya meningkatkan produktivitas tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang lebih menarik bagi Gen Z.

Gen Z sangat menghargai kesempatan untuk belajar dan berkembang. Mereka lebih memilih bekerja di perusahaan yang menyediakan peluang untuk pelatihan, pengembangan keterampilan, dan kemajuan karier. Oleh karena itu, perusahaan perlu menawarkan program pelatihan yang berkelanjutan, kesempatan untuk belajar keterampilan baru, serta jalur karier yang jelas. Selain itu, mentoring dan coaching dapat menjadi cara yang efektif untuk membantu Gen Z berkembang secara profesional.

Gen Z cenderung mencari pekerjaan yang tidak hanya memberikan penghasilan tetapi juga kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai individu. Maka dengan itu, perusahaan yang mendukung pengembangan karier dan memberikan ruang bagi Gen Z untuk belajar dan bereksperimen cenderung lebih disukai oleh mereka.

Penting untuk dipahami bahwa Gen Z adalah karyawan masa depan, dan cara mereka memandang dunia kerja sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih memilih fleksibilitas, transparansi, dan terutama, tempat kerja yang mendukung keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance) yang sehat. Perusahaan yang ingin mempertahankan talenta muda ini harus fokus pada dua aspek yang sangat penting employer branding yang kuat dan penerapan kebijakan work-life balance yang relevan.

Citra

Employer branding adalah citra yang dibangun perusahaan di mata calon karyawan, dan ini menjadi semakin penting pada era digital. Gen Z, yang sangat bergantung pada media sosial dan informasi online, seringkali mencari tahu lebih banyak tentang nilai-nilai perusahaan sebelum memutuskan untuk melamar pekerjaan.

Mereka tidak hanya tertarik pada seberapa besar gaji yang ditawarkan, tetapi lebih pada apakah perusahaan tersebut memiliki misi dan visi yang sesuai dengan nilai pribadi mereka, terutama dalam hal keberagaman, inklusivitas, dan keseimbangan kehidupan kerja. Gen Z cenderung mencari perusahaan yang tidak hanya menawarkan kesempatan karier yang baik, tetapi juga perusahaan yang mendukung kesejahteraan mental dan fisik karyawan.

Sebuah studi dari LinkedIn menunjukkan bahwa 75% pekerja muda menganggap pentingnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi dalam memilih pekerjaan. Oleh karena itu, perusahaan yang ingin menarik Gen Z harus menonjolkan citra positif terkait budaya perusahaan yang mendukung kesejahteraan karyawan, termasuk kebijakan fleksibilitas waktu kerja, kerja jarak jauh (remote work), dan program kesejahteraan.

Menurut Sihotang, et al., (2024) employer branding memiliki pengaruh positif terhadap turnover intention yang artinya semakin tinggi employer branding yang dilakukan oleh perusahaan maka semakin tinggi juga niat karyawan ingin keluar (turnover intention) dari perusahaan. Employer branding menjadi sangat penting, terutama dalam konteks generasi Z, karena mereka memiliki ekspektasi yang lebih tinggi terhadap perusahaan tempat mereka bekerja dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Gen Z tidak hanya mencari pekerjaan untuk mendapatkan gaji, tetapi juga untuk merasa terhubung dengan nilai dan tujuan perusahaan. Mereka cenderung mencari organisasi yang memiliki reputasi baik dalam hal budaya kerja, tanggung jawab sosial, serta komitmen terhadap keberagaman dan inklusivitas.

Dalam era digital saat ini, informasi mengenai perusahaan sangat mudah diakses melalui media sosial dan platform online lainnya, sehingga citra perusahaan dapat dengan cepat terbentuk di mata calon karyawan. Employer branding yang kuat dan autentik membantu perusahaan untuk menarik perhatian Gen Z yang selektif dalam memilih tempat bekerja.

Gen Z juga lebih cenderung berkomitmen pada perusahaan yang mereka anggap memiliki nilai yang sejalan dengan prinsip mereka, seperti keberlanjutan dan dukungan terhadap isu-isu sosial. Berthon (2005) menyatakan bahwa upaya perusahaan dalam menerapkan konsep employer branding di antaranya dapat melalui penanaman lima nilai atau value yang terdiri dari nilai sosial, nilai ekonomi, nilai ketertarikan, nilai pengembangan dan nilai aplikasi.

Perusahaan dituntut untuk dapat memberikan competitive advantages yang setidaknya mencakup tiga jenis manfaat, yakni manfaat ekonomis, manfaat psikologis dan manfaat fungsional (Amelia, 2018).

Keseimbangan

Work-life balance, atau keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, telah menjadi salah satu prioritas utama bagi Gen Z. Keseimbangan ini bukan hanya soal memiliki waktu untuk bersantai atau berlibur, tetapi juga tentang menjaga kesehatan mental, fisik, dan emosional, yang kini menjadi perhatian utama dalam menghadapi tuntutan dunia kerja yang semakin kompleks.

Menurut survei yang dilakukan oleh Gallup, lebih dari 40% pekerja Gen Z merasa bahwa perusahaan mereka tidak memberikan cukup perhatian pada keseimbangan kehidupan kerja. Mereka menginginkan fleksibilitas untuk bekerja dari rumah, mengatur jadwal kerja mereka sendiri, dan memiliki waktu untuk beristirahat tanpa merasa terganggu oleh tuntutan pekerjaan yang terus-menerus.

Seseorang yang mampu menyeimbangkan antara urusan pekerjaan dengan kehidupan di luar pekerjaan maka akan cenderung bekerja dengan produktif. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nafiudin (2015), jika seseorang tidak dapat mengatur work-life balance antara pekerjaan dan kehidupan pribadi maka dapat diindikasikan seseorang tersebut akan memilih berhenti untuk bekerja.

Bagi Gen Z, bekerja di perusahaan yang memahami pentingnya work-life balance adalah salah satu faktor utama dalam memilih pekerjaan. Mereka lebih memilih bekerja di perusahaan yang menawarkan kebijakan fleksibel, seperti jam kerja yang bisa diatur, liburan yang cukup, dan dukungan terhadap kesehatan mental.

Karyawan yang merasa bahwa perusahaan mereka memperhatikan kesejahteraan mereka lebih cenderung merasa loyal dan enggan berpindah kerja. Sebaliknya, jika perusahaan tidak menawarkan keseimbangan tersebut, turnover (perputaran karyawan) akan meningkat, yang tentu saja akan menambah biaya dan merugikan perusahaan dalam jangka panjang.

Tantangan

Menurunkan tingkat turnover karyawan adalah salah satu tantangan utama yang dihadapi banyak perusahaan, dan salah satu cara yang efektif untuk mencapainya adalah dengan menerapkan konsep work-life balance yang lebih baik.

Dharma (2013) menjelaskan ada tiga penyebab utama turnover intention, yaitu pikiran untuk keluar karena tidak puas dengan pekerjaan, keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan yang lebih menjanjikan, dan keinginan untuk keluar dalam beberapa bulan mendatang karena alasan mendesak seperti cuti melahirkan, mengejar studi di luar negeri, dan lain-lain.

Ketika karyawan merasa keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya dihargai, mereka lebih cenderung untuk merasa puas dan terikat dengan perusahaan. Karyawan yang merasa stres atau terjebak dalam budaya kerja yang menuntut tanpa henti, cenderung merasa terbakar (burnout) dan mencari peluang lain yang menawarkan fleksibilitas dan kesejahteraan.

Sebaliknya, perusahaan yang menyediakan kebijakan seperti jam kerja fleksibel, cuti yang memadai, opsi kerja jarak jauh, dan dukungan terhadap kesehatan mental, tidak hanya menunjukkan empati terhadap kebutuhan karyawan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan produktif.

Dengan memberikan ruang bagi karyawan untuk menikmati kehidupan di luar pekerjaan, mereka akan merasa dihargai dan lebih bersemangat dalam berkontribusi di tempat kerja. Akhirnya, ini akan mengarah pada pengurangan turnover, karena karyawan merasa lebih loyal dan berkomitmen terhadap perusahaan yang memperhatikan kesejahteraan mereka, yang pada gilirannya meningkatkan retensi dan kesuksesan jangka panjang organisasi.

Rosida Simamora mahasiswa Universitas Katolik Santo Thomas

Simak juga Video ‘Si Paling Sering Ngeluh saat Bekerja, Ada Apa dengan Gen Z?’

[Gambas Video 20detik]

Sumber