Membaca Relasi Megawati, Prabowo, dan Jokowi Pasca-Pemecatan PDI-P
AKHIRNYA Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) resmi memecat Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dari keanggotaan partai.
Pemecatan itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024, yang ditetapkan pada 14 Desember 2024, ditandatangani Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto.
Sebenarnya tak terlalu mengejutkan, tapi tetap saja menggemparkan. Tak terlalu mengejutkan karena isu pemecatan sudah sejak lama menjadi perbincangan publik. Namun, tetap saja menggemparkan, karena yang dipecat bukan orang sembarangan.
Jokowi dipecat dari keanggotaan PDI-P bersama putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat wakil presiden RI. Juga Bobby Nasution, menantu Jokowi yang calon gubernur Sumatera Utara.
Bobby sedang menunggu nasib. Hasil Pilkada Sumatera Utara yang mengunggulkannya sedang digugat oleh lawannya, Edy Rahmayadi.
Ketiga tokoh yang masih berkerabat itu dinilai telah melakukan pelanggaran serius AD/ART partai, kode etik dan disiplin partai. Ketiganya juga dinilai telah melawan secara terang-terangan keputusan partai terkait Pilpres 2024.
Khusus Jokowi tak hanya dinilai telah melakukan pelanggaran internal partai. Presiden ke-7 itu dinilai telah menyalahgunakan kekuasaan untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK).
PDI-P memandang tindakan Jokowi menimbulkan kerusakan sistem demokrasi, sistem hukum, dan moral-etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Pelanggaran yang dilakukan dikategorikan sebagai pelanggaran berat (Kompas.com, 16/12/2024).
Sudah sejak menjelang Pilpres 2024, Megawati mengecam keras cawe-cawe Jokowi. Presiden ke-5 itu sangat menyesalkan tindakan Jokowi di ujung kekuasaannya yang justru dinilai merusak sistem demokrasi, hukum dan etika politik berbangsa dan bernegara, yang dengan susah payah ditegakkan sejak pasca-Reformasi.
Maka, pemecatan secara resmi Jokowi dari keanggotaan PDI-P sesungguhnya hanya soal waktu.
Namun, tampaknya Megawati penuh kehati-hatian dan perhitungan. Mencari waktu yang tepat untuk memutuskan pemecatan dan mengumumkannya kepada publik.
Bisa dimengerti betapa tak mudah dan berat bagi PDI-P untuk mengambil keputusan tersebut. Bagaimana pun Jokowi bukan kader politik biasa. Ia telah menjadi bagian penting PDI-P selama dua puluh tahun lebih dengan segenap capaiannya.
Bahkan, melalui artikel berjudul “Indonesia, Jokowi, dan Megawati Pasca-2024” (Kompas, 30/09/2023), Guntur Soekarnoputra, kakak Megawati, pernah melempar ide supaya Jokowi meneruskan kepemimpinan Megawati di PDI-P.
Guntur memandang, pemikiran dan pengalaman Jokowi dalam menghadapi tantangan geostrategis masih diperlukan oleh bangsa dan negara. Melalui PDI-P, Jokowi punya sarana strategis untuk berperan aktif mengurus bangsa dan negara.
Jokowi oleh elite PDI-P juga sering disebut kader terbaik. Tumbuh dari kalangan rakyat biasa, bukan elite partai, tapi berhasil melenting menjadi wali kota Solo dua periode, gubernur DKI, lalu presiden RI dua periode.
Keberhasilan Jokowi di lapangan politik turut pula mengerek putra sulung dan menantunya. Putra sulungnya menempati jabatan politik yang pernah diduduki sang ayah.
Gibran menjadi wali kota Solo melalui karpet merah yang digelar PDI-P. Sebelum akhirnya menjadi wakil presiden melalui karpet koalisi partai lain yang berseberangan dengan PDI-P.
Pun menantu Jokowi. Ia sukses menduduki jabatan wali kota Medan juga berkat karpet yang digelar PDI-P.
Karena itu, saya menduga, PDI-P sangat hati-hati dan penuh perhitungan untuk mengambil keputusan pemecatan.
Sang ketua umum tak terpancing untuk tergesa-gesa memecat mereka secara resmi, meskipun pidato Megawati di banyak kesempatan mengecam keras tindakan mereka.
Rupanya waktu yang tepat itu bukan setelah Pilpres 2024 rampung, atau setelah pelantikan presiden-wakil presiden terpilih. Ternyata waktu yang tepat itu setelah Pilkada 2024 rampung.
Sekaligus PDI-P mengumumkan pemecatan kader-kadernya yang dinilai melanggar aturan partai saat Pilkada 2024. Total sebanyak 27 kader (termasuk Jokowi, Gibran dan Bobby) dipecat. Diumumkan Ketua DPP PDI-P Bidang Kehormatan Komarudin Watubun, Senin, 16 Desember 2024.
Mengapa baru sekarang? Saya menduga, dengan berakhirnya Pilkada 2024 partai asuhan Megawati itu telah mengetahui secara pasti posisi politiknya, baik nasional maupun daerah.
Seberapa besar kekuatan politik yang masih dalam kendali PDI-P bisa dibaca setelah Pilkada 2024 usai.
Teristimewa, setelah Pilkada Jakarta dipastikan berlangsung satu putaran, yang dimenangi jagoan PDI-P, Pramono Anung-Rano Karno. Pasangan tersebut memperoleh suara sebanyak 50,07 persen, atau 2.183.239 suara dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih.
Sementara itu, pasangan Ridwan Kamil-Suswono, jagoan KIM Plus yang juga disokong Prabowo dan Jokowi, didukung 1.718.160 suara. Dharma Pongrekun-Kun Wardana dari jalur independen didukung sebanyak 459.230 suara.
Kepastian Pilkada Jakarta satu putaran diperoleh setelah pasangan Ridwan Kamil-Suswono dan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana tak mendaftarkan gugatannya ke MK hingga waktu pendaftaran sengketa habis, 11 Desember 2024.
Menurut Ridwan Kamil, pasangan 01 urung menggugat hasil pemilihan berkat arahan Presiden Prabowo (Kompas.com, 13/12/2024).
Saya menduga, kepastian kemenangan Pramono-Rano pada Pilkada Jakarta menambah kepercayaan PDI-P untuk mengeksekusi pemecatan Jokowi, putra sulung dan menantunya. Kemenangan Pramono-Rano menambah bobot politis PDI-P.
PDI-P memang kalah di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota. Termasuk kalah di Jawa Tengah yang selama ini dikenal “Kandang Banteng”.
Namun, PDI-P sukses merebut Jakarta yang menjadi episentrum politik Indonesia. Hal ini membesarkan keyakinan PDI-P.
Di samping itu, tampaknya kekalahan PDI-P pada Pilkada Jawa Tengah yang dianggap Kandang Banteng turut pula memengaruhi.
Bagi PDI-P, kekalahan di Jawa Tengah bukan hanya menyakitkan secara politis, tapi juga menebalkan pandangan negatifnya kepada Jokowi. Tak ada alasan untuk tak segera mengeksekusi pemecatannya.
Keberhasilan PDI-P merebut Jakarta bukan hanya mengobati kekalahannya di Jawa Tengah, tapi menggenapi keberhasilannya tiga kali berturut-turut menjuarai pemilu legislatif. Sekaligus mempertahankan kursi ketua DPR periode 2024-2029.
Dengan kekuatan 110 kursi DPR (dari 580 kursi), lalu mengendalikan ketua DPR dan gubernur Jakarta, PDI-P tentu saja masih menjadi kekuatan politik besar yang tak bisa diremehkan.
Hal itu rupanya membuat PDI-P semakin percaya diri menghadapi risiko politis atas pemecatan Jokowi, kader yang pernah diantarkan dan dibelanya hingga jabatan presiden dua periode.
Apalagi, PDI-P bersama Megawati punya pengalaman panjang mengambil risiko politis berhadap-hadapan dengan penguasa.
Tentu saja tak mudah dan berat untuk mengambil keputusan tersebut. Namun, bagi Megawati, pelanggaran berat Jokowi adalah taruhan marwah partai yang dipimpinnya. Tak ada pilihan lain bagi PDI-P secara organisatoris kecuali memecatnya.
Publik akan menyaksikan bagaimana langkah Jokowi pascapemecatannya. Saya menduga, rentang dinamikanya akan panjang.
Meskipun Jokowi sudah tak lagi menjabat, ia adalah mantan presiden dan putra sulungnya menjabat wakil presiden. Sisa-sisa pengaruhnya tentu saja tak bisa diremehkan.
Keputusan resmi PDI-P memecat Jokowi tentu saja akan mengubah model relasi Megawati, Prabowo, dan Jokowi. Keputusan resmi itu akan berdampak pada dinamika politik Indonesia.
Karena itu, pengaruhnya terhadap Presiden Prabowo Subianto patut dicermati. Saya kira, menarik sekali mendiskusikan relasi ketiga tokoh (Megawati, Prabowo, Jokowi) pasca-PDI-P secara resmi menarik garis demarkasi dengan Jokowi.
Saya pernah menggambarkan pola relasi politik antara Megawati, Prabowo, dan Jokowi melalui model segitiga (baca “Relasi Politik Megawati, Prabowo, Jokowi”, Kompas.com, 29/04/2024).
Titik bawah kanan ditempati Megawati. Terhubung dengan titik atas yang ditempati Prabowo dengan garis penuh. Artinya, relasi kedua tokoh baik-baik saja. Hingga sekarang belum berubah. Keduanya pernah menjadi kawan dan lawan politik.
Prabowo yang berada pada titik atas terhubung dengan titik bawah kiri yang ditempati Jokowi. Keduanya terhubung dengan garis penuh. Berarti hubungan keduanya baik. Sampai sekarang pun belum berubah. Jokowi pernah menjadi lawan dan kawan politik Prabowo.
Lalu, Megawati (titik bawah kanan) dan Jokowi (titik bawah kiri) terhubung dengan garis putus-putus. Keduanya sedang tidak baik-baik saja. Kedua tokoh pernah dalam satu barisan politik dalam waktu yang relatif panjang, lalu pisah jalan politik.
Pola relasi segitiga itu, saya kira, membantu untuk melihat sikap dan posisi politik masing-masing. Garis penuh bisa bertambah tebal, bisa pula berubah putus-putus (relasi Megawati-Prabowo dan Prabowo-Jokowi).
Relasi Megawati-Jokowi yang digambarkan dengan garis putus-putus ada kemungkinan menjadi garis penuh. Namun, kemungkinan itu kini tertutup oleh pemecatan Jokowi secara resmi sebagai anggota PDI-P. Relasi keduanya semakin tidak baik.
Maka, tinggal beberapa kemungkinan. Pertama, garis penuh Megawati-Prabowo bertambah tebal, sehingga garis penuh Prabowo-Jokowi berubah putus-putus.
Kedua, garis penuh Prabowo-Jokowi bertambah tebal, sehingga garis penuh Megawati-Prabowo berubah putus-putus.
Dan, ketiga, status-quo, tak ada perubahan. Prabowo tetap berelasi sama baik dengan Megawati dan Jokowi.
Posisi sentral tetap pada Prabowo selaku presiden. Variabel penentu relasi adalah kepentingan Prabowo sebagai presiden pada satu sisi, dan kekuatan politik yang secara nyata dimiliki Megawati dan Jokowi pada sisi lain.
Prabowo tentu saja membutuhkan dukungan politik demi kesuksesan program-programnya. Prabowo sangat butuh lingkungan politik yang kondusif.
Yang menarik, baik Megawati maupun Jokowi, memiliki posisi tawar yang signifikan di hadapan Prabowo. Masing-masing memiliki jangkar politik. Kedua tokoh memiliki nilai politis bagi Prabowo selaku presiden.
Megawati mengendalikan parlemen melalui ketua DPR dan 110 anggota DPR dari PDI-P. Megawati juga mengendalikan gubernur Jakarta yang secara geopolitik sangat diperhitungkan dalam perpolitikan nasional.
Megawati juga ketua umum partai dengan jutaan kader dan jumlah pemilih terbesar selama tiga kali pemilu.
Relasi mereka bukan personal, melainkan institusional kepartaian. Mereka adalah kader-kader partai yang terikat aturan, nilai, kultur dan semangat kepartaian.
Mereka juga terikat ideologi partai, yang menempatkan Megawati bukan sekadar ketua umum partai, melainkan “pemimpin ideologi”. Hal itu sekaligus menjamin kesetiaan politis yang melembaga.
Sementara itu, Jokowi memiliki Gibran sebagai wakil presiden. Jokowi juga memiliki beberapa orang-orangnya di Kabinet Merah-Putih. Jokowi juga bisa mengklaim beberapa gubernur.
Namun, relasi mereka personal. Tak ada keterikatan kelembagaan kepartaian. Tak ada aturan, nilai, kultur dan semangat institusional yang mengikat.
Keterikatan mereka cenderung pragmatis. Tak ada ideologi yang menjamin kesetiaan politis. Saya yakin, Jokowi pun akan segera memikirkan pelembagaan kepentingannya.
Tentu saja Prabowo akan membacanya secara saksama dan dengan tempo sesingkat-singkatnya dalam konteks kepentingannya. Model relasi segitiga tersebut niscaya berubah pascapemecatan Jokowi secara resmi oleh PDI-P.
Apakah garis relasi yang menebal kelak terjadi pada relasi antara Prabowo dan Megawati, ataukah antara Prabowo dan Jokowi?
Konsekuensinya, bila garis yang menebal itu relasi Prabowo-Megawati, maka garis relasi Prabowo-Jokowi akan menuju putus-putus. Sebaliknya, bila garis Prabowo-Jokowi menebal, maka garis Prabowo-Megawati akan putus-putus.
Tak mudah bagi Prabowo untuk memilih status-quo, tetap berelasi sama baik dengan keduanya. Prabowo tak mungkin mendapatkan dukungan politis yang setara dari Megawati dan Jokowi sehubungan dengan kepentingannya sebagai presiden.
Presiden Prabowo tentu akan mengkalkulasinya, lalu memilih. Sungguh ujian buat Sang Presiden.