Memaknai Fenomena Kekalahan Petahana di Pilkada
Pilkada Serentak 2024 pada 27 November lalu menyajikan fenomena keoknya sejumlah petahana. Mereka di antaranya petahana Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, yang berpasangan dengan Hasan Basri Sagala kalah dari rivalnya, Bobby Nasution dan Surya di Pilgub Sumatera Utara. Berdasarkan hasil hitung cepat Indikator Politik Indonesia, Edy-Hasan yang disusung PDIP mendapat 37,29 persen, Sedangkan, Bobby Nasution-Surya yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju mendapat 62,71 persen suara.
Petahana Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah yang berpasangan dengan Meriani juga kalah dari pasangan calon (paslon) Helmi Hasan dan Mian. Berdasarkan hasil hitung cepat Citra Publik Lingkaran Survei Indonesia Denny JA, Rohidin-Meriani hanya memperoleh 43,82 persen. Tertinggal dari paslon non petahana, Helmi-Mian yang mendapat 56,18 persen. Rohidin adalah calon gubernur incumbent Bengkulu yang terjerat kasus korupsi.
Arinal Djunaidi, calon gubernur incumbent di provinsi Lampung juga kalah dari lawannya. Berdasarkan hasil hitung cepat Indikator Politik Indonesia, Arinal yang berpasangan dengan Sutono mendapat 17,46 persen suara alias kalah telak dari paslon Rahmat Mirzani Djausal-Jihan Nurlela yang memperoleh 82,54 persen suara. Di Maluku, Calon gubernur petahana, Murad Ismail yang berpasangan dengan Michael Wattimena hanya memperoleh 26,78 persen versi hitung cepat LSI Denny JA. Takluk dari paslon pesaingnya, Hendrik Lewerissa-Abdullah Vanath yang memperoleh 49,23 persen.
Di Kalimantan Timur, calon gubernur petahana Isran Noor yang berpasangan dengan Hadi Mulyadi kalah perolehan suara dari pesaingnya, Rudy Mas’ud-Seno Aji. Berdasarkan hasil hitung cepat Indikator Politik Indonesia, Isran Noor-Hadi hanya memperoleh 43,61 persen. Sedangkan Rudy-Seno unggul dengan 56,39 persen.
Di Nusa Tenggara Barat, calon gubernur petahana Zulkieflimansyah yang berpasangan dengan Suhaili berdasarkan hasil hitung cepat lembaga survei KedaiKOPI kalah dari pesaingnya dengan hanya memperoleh 29,94 persen suara. Bahkan Sitti Rohmi yang berstatus sebagai petahana wakil gubernur kalah dan berada di posisi buncit dengan Raihan suara 27,48 persen. Paslon pemenang justru dari non petahana, yakni Lalu Muhammad Iqbal-Indah Dhamayanti yang mendapat suara terbanyak, 42,22 persen.
Di Nusa Tenggara Timur, 14 petahana bupati/walikota juga mengalami kekalahan serupa dari para rivalnya. Di Kota Kupang misalnya kekalahan incumbent Jefirstson Riwu Kore menandai belum satu pun petahana yang mampu terpilih kembali dalam pemilihan walikota Kupang sejak pilkada langsung dilaksanakan 2004/2005.
Ekspektasi rakyat
Memang ada banyak variabel yang memicu kenapa petahana yang semestinya memiliki privilese elektoral dan kapital yang relatif sudah "tertanam" baik selama lima tahun di masyarakat, nyatanya tak mampu memanfaatkan hal tersebut dan akhirnya tumbang di palagan. Faktor mesin partai pendukung, personalitas politik, strategi politik hingga persepsi atau resistansi publik misalnya bisa menjadi penyebab kalahnya incumbent.
Demokrasi yang makin terbuka dan akomodatif pada persepsi publik karena perkembangan media sosial misalnya, dengan beragam tajuk pikiran warga yang diwadahinya, dan di mana politik juga membutuhkan konstituen yang loyal, membuat kontestasi politik kian dinamis. Di sini, persepsi dan harapan publik menjadi premis dan tolak ukur kesetiaan rakyat terhadap pemimpinnya.
Pada kontestasi yang disertai evaluasi, persepsi dan harapan akan menjadi pembanding bagi rakyat dalam membangun preferensi politiknya di hadapan pemimpin. Pemimpin yang tak mampu menyahuti aspirasi dan harapan rakyat dalam berbagai kebijakannya tentu akan dianggap gagal memimpin. Namun kehendak untuk menghukum pemimpin yang gagal tidak saja semata soal ketidakpuasan, tetapi lebih dari itu sebagai perwujudan normalisasi dan rasionalitas sikap masyarakat di dalam praksis (etis) demokrasi.
Pencanangan demokrasi sebagai instrumen yang memberi karpet merah bagi sirkulasi kepemimpinan dalam wujud kontestasi pilkada misalnya, alih-alih secara intensional menumpuk ambisi politik dan kekuasaan di dalam diri, mestinya memicu kesadaran yang lebih jernih bagi pemimpin, bahwa jabatan dan kekuasaan adalah urusan peluang yang selalu terbuka untuk diraih setiap orang. Termasuk setiap pemimpin memiliki peluang dihukum ketika tak mampu mengelola jarak dengan rakyat. Setiap pemimpin akan ditinggalkan ketika sudah tidak bisa menghasilkan kebijakan yang linear dengan harapan rakyat yang kian meningkat.
John Mueller dalam Presidential Popularity from Truman to Johnson (1970) telah mengingatkan secara imperatif lewat Expectations Gap Theory bahwa pemimpin yang gagal menjaga kepercayaan dan merawat ekspektasi rakyat, tentu akan ditinggal oleh rakyatnya. Dalam masyarakat yang makin terbuka, di mana lalu-lintas informasi yang padat berkelindan dengan rasa dan pengalaman publik yang kian diasah oleh nalar kritis, terlalu rentan bagi pemimpin untuk menyisakan status quo dalam ruang kekuasaannya.
Merawat harapan
Di titik ini, di tengah serbuan catatan kritis terkait isu politik uang dalam berbagai kasus di daerah, di seberang sisi yang lebih optimistis, pilkada kemarin sesungguhnya menghadiahkan sebuah wacana dan kesempatan baru bagi masyarakat untuk belajar mengadili pemimpin yang secara evaluatif dianggap gagal menyumbang perbaikan nyata bagi masa depan rakyat.
Para pemimpin yang selama ini tidur nyaman dalam apropriasi kekuasaan yang mengabdi dan bermakna, merasa sikap dan kesadaran rakyat bisa dikendalikan oleh pencitraan semu belaka, tentu akan selalu berhadapan dengan sanksi politik rakyat. Tentu saja kesadaran punitif seperti ini tidak selamanya berlabuh pada segala konteks masyarakat.
Pada masyarakat yang kecewa terhadap politik karena sekian lama terkungkung oleh politik manipulatif elite-elite politiknya, kejenuhan mereka kerap berujung pada apatisme politik yang membabi-buta. Menganggap semua pemimpin sama saja! Hanya bisa berjanji tapi tak pernah mau menepatinya. Dalam kondisi tertentu ini terlihat misalnya pada partisipasi pemilih yang rendah.
Namun, bagaimanapun, demokrasi adalah ruang untuk terus berproses sambil belajar bagi rakyat. Kemenangan politik yang sampai pada puncak moral dan kebatinan rakyat membutuhkan proses yang penuh dengan narasi-narasi kritis dan tanggung jawab moral-kolektif.
Sebagai sesuatu yang mengesankan, sikap politik rakyat terhadap para incumbent yang gagal dalam pilkada kemarin adalah harapan berpolitik yang perlu dirawat terus dengan penuh kecerdasan, sehingga demokrasi kita tidak semakin kehilangan rasionalitasnya dan selalu menumbuhkan benih-benih harapan baru yang rasional dan memperkuat perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang tak amanah.
Umbu TW Pariangu dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
Simak juga Video ‘Anggota Komisi III DPR Minta Bukti Isu Keterlibatan ‘Partai Cokelat’ di Pilkada’
[Gambas Video 20detik]