Memikul Beban Panas, Perjuangan Buruh Sawit Perempuan Hadapi Krisis Iklim
JAMBI, KOMPAS.com — Puji (44) mulai kehabisan tenaga saat matahari terik di atas kepalanya. Matanya berkunang-kunang, mulutnya terasa kering, dan dahaga mulai mendera.
Buruh sawit perempuan asal Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi ini pun berhenti sejenak untuk meminum sebotol air. Di kejauhan, teriakan mandor terdengar menggebu, memintanya untuk segera kembali bekerja.
“Belum waktunya istirahat, kenapa duduk? Besok kamu berhenti kerja,” kata Puji menirukan suara mandor ketika berbincang di rumahnya pada September 2024.
Puji bukan nama sebenarnya. Ia bekerja sebagai buruh harian lepas di kebun sawit replanting (peremajaan) seluas ribuan hektar.
Semua pohon sawit lama ditebang, dan bibit yang baru ditanam belum genap setahun. Tanpa semak atau pohon kecil, ia tak punya tempat berlindung dari sengatan panas.
Saat diperintahkan untuk kembali bekerja, Puji buru-buru merobek karung pupuk. Debu yang beterbangan mengarah ke wajahnya.
Baunya menyengat dan tanpa sengaja terhirup, membuat dadanya langsung sesak. Ia semula tenang, mengira waktu istirahat tinggal setengah jam lagi, namun teguran keras dari mandor memaksanya untuk bekerja secepat mungkin.
Tak lama setelah menghirup debu pupuk, Puji mulai batuk. Awalnya ia menganggap batuk tersebut biasa, karena musim panas. Namun, batuknya semakin parah dalam seminggu.
"Saya masih berobat jalan ke dokter. Sekali seminggu harus diperiksa. Sebulan saya batuk setelah terhirup pupuk," katanya.
Meskipun sakit, Puji tetap bekerja. Jika ia lebih dari 12 hari tidak bekerja dalam sebulan, perusahaan akan mengeluarkan surat pemecatannya.
Dokter menyarankan agar Puji berhenti menjadi buruh harian lepas, tapi ia merasa tak punya pilihan.
"Saya mau nangis dengar saran dokter. Anak saya ada tiga, kalau saya tidak kerja, bagaimana mereka bisa makan?" ujarnya, yang juga berstatus janda setelah suaminya meninggal setahun lalu.
Puji sudah menghabiskan banyak uang untuk pemeriksaan paru-paru, suntik, obat, dan transportasi pulang-pergi ke klinik dokter, meskipun gajinya hanya Rp125.000 per hari.
Setiap bulan, ia bekerja lebih dari tujuh jam sehari, dengan target memupuk 2-3 blok kebun sawit yang luasnya hampir dua hektar.
Menuntut perlindungan perusahaan
Puji bukan satu-satunya buruh yang merasakan beratnya pekerjaan di perkebunan sawit.
Di Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muarojambi, puluhan buruh, baik pria maupun wanita, mendatangi kantor PT PMG untuk menuntut gaji yang tertunda hampir sebulan dan fasilitas BPJS Kesehatan serta Ketenagakerjaan.
MD, salah seorang buruh, mengatakan perusahaan telah membayar gaji yang tertunda, tetapi belum juga mendaftarkan buruh untuk BPJS Kesehatan.
"Risiko pekerjaan sangat tinggi karena paparan kimia berbahaya dari pupuk dan pestisida. Tidak semua buruh punya daya tahan tubuh yang kuat," ujar MD.
Di Kecamatan Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Timur, NAS, seorang buruh, juga berjuang menuntut haknya.
Ia menceritakan, meski perusahaan berjanji akan membuat klinik di sekitar area kerja untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis, janji tersebut belum juga terealisasi.
NAS juga menyebutkan bahwa banyak buruh perempuan yang mengalami kecelakaan kerja, seperti mata terkena cairan pestisida, batuk darah, dan infeksi saluran pernapasan akibat kebakaran saat musim kemarau.
Krisis iklim dan dampaknya ke buruh
Rekor panas ekstrem yang terjadi di Jambi semakin memperburuk kondisi buruh. Data dari Stasiun Meteorologi Sultan Thaha Jambi menunjukkan suhu rata-rata harian yang terus meningkat, bahkan mencapai 37 derajat Celsius pada tahun 2024.
Hal ini memicu berbagai masalah kesehatan bagi buruh, terutama perempuan yang bekerja di luar ruangan tanpa alat pelindung diri yang memadai.
Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jambi, peningkatan suhu rata-rata ini merupakan dampak dari perubahan iklim yang semakin nyata.
Selama tiga dekade terakhir, suhu rata-rata harian di Jambi terus naik, menunjukkan adanya pemanasan global yang berimbas pada suhu ekstrem.
Perlindungan kesehatan buruh
Dodi Hariyanto Parmin, Kepala Bidang Pengawasan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jambi, menyatakan pentingnya melindungi buruh dari risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh krisis iklim.
Perusahaan wajib menyediakan alat pelindung diri yang memadai dan memberikan waktu istirahat yang cukup untuk buruh yang bekerja di luar ruangan.
"Pemerintah sudah mengimbau perusahaan untuk melindungi hak buruh, termasuk waktu istirahat yang cukup dan insentif bagi buruh yang produktif," kata Dodi.
Ida Zubaida, Direktur Beranda Perempuan, sebuah organisasi yang fokus pada isu buruh perempuan, menekankan buruh perempuan sering kali bekerja dengan risiko kesehatan yang tinggi tanpa perlindungan yang memadai.
Ia mendesak agar perusahaan dan pemerintah lebih aktif mengedukasi buruh dan melindungi hak-hak mereka, terutama di tengah krisis iklim.
Pentingnya perlindungan untuk buruh perempuan
Fenny Sofyan, Ketua Kompartemen Media Relation Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), menekankan pentingnya kesetaraan dan keadilan bagi buruh perempuan.
Gapki telah bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk menyusun panduan perlindungan pekerja perempuan di sektor perkebunan kelapa sawit.
"Panduan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, aman, dan nyaman bagi pekerja perempuan. Kami berharap perusahaan dapat mematuhi panduan ini dan memastikan hak-hak buruh perempuan dipenuhi sesuai peraturan yang berlaku," kata Fenny.
Dengan meningkatnya suhu ekstrem dan dampak perubahan iklim, perlindungan terhadap buruh perempuan, terutama yang bekerja di luar ruangan, menjadi semakin penting.
Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat perlu bersinergi untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan berkeadilan.
Liputan ini didukung oleh Pulitzer Center on Crisis Reporting