Membaca Pikiran di Balik Lahirnya Kabinet Gemuk

Membaca Pikiran di Balik Lahirnya Kabinet Gemuk

Saya bekerja sebagai dosen di Universitas Prima Indonesia dengan tugas tambahan menjadi Kepala Badan Neurosains. Pun ketika ini aktif berkecimpung di Universiti Brunei Darussalam, tepatnya di Institute for Leadership, Innovation and Advancement. Dengan latar belakang pendidikan kedokteran dan doktoral bedah saraf, maka yang saya kembangkan di dua negara ini adalah neurosains terapan, khususnya di bidang kepemimpinan.

Beberapa orang menyebut penggabungan neurosains dengan kepemimpinan itu sebagai neuroleadership, yang secara sederhana dapatlah dinamakan sebagai seni kepemimpinan berbasis pemahaman cara kerja otak dan perilaku manusia. Leadership itu sendiri bisa diartikan macam-macam. Bagi saya sendiri, selalu mendefinisikannya sebagai gabungan seni dan ilmu untuk menggerakkan manusia demi mencapai sebuah tujuan.

Apa keilmuan yang saya dalami dan bidang yang dikembangkan saat ini, tak ayal membuat fokus perhatian sebagai warga Indonesia cukup banyak teralih ke transformasi pemerintahan Indonesia pada akhir 2024. Setidaknya hingga 2029 jika tidak ada perubahan.

Berbulan-bulan sejak sebelum pelantikan Prabowo sebagai Presiden Republik Indonesia, kita telah disuguhkan begitu banyak pemberitaan mengenai bentuk kabinet. Ada yang menyebut akan ada penambahan nomenklatur baik kementerian koordinator, kementerian, dan badan. Ada menteri, ada pula wakil menteri. Apapun beritanya, selalu ada kesamaan jumlah anggota kabinet yang begitu fantastis.

Kita tentu tahu bahwa pada masa-masa dunia bergerak semakin cepat seperti sekarang ini, agar organisasi dapat bergerak secara cepat, maka organisasi itu sendiri haruslah ringkas. Sepanjang saya belajar selama ini, tidak ada satu pun teori yang menyebut bahwa semakin banyaknya organisasi akan memudahkan institusi induk mencapai tujuan tepat waktu.

Terlebih, dalam hal Kabinet Merah Putih, kementerian atau badan baru yang dibentuk itu bukanlah institusi yang berdiri dari ketiadaan. Melainkan lebih berupa pecahan dan penggabungan dari institusi-institusi yang telah ada. Tidak diperlukan rocket science untuk mengerti bahwa penambahan kementerian hanya akan menambah rantai birokrasi, yang sayangnya pada masa pemerintahan sebelumnya pun tak bisa disebut praktis.

Mungkin kita bisa berkilah bahwa penambahan jumlah kementerian itu akan menjadikan masing-masing menteri akan fokus pada bidangnya. Hanya saja, tentu kita juga mengetahui bahwa pada masa sekarang ini hampir tidak ada bidang yang berdiri sendiri.

Sebagai dosen, pengalaman saya di kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi dapat dirasakan betul-betul ketika kementeriannya berupa Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Dharma penelitian terasa betul dukungannya saat itu, sebelum akhirnya pandemi Covid-19 melanda. Setelahnya, bidang pendidikan tinggi dilebur kembali ke Kementerian Pendidikan dan bidang riset dan teknologi bertransformasi menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional. Dalam pelaksanaan di lapangan, riset dan teknologi sangat memerlukan kerja sama dengan sumber daya perguruan tinggi. Akibat dipecahnya nomenklatur, sekadar administrasi untuk bekerja bersama pun membuat pusing kepala.

Jika jumlah kementerian bilangan 50 itu akan dikoordinasi oleh tujuh kementerian koordinator, maka secara logika sederhana, hanya akan dibutuhkan tujuh kementerian itu agar pemerintahan dapat berjalan dengan ringkas dan cepat. Pertanyaannya, kenapa harus ada sebanyak itu? Tanda tanya ini menurut saya pribadi adalah hal yang wajar dan lumrah belaka sebetulnya. Terlalu besar persentase sumber APBN kita yang berasal dari pajak, harus dialokasikan bukan untuk operasional kementerian saja, namun juga kepada para menteri, wakil menteri, dan keluarganya.

Lantas bagaimana kira-kira pikiran di balik keputusan kementerian sangat gemuk ini?

Manusia ketika memutuskan suatu perkara, akan memberdayakan dua bagian penting dari otaknya. Yang pertama dinamakan sebagai otak depan, sedangkan yang lainnya disebut sebagai sistem limbik. Sistem limbik terdiri dari beberapa orang, namun untuk memudahkan pemahaman kita, cukup kita anggap saja sebagai satu kesatuan. Jika kita berpikir secara kritis dengan logika ataupun penalaran, maka fungsi tersebut diaktivasi oleh otak depan. Sedangkan bagaimana emosi kita berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, maka tak lain sistem limbik itulah yang sedang aktif-aktifnya.

Sering sekali kita mengira bahwa keputusan-keputusan yang diambil dalam hidup ditentukan oleh akal rasional atau logika. Padahal kenyataannya tidak demikian. Justru hampir seluruh keputusan didasarkan pada faktor emosional yang melanda. Emosi seperti rasa takut, senang, sedih, dan sebagainya. Maka akan sangat dimengerti, betapa mudahnya menggerakkan orang-orang jika yang dirangsang adalah emosionalnya. Lebih gampang memaksa seseorang untuk menandatangani surat persetujuan jika rasa takut diberikan.

Tentang rasa takut, dan juga penandatangan surat itu, kenapa jadi terkesan gampang daripada jika kita mencoba menstimulasi lawan bicara dengan iming-iming hadiah? Padahal, pemberian hadiah pun bisa merangsang emosi. Jawaban paling masuk akal untuk menjelaskan fenomena tersebut karena ada sifat yang dinamakan sebagai loss aversion.

Coba kita bayangkan mendapatkan uang sebesar Rp 100 ribu –menemukan di jalan, misalnya, ketika hendak berbelanja ke pasar. Tentu saja kita akan merasa senang. Nah, kini coba dibayangkan sedang berjalan ke arah pasar. Namun kita alih-alih menemukan uang, kita malah kehilangan uang di saku sebesar Rp 100 ribu. Jelas kita akan merasa sedih.

Berdasar contoh di atas, kita bisa imajinasikan bagaimana skala rasa sedih ketika kehilangan uang, jauh lebih besar daripada skala rasa gembira ketika mendapatkan uang. Sekalipun jumlah uangnya sama. Perasaan sedih yang lebih besar jika kehilangan inilah yang mendorong manusia ketika memutuskan sesuatu, daripada bertaruh untuk mendapatkan untung, lebih cenderung untuk bermain aman tidak kehilangan apa yang ada.

Dalam hal susunan Kabinet Merah Putih yang jumlah begitu banyak, tampak jelas adanya upaya mengakomodasi semua pihak, dengan dalih adanya stabilitas. Terakomodasinya kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak tersebut, potensi kegaduhan politik (loss) bisa dihindari (aversion).

Maka berbasis pemahaman bagaimana manusia bisa mengambil keputusan, kita bisa sangat mengerti kenapa dibutuhkan jumlah menteri sebanyak itu. Walau secara manajemen organisasi sangat tidak masuk di akal langkah yang diambil, namun jika dilihat dari perilaku manusia, akan terang benderang belaka jadinya. Hanya saja, ini memberikan satu kontradiksi pada ucapan Presiden Prabowo pada pidato pelantikannya.

Pertama, ucapannya agar kita berani jadi sulit dimengerti jika risiko amburadulnya rantai birokrasi dipilih guna mengakomodasi keinginan rekan-rekan koalisi untuk menjadi menteri. Kedua, ini pun harus dipahami oleh presiden kita bahwa yang dinamakan kepuasan manusia karena telah mendapatkan sesuatu itu ada batas kadaluwarsanya. Jika pada masa ini untuk mendapatkan stabilitas harus mengorbankan anggaran dan kecekatan rantai demokrasi, maka tidak boleh dilupakan kemungkinan dibutuhkannya pengorbanan lebih besar untuk menjaga stabilitas itu.

Selamat bekerja, Presiden Prabowo!

Rizki Edmi Edison dosen Universitas Prima Indonesia, Kepala Badan Neurosains

Simak Video Prabowo soal Kabinetnya Gemuk Negara Kita Besar Bung!

[Gambas Video 20detik]

Sumber