Meminimalkan Risiko Brain Rot
Oxford University menobatkan kata brain rot sebagai Word of The Year 2024. Berita tersebut dirilis secara resmi melalui akun Oxford University Press pada 2 Desember 2024 lalu. Keputusan itu diambil setelah melewati proses pemungutan suara publik yang melibatkan lebih dari 37.000 peserta. Proses penetapan tersebut telah melibatkan para pakar bahasa Oxford University yang sebelumnya telah menyusun enam kata untuk mencerminkan tren sosial budaya yang berkembang tahun ini, terutama terkait konsumsi konten digital. Setelah dua minggu pemungutan suara publik, diskusi, serta mempertimbangkan masukan dari publik dan data bahasa, akhirnya brain rot ditetapkan sebagai kata yang terpilih.
Oxford Word of the Year adalah sebuah tradisi dari Oxford Languages yang merupakan bagian dari Oxford University Press untuk memilih satu kata atau ungkapan yang dianggap paling mencerminkan suasana, percakapan, dan tren budaya sepanjang tahun tertentu. Secara umum, pemilihan kata ini dilakukan sebagai media untuk mengetahui esensi dari perubahan sosial budaya dan teknologi yang sedang terjadi di masyarakat. Kata-kata yang dipilih sering berkaitan dengan fenomena sosial, politik, atau teknologi yang menjadi isu perhatian global. Kata-kata tersebut didapatkan berdasarkan hasil analisis linguistik dari berbagai sumber seperti platform digital atau karya tulis lainnya. Kemudian, para ahli bahasa akan menyusun daftar pendek kata-kata yang relevan dengan tema perbincangan publik pada periode tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir, proses ini juga melibatkan partisipasi publik melalui pemungutan suara, seperti halnya yang terjadi pada 2024. Proyek ini dapat menjadi ruang terbuka dalam menyediakan wawasan serta edukasi mengenai evolusi (perkembangan) bahasa sehingga masyarakat dapat memahami pentingnya bahasa dalam tren dan isu sosial. Hal tersebut merupakan suatu bentuk respons positif terhadap dinamika budaya, terutama bahasa yang menjadi sorotan publik.
Kemunduran IntelektualSecara bahasa, brain rot diartikan sebagai pembusukan otak. Pembusukan otak yang dimaksud bukanlah penyakit yang menyerang otak secara biologis, melainkan lebih condong kepada sebuah istilah yang menggambarkan gangguan otak secara intelektual. Dalam konteks modern, brain rot merujuk pada penurunan (kemerosotan) kualitas intelektual atau mental akibat paparan konten trivial (remeh) atau tidak menantang, khususnya di platform digital seperti TikTok atau YouTube. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan perasaan tidak bersemangat atau bahkan mati rasa akibat terlalu banyak mengkonsumsi konten-konten berkualitas rendah secara berulang. Hal tersebut dapat terjadi karena aktivitas scrolling media sosial seringkali dilakukan tanpa tujuan, tanpa berpikir, dan hanya menonton video receh yang tidak berbobot sehingga dalam beberapa saat otak tidak mendapatkan rangsangan. Dampak yang ditimbulkan mencakup kemampuan berpikir kritis, fokus, hingga kesehatan mental yang terganggu.Meskipun kini populer dalam dunia digital, istilah brain rot sebenarnya sudah ada sejak 1854. Henry David Thoreau, dalam bukunya yang berjudul Walden, menggunakan istilah brain rot untuk menggambarkan kemunduran intelektual akibat preferensi masyarakat terhadap ide-ide sederhana dibandingkan konsep yang lebih kompleks. Menurutnya, brain rot adalah bentuk pengalaman bersama di dunia hiper-digital yang membuat seseorang merasa terpaku pada layar. Thoreau menulis While England endeavours to cure the potato rot, will not any endeavour to cure the brain-rot – which prevails so much more widely and fatally? Tulisan ini menunjukkan keprihatinannya terhadap penurunan kualitas pemikiran masyarakat akibat preferensi pada hal-hal yang sifatnya dangkal.Lalu, pada periode 2023 hingga 2024, terutama di kalangan Gen Z dan Gen Alfa, istilah ini meningkat drastis sebesar 230%. Istilah ini menjadi populer karena dianggap relate dengan kehidupan sehari-hari mereka yang tidak lepas dari gadget dan media sosial. Istilah ini kemudian digunakan untuk menggambarkan penyebab maupun dampaknya, yakni merujuk pada konten hiburan instan berkualitas rendah yang banyak ditemukan di media sosial dan internet serta dampak negatif yang ditimbulkan oleh konten jenis ini terhadap individu maupun masyarakat. Istilah ini terkait dengan konten-konten seperti Skibidi Toilet dan meme ‘only in Ohio’ yang melahirkan bahasa baru yang disebut brain rot language. Contohnya adalah kata ‘skibidi’ yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak masuk akal, dan ‘Ohio’, yakni sesuatu yang memalukan atau aneh. Tren ini mencerminkan bagaimana kata-kata yang berasal dari budaya viral di media sosial dapat menyebar ke dunia nyata dan menjadi bagian dari bahasa sehari-hari.
Meningkatkan KesadaranMencari hiburan melalui konten di media sosial merupakan hal wajar yang sering dilakukan oleh generasi zaman sekarang untuk menghilangkan kejenuhan dalam bekerja maupun belajar. Namun, berkaca dari tren brain rot yang sedang marak, sudah seharusnya kita semakin meningkatkan kesadaran diri agar dapat mengontrol kebiasaan konsumsi produk digital. Para ahli menyarankan agar masyarakat dapat memilih konten yang lebih mendidik dan reflektif daripada sekadar hiburan instan atau sensasional.
Dalam hal ini, orangtua dan guru memainkan peran penting untuk membentuk kebiasaan yang positif, terutama pada anak-anak dan remaja. Edukasi mengenai dampak negatif dari over-konsumsi konten trivial serta pengajaran keterampilan berpikir kritis dapat membantu generasi muda supaya memiliki hubungan yang lebih sehat dengan teknologi. Para ahli juga menyarankan sebisa mungkin membatasi waktu agar tidak terpaku pada layar gadget untuk mengurangi paparan konten berkualitas rendah yang seringkali tidak menantang secara intelektual. Metode yang mengintegrasikan pola hidup sehat melalui aktivitas fisik rutin seperti membaca buku, berolahraga, atau bersosialisasi langsung dengan orang lain serta diimbangi tidur yang cukup, terbukti membantu melawan efek negatif dari paparan konten digital yang berlebihan. Sehingga diharapkan, dengan kombinasi pendekatan ini, risiko brain rot dapat diminimalkan secara efektif.Derida Hapy Rorensia mahasiswa Universitas Airlangga