Membenahi Pendidikan Tinggi Hukum

Membenahi Pendidikan Tinggi Hukum

Pembelajaran dogmatis yang bersumber dari teks perundang-undangan hanya akan melahirkan sarjana hukum yang kaku dan tidak bisa memberikan analisis penerapan hukum di masyarakat utamanya terkait keadilan sosial.Muncul beragam alasan yang menjadi dasar justifikasi supaya pendidikan tinggi hukum terus berbenah untuk mengikuti arus perubahan yang begitu cepat, terutama akibat dari pengaruh aspek-aspek politik, ekonomi, dan kultural yang memberikan dampak terhadap praktik hukum (Sulistyowati Irianto, 2019).Dalam kondisi hukum yang carut marut seperti sekarang, kampus—terutama fakultas hukum—harus berani menjadi motor penggerak perubahan hukum ke arah yang lebih baik. Jiwa intelektualitas sivitas akademika harus dirawat sedemikian rupa untuk menjaga dan mempertahankan sistem hukum yang berkeadilan dan berpihak pada masyarakat rentan.Pemikiran semacam ini bukan sekadar idealisme abstrak. Sebab pemikiran ini memang menjadi tanggung jawab moral bagi kaum intelektual kampus untuk memastikan tidak ada praktik penyimpangan hukum, dan tidak ada pula praktik hukum yang menindas masyarakat rentan. Harusnya kita selalu ingat pesan Bung Hatta, Apabila di negeri-negeri yang telah maju tertanam pendapat yang semakin lama semakin kuat, bahwa universitas harus menjadi tempat pendidikan manusia yang bertanggung jawab terhadap masyarakat, apalagi di negeri-negeri yang terkebelakang di dalam kemajuan, seperti Indonesia kita ini.Satu abad pendidikan tinggi hukum pada 28 Oktober 2024 harus dimaknai sebagai momentum untuk mengevaluasi model pembelajaran hukum dan standarisasi kualitas lulusan fakultas hukum. Di lain sisi, ada banyak aspek yang tampaknya juga harus dikembangkan dalam pembelajaran hukum, seperti pengajaran yang berbasis nilai etika, moral, dan integritas, serta memasifkan pengajaran berdoktrin anti-korupsi—yang tidak sekadar dogmatis positivistik. Di luar aspek pembelajaran, perlu didorong pula supaya fakultas hukum ini tidak tampak "menghilang" ketika terjadi kerusakan sendi-sendi hukum (Todung Mulya Lubis, 2024). Kebijakan negara yang tidak pro rakyat haruslah dikritik dan dikawal oleh sivitas akademika, tidak hanya sivitas akademika secara personal, tetapi pendidikan tinggi hukum secara institusional. Harusnya fakultas hukum malu ketika pembelajaran hukum di bangku perkuliahan banyak yang tidak linear dengan fakta yang terjadi di masyarakat—utamanya soal keadilan yang terus tercederai. Harusnya, kampus-kampus fakultas hukum marah dengan persoalan ini dan turut menggugat atas praktik penyimpangan hukum yang sangat terstruktur dan masif.Risiko dianutnya sistem negara hukum oleh negara harusnya menjadi kesadaran bagi fakultas hukum untuk terus berperan menjadi pendobrak yang melawan pembusukan hukum berbungkus pembenaran hukum (autocratic legalism). Kita harus sadar bahwa kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum sangatlah diperlukan supaya terwujudnya keadilan sosial, serta memastikan hukum menjadi alat untuk berpihak pada yang benar.Endrianto Bayu mahasiswa S2 HTN FHUB, Socio-Legal Enthusiast, peneliti Pusat Studi Hukum FHUB

Sumber