Memastikan Pemberantasan Korupsi Melalui Pemilihan Kepala Daerah
SEOLAH tak ada hentinya, masyarakat terus disuguhkan terungkapnya berbagai dugaan tindak pidana korupsi. Begitu seringnya, masyarakat jadi permisif dengan persoalan korupsi.
Realitas ini tentu sangat memprihatinkan. Kita seperti terus berkubang pada situasi yang jelas-jelas sangat tidak menguntungkan. Membuat sejumlah daerah, progres pembangunannya lambat atau bahkan cenderung stagnan.
Terus maraknya kasus korupsi mengonfirmasi bahwa korupsi adalah persoalan mendasar, tidak saja struktural, kultural, tapi juga personal.
Persoalan struktur karena nyata-nyata telah melekat pada sistem pemerintahan, termasuk juga partai politik, institusi kepolisian dan militer, hingga aparatur penegak hukum.
Sementara persoalan kultur karena ada kelaziman kolektif yang telah diterima menjadi kebiasaan dalam masyarakat di berbagai lingkungan sosial.
Sedangkan persoalan personal karena mentalitas korupsi yang hampir menyatu dalam kepribadian masyarakat pada umumnya, bahkan yang ‘lurus’ dianggap aneh, atau istilah sekarang ‘agak lain’.
Ketika kondisinya telah kronis seperti ini, ketika penyimpangan dalam bentuk korupsi sudah sistematis, dan merusak semua sektor di berbagai tingkat, termasuk lembaga pengawasan, pertanyaan yang muncul kemudian adalah dari mana memulai pemberantasan korupsi?
Secara teori, tentu saja ada berbagai pendekatan dan upaya dalam melawan korupsi, di antaranya pendekatan hukum (law enforcement), pendekatan politik (goodwill), dan pendekatan secara kultur.
Apapun pilihan atau cara dan pendekatan yang digunakan, yang pasti, dalam melawan korupsi, harus dilakukan secara komprehensif dan sungguh-sungguh. Tidak pula tebang pilih atau tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Tak dimungkiri, dengan adanya desentralisasi kewenangan fiskal ke daerah pascaditerapkannya otonomi daerah, pelaku dan locus korupsi yang sebelumnya lebih terpusat di Jakarta, kini menyebar ke seluruh daerah.
Meningkatnya kewenangan penguasa di daerah ternyata tidak diikuti dengan peningkatan akuntabilitas dan transparansi dari pemerintah daerah secara profesional maupun proporsional.
Padahal, semakin besar kewenangan yang dimiliki, semakin besar pula potensi korupsi yang bisa terjadi.
Seperti ungkapan populer dari Lord Acton “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).
Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak pidana korupsi.
Makin menguatnya kekuasaan politik, baik eksekutif maupun legislatif di daerah yang tidak berjalan paralel dengan kemampuan profesional, semakin membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri dan kelompok.
Di sinilah persoalannya, karena telah membudaya dan sistematik, maka kebijakan pemberantasan korupsi yang bersifat parsial dan tambal-sulam tentu tidak bisa diandalkan.
Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan manajemen pemerintah (pemerintah daerah) yang terbuka dengan sistem akuntabel dan bisa menjamin asas pertanggungjawaban kepada publik. Dalam konteks tersebut, otonomi daerah sejatinya memungkinkan hal itu dilaksanakan.
Begitu pula dalam proses pengambilan kebijakan di berbagai bidang terutama yang berkaitan langsung dengan kebijakan pembangunan dan pengelolaan anggaran haruslah selalu melibatkan publik, baik itu sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan.
Artinya, pemberantasan korupsi mesti dalam satu paket dengan penegakan prinsip-prinsip demokrasi dan good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik (transparansi, akuntabilitas, keadilan, efisiensi, efektivitas dan partisipasi). Semua menjadi kesatuan gerak.
Perang melawan korupsi sistemik harus menjadi agenda perubahan yang lebih luas, yakni bagian dari upaya membenahi administrasi pemerintah, upaya peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat dan reformasi birokrasi, hingga meningkatkan partisipasi masyarakat sipil (civil society) dalam pengambilan kebijakan publik.
Singkat kata, gerakan antikorupsi mesti berjalan bersama dengan upaya reformasi sistem yang rentan bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan. Tidak parsial.
Seperti yang kerap kita saksikan di berbagai daerah, sejauh ini belum terlihat ada komitmen yang sungguh-sungguh, nir kemauan politik, ketiadaan sinergitas (check and balance) antara eksekutif (pemerintah provinsi, kabupaten dan kota), legislatif (DPRD).
Aparat penegak hukum (kejaksaan, kehakiman dan kepolisian di daerah) juga belum mampu menunjukan kineja maksimal. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, ada saja yang terlibat mafia kasus atau jual beli pasal.
Di sisi lain kalangan organisasi masyarakat sipil (LSM, Ormas, akademisi kampus, gerakan mahasiswa, pers, tokoh masyarakat dan agama) masih ‘happy’ pada agenda masing-masing.
Alih-alih menjadi bagian dari arus besar dalam pemberantasan korupsi, belakangan muncul fenomena ‘pasang badan’ atau menjadi tameng untuk membela orang-orang yang sedang dalam proses hukum atau kasus korupsi.
Dengan menjadi semacam corong untuk merasionalisasi atau mengklarifikasi tindakan orang-orang yang sedang dibidik dalam pusaran kasus penyalahgunaan kekuasaan (korupsi).
Kondisi ini tentu tidak kondusif bagi upaya pemberantasan korupsi. Dampaknya, begitu banyak potensi dan indikasi korupsi nyatanya berbanding terbalik dengan kualitas pencegahan maupun penanganannya.
Menjadi bukti bahwa pemberantasan korupsi di berbagai daerah masih jauh panggang dari api. Komitmen antikorupsi sekadar slogan.
Realitas ini harusnya dapat menyadarkan kita. Saatnya seluruh komponen masyarakat bangkit dan mengambil sikap dan peran strategis.
Terutama organisasi masyarakat sipil, perlu lebih berperan aktif dan konstruktif termasuk lewat sosialisasi secara masif guna mengefektifkan serta memaksimalkan upaya pemberantasan korupsi.
Antara lain dengan terus mendorong pemerintah daerah, eksekutif dan legislatif, yang dipilih secara langsung dapat menegakkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, kemudian turut memberi kontrol memadai terhadap jalannya pemerintahan.
Selanjutnya yang tak kalah penting adalah mengawal setiap proses terkait dengan pemberantasan korupsi, terutama yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Sebentar lagi akan ada siklus pergantian kepemimpinan daerah, melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di berbagai tingkatan (provinsi, kabupaten/kota).
Para kandidat yang ikut dalam pemilihan, di antaranya juga adalah pejabat dan mantan pejabat publik, termasuk dari kalangan birokrat atau pensiunan. Mereka masing-masing tentu memiliki rekam jejak, ada yang positif atau berprestasi, banyak pula yang gagal.
Di sinilah butuh kecermatan rakyat sebagai pemilih. Para kandidat yang punya reputasi buruk, tidak memiliki kapasitas, minus integritas dan kemampuan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, apalagi terindikasi atau terkait kasus korupsi, mesti diwaspadai.
Mereka yang suka menumpuk harta dengan menilep dana publik adalah contoh kandidat tak bernurani. Pantas dihukum dengan tidak memilih mereka dalam Pilkada.
Masyarakat juga mesti mencermati politisi birokrat atau yang berasal dari kalangan pejabat publik yang terbukti kerap menggunakan instrumen birokrasi sebagai mesin untuk meriah dan melanggengkan kekuasaannya, itu korupsi politik.
Mereka yang menggunakan mesin birokrasi untuk kepentingan pribadi adalah cermin kandidat pejabat publik yang tega mengkhianati rakyat.
Mereka yang tak becus menggunakan kekuasaan saat kekuasaan itu dipercayakan kepada mereka, tak pantas dipilih kembali menjadi pemimpin rakyat.
Kandidat yang suka menghalalkan segala cara (apalagi dengan korupsi) demi meloloskan ambisi politik-nya, adalah politisi busuk yang tentu saja patut dihindari dan dipinggirkan.
Dalam momentum seperti Pilkada, rakyat-lah yang berhak memberi dan menarik kembali kekuasaan dari siapapun tergantung pada bagaimana kekuasaan itu digunakan dan diarahkan.
Kalau kekuasaan digunakan dan diarahkan semata-mata untuk kepentingan rakyat, itulah substansi demokrasi.
Namun jika kekuasaan dipakai untuk menimbun kekayaan dan membohongi banyak orang, barangkali kekuasaan dalam diri seseorang harus dicegah dan diberikan kepada yang lebih pantas untuk memimpin.
Dalam Pilkada nanti, rakyat memiliki kewenangan penuh untuk itu. Artinya, di bilik suara saat pencoblosan tanggal 27 November nanti, adalah momentum bagi publik untuk menghukum politisi gagal dan memilih kandidat yang berpotensi menjalankan kepemimpinan dengan lebih baik.
Dengan begitu, masyarakat pemilih sejatinya telah ikut memberikan kontribusi terhadap hadirnya pemerintahan yang baik, sesuatu yang penting bagi upaya pemberantasan korupsi.