Memangkas Birokrasi yang Sekadar Omon-omon Saja

Memangkas Birokrasi yang Sekadar Omon-omon Saja

“Jadi saudara, jangan terlalu banyak kita seminar, terlalu banyak omon-omon. Sekarang, aksi! aksi! aksi! Karena kebutuhan banyak menteri yang hadir, jangan terlalu banyak anggotamu jalan-jalan ke luar negeri. Kalau mau jalan ke luar negeri pakai uang sendiri boleh. Kurangi seminar-seminar, kunjungan kerja, studi banding. Mau studi apa gitu lho. Kalian sudah tahu masalahnya, ngga usah terlalu banyak studi-studi….”

KALIMAT ini datang dari Presiden Prabowo Subianto saat memberikan sambutan dalam acara Deklarasi Gerakan Solidaritas Nasional di Jakarta pada Sabtu, 2 November 2024.

Intinya, Presiden Prabowo meminta menteri dan bawahannya agar tidak banyak menghabiskan anggaran negara untuk kegiatan yang ‘omon-omon saja’, tapi harus melakukan aksi nyata yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat.

Dari sudut reformasi birokrasi, tentu ini menjadi penguatan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien.

Reformasi birokrasi menuntut pentingnya penggunaan anggaran negara yang tepat guna dan tepat sasaran. Artinya, anggaran tersebut harus digunakan sesuai dengan realita permasalahan masyarakat di lapangan.

Pernyatan dari Presiden Prabowo menjadi tamparan keras bagi aparatur negara yang pergi melakukan perjalanan dinas ke luar negeri, tapi tidak memiliki urgensi.

Kenyataan yang terjadi, perjalanan dinas ke luar negeri seringkali dimanfaatkan sebagian aparatur untuk pergi berlibur yang dibungkus dengan rapat, seminar, penandatangan MoU, maupun istilah lainnya, tanpa membawa dampak nyata bagi masyarakat.

Padahal anggaran yang digunakan adalah APBN yang notabene merupakan uang rakyat.

Bagi penulis, pernyataan "kalian sudah tahu masalahnya, ngga usah terlalu banyak studi-studi" merupakan kalimat pamungkas dari Prabowo sebagai tone of the top penyelenggara pemerintahan.

Reformasi birokrasi adalah semangat yang kita tunggu-tunggu di awal pemerintahan Prabowo.

Praktik selama ini, berbodong-bondong aparatur negara melakukan studi banding ke luar negeri, tapi tidak berdampak positif bagi rakyat.

Tidak hanya di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah juga melakukan hal yang sama.

Kalaupun memang memerlukan studi banding ke luar negeri, seharusnya bisa dilakukan dengan rapat melalui daring (video teleconference), tentu bisa menghemat anggaran negara, efektif, dan efisien.

Tidak hanya perjalan dinas ke luar negeri, perjalanan dinas dalam negeri juga pernah disoroti Presiden sebelumnya, Joko Widodo.

“Saya berikan contoh, penyuluh pertanian di APBD Provinsi, engga usah sebut provinsi mana, tujuan untuk meningkatkan SDM Pertanian total anggaran Rp 1,5 miliar, namun Rp 1 miliar digunakan untuk perjalanan dinas,” kata Jokowi di Istana Negara pada 2022.

Dari data tersebut dapat kita lihat, anggaran yang seharusnya digunakan untuk petani, lebih banyak habis untuk perjalanan dinas.

Belum lagi, tidak sedikit aparatur daerah dan anggota DPRD yang membungkus perjalanan dinas ke luar kota dengan istilah ‘audiensi’, ‘rapat koordinasi’, ‘rapat teknis’, atau istilah lainnya yang sebenarnya bisa dilakukan melalui rapat daring maupun menyurati permasalahan kepada instansi yang dituju.

Fakta lain, ditemukan perjalanan dinas fiktif. Sebagai contoh yang saat ini sedang dalam proses penyelidikan, dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) Fiktif di Sekretariat DPRD Provinsi Riau tahun 2020-2021. Ditemukan 35.836 tiket pesawat fiktif.

Kalau kita mengacu kepada tujuh delik tindak pidana korupsi dan istilah kerugian negara dalam peraturan perundang-undangan, perjalanan dinas yang resmi sekalipun, tapi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, maka sudah memenuhi unsur menyebabkan kerugian negara. Apalagi perjalanan dinas fiktif yang sudah jelas terbukti memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

Persoalan ini tentang mental dan kebiasaan yang dijustifikasi dalam dunia birokrasi. Sudah saatnya birokrasi berbenah dimulai dari reformasi struktur kelembagaan, tata kelola, hingga Sumber Daya Manusia (SDM).

Hal tersebut senada dalam penelitian Teguh Wijaya Mulya dan Kanti Pertiwi yang berjudul “It all comes a back to self control? Unpacking the Discourse of Anti-corruption Education in Indonesia".

Secara singkat, pesan dari penelitian itu adalah perbaikan tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan heroisme individu, tapi perlu heroisme secara kelembagaan.

Presiden Prabowo mengawali pemerintahannya dengan instruksi yang tegas untuk tidak lagi sekadar ‘omon-omon saja’. Saatnya aksi nyata menuntaskan persoalan yang dihadapi masyarakat.

Harapannya, instruksi Presiden ini bisa diimplementasikan melalui regulasi dan kebijakan yang memperketat penggunaan anggaran negara, baik APBN/APBD. Anggaran digunakan oleh aparatur tidak dicampuradukkan dengan kepentingan pribadi yang tidak membawa dampak kepada masyarakat.

Tentu, ini adalah upaya dari Presiden untuk memuliakan rakyatnya. Pajak yang dikumpulkan dari kalangan atas, menengah, hingga kecil digunakan secara tepat sasaran memenuhi pemerataan dan kesejahteraan masyarakat.

Sumber