Membedah Strategi Pangan Prabowo-Gibran
Pengembangan sistem pangan berkelanjutan adalah kerja panjang. Hal itu membutuhkan komitmen sangat besar pemerintahan Prabowo Gibran, terutama untuk tak mudah ’tergoda’ menjalankan proyek-proyek pangan yang pragmatis, namun tak berkelanjutan.
Hari Pangan Sedunia 2024, yang diperingati pada 16 Oktober lalu, spesial bagi Indonesia. Peringatan tersebut jatuh hampir bersamaan dengan pergantian pemerintahan. Harapannya, pesan dari peringatan ini, yaitu "hak atas pangan untuk kehidupan dan masa depan lebih baik", benar-benar dipedomani oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dalam menyelenggarakan kebijakan pangan hingga lima tahun ke depan.
Pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi umat manusia. Ketersediaannya tidak dapat ditunda. Keterpenuhannya merupakan salah satu hak paling asasi bagi setiap insan. Konstitusi kita bahkan telah mengamanatkan bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan tersebut.
Namun, tersedia saja tidak cukup. Pangan juga harus tersedia secara berkualitas, adil, dan berkelanjutan. Dengan demikian, pemimpin kita saat ini harus memastikan bahwa strategi pangan memberi solusi atas tantangan-tantangan dalam sistem pangan hari ini dan ke depan, seperti pertumbuhan populasi, malnutrisi, ketergantungan pada ekspor, rendahnya produktivitas, pangan yang bias beras dan terigu, kian terbatasnya lahan produktif, kian sulitnya regenerasi petani, dampak perubahan iklim, menurunnya daya dukung lahan, dan lain sebagainya.
Strategi pangan berkelanjutan dan adil juga berarti hadirnya sistem pangan yang mendorong keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan budaya, serta mendukung keberlanjutan lingkungan. Pertanyaannya, sudahkah strategi pangan pemerintahan Prabowo-Gibran meng-highlight kebutuhan-kebutuhan di atas?
Cetak biru pangan
Akhir September 2024 lalu, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, pemerintah telah menyiapkan kerangka kerja atau cetak biru (blueprint) program di sektor pangan untuk masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Kerangka kerja tersebut telah memasukkan berbagai program kebijakan di sektor pangan yang menjadi visi-misi Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran.
Dalam cetak biru tersebut, salah satu prioritas utama adalah mencapai swasembada pangan. Rencana ini mencakup perluasan lahan panen hingga 4 juta hektar untuk tujuh komoditas penting, termasuk padi, jagung, kedelai, singkong, tebu, sagu, dan sukun. Mereka akan mengombinasikan ekstensifikasi dan intensifikasi untuk memastikan ketahanan pangan di masa mendatang.
Salah satu bentuk realisasinya adalah pendirian kluster-kluster pertanian modern sebagai wujud transformasi dari pertanian tradisional. Praktik tersebut melanjutkan penerapan program lumbung pangan (food estate) yang dilaksanakan di sejumlah wilayah Indonesia, seperti Merauke, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan.
Untuk mendorong swasembada, pemerintahan ini juga merencanakan perbaikan infrastruktur serta penggunaan teknologi dan inovasi pertanian. Strateginya, perluasan dukungan bagi petani kecil dan menengah, termasuk pemberian akses bibit unggul, penggunaan alat pertanian modern, pupuk, dan bantuan teknis.
Pemerintahan Prabowo-Gibran meyakini, program swasembada pangan melalui kluster pertanian modern dan modernisasi pertanian itu akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) 4,8 persen, mencapai kemandirian pangan, dan mengantisipasi perubahan iklim.
Prabowo-Gibran juga mengajukan rencana ambisius berupa program makan gratis bergizi. Program ini menargetkan penyediaan makanan bergizi untuk anak-anak di sekolah-sekolah dan berbagai kelompok masyarakat rentan di seluruh Indonesia.
Diperkirakan, program ini akan memakan anggaran Rp 400 triliun, dengan target menjangkau hingga 82,9 juta penerima. Setiap harinya, sekitar Rp 800 miliar akan dialokasikan untuk penyediaan makanan bergizi, menjadikannya salah satu investasi terbesar untuk pembangunan manusia di Indonesia (Antara, 10/10).
Beberapa kelemahan
Meskipun rencana kebijakan pangan Prabowo Subianto, seperti swasembada pangan dan program makan gratis bergizi, tampak ambisius dan berpotensi meningkatkan ketahanan pangan Indonesia, ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan.
Pertama, ketergantungan pada ekspansi lahan. Dengan program swasembada pangan berbasis pengembangan kluster-kluster pertanian modern seluas 4 juta hektar, tidak diragukan lagi, pemerintahan Prabowo-Gibran akan kembali mengulangi program Food Estate pemerintahan Joko Widodo dan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Menurut kajian Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) 2024, ada beberapa alasan mengapa Food Estate bukanlah strategi sistem pangan berkelanjutan. Program ini telah terbukti menimbulkan masalah lingkungan yang sulit dipulihkan, terutama akibat deforestasi dan kerusakan ekosistem yang ditimbulkannya.
Pengembangan Food Estate melalui deforestasi itu juga berpotensi menyulut konflik lahan dengan masyarakat adat dan petani lokal, serta permasalahan sosio kultural lainnya. Kerusakan lingkungan tentunya juga mengancam target pengurangan emisi karbon Indonesia.
Namun, catatan paling mengkhawatirkan dari program Food Estate adalah bahwa program semacam ini telah terbukti gagal di setiap periode pemerintahan yang menjalankannya, baik dalam aspek budi daya pangan, dampak ekonomi, keberlanjutan sosial dan budaya, terlebih keberlanjutan lingkungan.
Kedua, strategi pangan berbiaya sangat tinggi. Program makan gratis bergizi diperkirakan akan menelan anggaran hingga Rp 400 triliun per tahun. Anggaran ini sangat besar dan bisa membebani keuangan negara, terutama jika tidak ada mekanisme yang jelas untuk menjaga efisiensi pengeluaran. Besarnya dana ini juga bisa memunculkan risiko korupsi atau penyalahgunaan anggaran.
Tantangan besar lainnya adalah distribusi makanan di wilayah-wilayah terpencil dan tertinggal. Infrastruktur yang kurang memadai, seperti jalan dan fasilitas penyimpanan, bisa membuat distribusi makanan segar dan bergizi sulit dijangkau oleh masyarakat di daerah terpencil.
Ketiga, strategi pangan yang ada terlalu fokus pada produksi dan kurang memperkuat diversifikasi. Rencana pemerintahan Prabowo-Gibran lebih banyak berfokus pada ekstensifikasi lahan dan produksi beberapa komoditas utama, seperti padi, jagung, dan kedelai. Pendekatan ini bisa terlalu sempit jika tidak ada diversifikasi pertanian untuk mempromosikan keanekaragaman hayati pangan lokal yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim dan selaras dengan budaya pangan nusantara.
Potensi lain yang juga kurang diberi ruang dalam rencana strategis pangan pemerintahan ini adalah pangan biru atau pangan berbasis perairan, di mana Indonesia memiliki potensi yang sangat besar.
Pengembangan pangan berbasis keanekaragaman hayati lokal dan perairan saat ini semakin punya nilai strategis sebagai basis kedaulatan pangan. Di samping potensi tinggi yang dimiliki Indonesia, kian sulitnya upaya mendorong produksi dan penyediaan beras dan terigu (dua komoditas utama pangan nasional kini) seiring faktor dampak perubahan iklim, makin terbatasnya lahan, faktor geopolitik dan ekonomi global, juga menjadi alasan kuat bagi Indonesia untuk mulai mengarusutamakan pangan lokal.
Hal itu memerlukan hadirnya langkah-langkah strategis dan komprehensif. Langkah-langkah tersebut di antaranya menyangkut pemetaan potensi dan database yang akurat dan ter-update, memastikan kelangsungan dan keamanan agraria areal budi dayanya, produksinya yang berkelanjutan, mendorong sosialisasi dan literasi pangan lokal, distribusi, strategi rantai bisnis, serta riset dan inovasinya.
Namun demikian, harus disadari, membangun pangan berkelanjutan membutuhkan waktu yang panjang. Hal ini memerlukan komitmen besar pemerintahan Prabowo-Gibran untuk ’tak tergoda’ dengan proyek-proyek pangan jangka pendek, pragmatis, namun justru ‘membunuh’ dalam jangka panjang, Food Estate misalnya.
Tanpa strategi pangan yang berkelanjutan, cita-cita Indonesia Emas 2045 akan berakhir sebagai mimpi belaka.
Muhamad Burhanudin Spesialis Kebijakan Lingkungan Hidup KEHATI Foundation