Menakar 100 Hari Prabowo-Gibran: Segera Keluar Fase Transisi
PEMERINTAHAN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, yang dimulai pada 20 Oktober 2024, sudah memasuki fase 100 hari pertama.
Sebagai pemerintahan baru, periode ini sangat krusial untuk menetapkan arah kebijakan dan menilai sejauh mana program-program mereka dapat memberikan dampak nyata bagi rakyat Indonesia.
Namun, tak dapat dipungkiri, kritik terhadap kinerja pemerintah mulai bermunculan. Banyak pihak menilai langkah-langkah yang diambil oleh pemerintahan ini masih terhitung lambat, terutama terkait keberadaan beberapa pos kementerian baru yang belum memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan riil.
Meskipun demikian, apakah lambatnya kinerja ini merupakan fase transisi yang alami, ataukah kelambanan yang lebih mendalam? Pertanyaan yang perlu dijawab.
Dalam 100 hari pertama pemerintahan ini, terlihat adanya lobi politik dan aktivitas politis yang cukup dominan dalam menentukan arah kebijakan, yang mengindikasikan bahwa pemerintah lebih terfokus pada konsolidasi kekuasaan daripada implementasi program-program riil.
Ini adalah gambaran umum yang sering terjadi pada pemerintahan baru, yang dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan stabilitas politik dengan kebutuhan mendesak dari publik.
Di satu sisi, konsolidasi kekuasaan memang diperlukan untuk memastikan pemerintahan berjalan lancar.
Namun, di sisi lain, masyarakat mengharapkan tindakan nyata yang dapat langsung dirasakan oleh mereka, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan ekonomi, peningkatan infrastruktur, dan akses terhadap layanan publik yang lebih baik.
Dalam perspektif teori politik, khususnya yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam karyanya The Spirit of Laws, pemerintahan yang baik harus didasarkan pada prinsip meritokrasi – pemberian jabatan berdasarkan kebajikan dan kompetensi, bukan berdasarkan pertimbangan politik atau kekuasaan.
Sebaliknya, pemerintahan yang buruk akan menjadikan jabatan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Refleksi ini penting untuk mengkaji apakah komposisi kabinet dan arah kebijakan yang diambil oleh Prabowo-Gibran telah mencerminkan prinsip meritokrasi, atau justru sekadar pragmatisme politik semata.
Sejumlah kritik menyebutkan bahwa beberapa keputusan dalam pembentukan kabinet dan penunjukan pejabat publik lebih banyak dipengaruhi koalisi politik ketimbang dasar-dasar kompetensi dan kebajikan.
Hal ini perlu segera dievaluasi agar tidak merusak kredibilitas pemerintahan dalam jangka panjang.
Namun, 100 hari pertama pemerintahan tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan.
Setiap pemerintahan baru, terutama di negara sebesar Indonesia, pasti mengalami fase transisi yang memerlukan waktu untuk beradaptasi dan menyusun kebijakan yang tepat.
Dalam konteks ini, lambatnya kinerja pemerintahan bisa jadi merupakan bagian dari strategi jangka panjang yang lebih besar, di mana langkah-langkah awal diambil untuk membangun fondasi kokoh bagi pemerintahan selanjutnya.
Salah satu langkah penting adalah memastikan konsolidasi politik dan menciptakan stabilitas internal sehingga kebijakan yang diambil dapat diimplementasikan dengan efektif.
Namun, tantangan terbesar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran adalah bagaimana mereka segera keluar dari fase transisi dan mulai menunjukkan keberpihakan nyata kepada rakyat melalui program-program konkret dan dapat langsung dirasakan.
Infrastruktur, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat harus menjadi prioritas utama yang dieksekusi dengan cepat dan tepat.
Masyarakat Indonesia, yang telah menunggu lama untuk melihat dampak nyata dari pemerintahan baru, berharap agar pemerintah segera memulai langkah-langkah yang tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga substansial.
Contoh konkret yang dapat dilihat adalah program-program seperti makan siang bergizi, yang mulai diterapkan di sekolah-sekolah pada Januari 2025.
Program ini, meskipun baru dimulai, menunjukkan komitmen pemerintah terhadap pemberdayaan rakyat dan peningkatan kualitas hidup.
Program ini juga mencakup tiga dimensi besar pertama, sebagai respons terhadap kondisi ekonomi pasca-COVID-19 yang memengaruhi daya beli masyarakat, terutama keluarga miskin.
Kedua, sebagai bentuk kerakyatan yang berpihak pada kelompok-kelompok rentan. Ketiga, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi bonus demografi Indonesia.
Meskipun program ini memerlukan waktu untuk memberikan dampak signifikan, setidaknya ini adalah langkah tepat untuk membangun kesadaran tentang pentingnya gizi baik bagi anak-anak dan ibu hamil, yang merupakan investasi jangka panjang bagi masa depan Indonesia.
Namun, kritik terhadap lambatnya kinerja pemerintah tidak boleh diabaikan begitu saja. Meskipun pemerintah sedang berfokus pada konsolidasi kekuasaan, tantangan besar yang harus dihadapi adalah bagaimana menjaga kepercayaan publik.
Apalagi pemerintahan ini hanya bersifat “melanjutkan” dari pemerintahan sebelumnya. Sehingga wajar bila masyarakat berharap lebih dari performa kinerja pemerintahan ini dalam 100 kerja.
Jika pemerintahan terus terjebak dalam politik internal dan tidak memberikan hasil yang nyata dalam waktu dekat, maka legitimasi pemerintah bisa terancam.
Oleh karena itu, meskipun 100 hari pertama adalah masa penuh tantangan, pemerintah harus segera bergerak untuk menunjukkan hasil nyata dalam hal pengelolaan ekonomi, penyelesaian masalah infrastruktur, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Secara keseluruhan, 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran adalah fase yang penuh dinamika. Meskipun banyak yang mengkritik lambatnya langkah pemerintahan, kita juga harus memahami bahwa transisi politik membutuhkan waktu.
Sebagai pemerintahan yang baru dilantik pada 20 Oktober 2024, Prabowo-Gibran memasuki fase 100 hari kerja yang jatuh pada 29 Januari 2025.
Meski dalam periode awal ini terdapat kritik terkait lambatnya kinerja, hal tersebut bisa dimaklumi sebagai bagian dari fase transisi yang lazim terjadi pada pemerintahan baru.
Tantangan terbesar bagi pemerintahan ini adalah bagaimana segera keluar dari fase konsolidasi politik dan mulai menunjukkan hasil nyata yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat.
Namun, meskipun 100 hari pertama bukanlah satu-satunya indikator keberhasilan, periode ini tetap menjadi tolok ukur penting untuk mengukur arah kebijakan dan efektivitas pemerintahan.
Pemerintah masih memiliki waktu hingga 29 Januari 2025 untuk mempercepat langkah-langkahnya, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur, pengelolaan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan sosial.
Program-program strategis seperti makan siang bergizi, yang baru saja dimulai, dapat menjadi batu loncatan untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap peningkatan kualitas hidup rakyat, khususnya kelompok rentan.
Ke depan, Prabowo-Gibran perlu segera mempercepat implementasi program-program yang lebih konkret dan langsung berdampak, agar transisi politik tidak menghambat kemajuan negara.
Dengan memperkuat fokus pada pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi, dan kualitas sumber daya manusia, pemerintahan ini masih memiliki peluang besar untuk membuktikan bahwa meskipun langkah awalnya lambat, keberhasilan jangka panjang Indonesia akan tercapai.
Dengan semangat yang tepat dan strategi matang, 100 hari pertama ini dapat menjadi fondasi kokoh untuk menghadapi tantangan lebih besar di masa depan. Wallahualam bi sawab.