Menakar Peluang Jokowi Bentuk Partai Baru
AKHIRNYA talak cerai keluar juga. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) resmi memecat Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka, dan Calon Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dari keanggotaan partai.
Pemecatan “bapak, anak, dan menantu” itu diumumkan oleh Ketua DPP Bidang Kehormatan PDI-P Komarudin Watubun pada Senin (16/12/2024).
Khusus untuk Jokowi, pemecatannya dari keanggotaan PDI-P tertuang dalam Surat Keputusan (SK) nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024 yang ditetapkan pada 14 Desember 2024 dan ditandatangani Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto (Kompas.com, 16/12/2024).
Dalam suatu kesempatan, Hasto menyebut kader-kader PDIP yang dikeluarkan dari partai memiliki langkah politik berbeda di Pilpres 2024 dan Pilkada 2024, serta bermain dua kaki.
Di Pilpres 2024 lalu, Jokowi tidak mendukung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD selaku Capres dan Cawapres yang direkomendasikan DPP PDIP. Ia malah merestusi anaknya, Gibran, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Selain itu, Jokowi selepas dari Istana ikut “cawe-cawe” dengan meng-endors Luthfi dan Taj Yasin di Pilkada Jawa Tengah 2024, melawan pasangan calon yang diusung PDIP, yakni Andika Perkasa – Hendrar Prihadi.
Di level Pilkada Surakarta, Jokowi turun langsung memenangkan Respati – Astrid berhadapan dengan Teguh Prakosa – Bambang Gage yang diusung PDIP.
Tidak ketinggalan, Jokowi juga mempraktikkan kampanye “jastip” alias jasa titipan karena rajin membuat video dukungan untuk 84 calon kepala daerah yang berlaga di Pilkada Serentak 2024. Jokowi selalu memulai rekaman video dengan perkataan “saya titip”.
Sang menantu, Bobby Nasution juga menjadi penantang calon PDIP untuk Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi.
Seperti halnya Jokowi, Gibran, dan Bobby Nasution, Effendy Simbolon yang nekat mendukung Ridwan Kamil – Suswono di Pilkada Jakarta juga ikut dipecat dari PDIP.
Padahal untuk Jakarta, PDIP merekomendasikan Pramono Anung – Ridwan Kamil. Sementara 23 kader lainnya juga mbalelo melawan rekomendasi partai di Pilkada Serentak 2024 lalu.
Jokowi tampaknya tidak tinggal diam pascapemecatan dirinya. Walau perjalananya ke Jakarta menemui Presiden Prabowo Subianto dikemas karena alasan “kangen-kangenan”, tidak pelak aroma “exit plan” tengah dirancang Jokowi dengan cepat.
Acara makan malam bertabur sajian ayam goreng di rumah pribadi Prabowo itu sebagai bentuk konsolidasi politik pascagelaran Pilkada.
Jokowi harus cepat mencari dan memastikan mendapat tumpangan politik baru usai dipecat dari partai yang membesarkan diri, anak dan menantunya selama ini.
Jokowi bisa melesat dari Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta dan menjabat RI-1 selama dua periode karena disokong oleh PDIP.
Demikian pula saat anak dan menantunya meniti karier di politik juga menggunakan PDIP sebagai kendaraan politiknya.
Gibran menapak sebagai Wali Kota Surakarta dan Bobby Nasution menjabat Wali Kota Medan.
Prabowo selaku Ketua Umum Partai Gerindra mempersilahkan jika Jokowi ingin bergabung di partai yang dibesutnya.
Namun, saya yakin sejatinya Prabowo hanya mengucapkan basa-basi politik. Jokowi pun tidak akan “sreg” hinggap di Gerindra.
Gerindra identik dengan Prabowo dan “hil yang mustahal” ada matahari kembar antara Prabowo dan Jokowi di Gerindra.
Hanya Golkar dan PAN yang begitu antusias menyambut hengkangnya Jokowi dari PDIP. Elite-elite Golkar seperti berebut panggung dalam mempersilahkan Jokowi untuk berteduh di bawah rindangnya pohon beringin.
Bahkan dengan statusnya sebagai anggota Dewan Kehormatan Partai Golkar, Jokowi dan Gibran otomatis adalah anggota Partai Golkar dan tidak perlu punya kartu tanda anggota atau KTA.
Senada dengan Partai Golkar, PAN juga menyiapkan karpet biru untuk menyambut kedatangan Jokowi andai bergabung dengan partai berlogo matahari bersinar itu.
PAN sudah berkali-kali “hutang budi” dengan Jokowi, dua di antaranya selalu diajak bergabung di kabinet walau di dua kali Pilpres (2014 dan 2019) tidak mendukung Jokowi dalam melawan rival abadinya di pertarungan perebutan RI-1, yakni Prabowo Subianto.
Dalam konteks bangun koalisi besar bernama Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, maka selain Gerindra, PAN dan Golkar, masih ada PSI, PKB, Demokrat serta menyusul Nasdem dan PKS.
PSI yang ketua umumnya putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, saya yakini tidak menjadi pilihan Jokowi untuk parkir politik. PSI adalah “tempat bermainnya” sang putra bungsu sekaligus sekoci dalam perhelatan politik di 2029.
PSI tanpa diminta pasti akan menyokong mati-matian arah politik yang akan ditempuh Jokowi. Jokowi malah membiarkan PSI untuk berkembang mengingat PSI nyaris masuk Senayan. PSI adalah deposito politik Kaesang.
Sangat tidak mungkin secara politik Jokowi melabuhkan hatinya di PKB. Sebagai partai berbasis Nadhliyin, Jokowi tahu diri tidak memiliki darah Nadhliyin yang mengalir di keluarganya.
Demikian juga dengan Nasdem, Surya Paloh yang memiliki relasi “naik-turun” dengan Jokowi, saya yakini juga tidak akan dipilih Jokowi.
Nasdem sudah begitu identik dengan pemilik Metro TV itu dan juga tidak mengenal matahari kembar di partai yang menggaungkan restorasi Indonesia itu.
Demikian halnya dengan Demokrat. Demokrat selama ini tidak pernah menawarkan rumahnya untuk menampung Jokowi.
Demokrat dibangun oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan saat ini tengah dilanjutkan kepemimpinannya oleh putranya, Agus Harimurti Yudhoyono.
Demokrat tidak pernah keluar dari pakem keluarga Cikeas. Jokowi tidak akan memilih Demokrat sebagai tempat persinggahan usai “diusir” dari rumah lama.
Apalagi Demokrat juga punya “story yang kelam" ketika Jokowi seolah-olah “mendiamkan” Kepala staf Kepresidenan ketika itu, Moeldoko, mencoba mengambil alih pucuk kepemimpinan Demokrat dari AHY.
Bahkan Dino Patti Djalal, bekas Juru Bicara SBY sempat berujar di lini massa beberapa hari yang lalu bahwa dipecatnya Jokowi dari PDIP adalah karma. Jokowi dianggap mendiamkan langkah take over Demokrat oleh pembantunya.
PKS juga menjadi aneh jika menampung Jokowi mengingat relasinya selama ini begitu diametral.
Jokowi dipastikan akan mencari spesifikasi partai yang nasionalis dan pluralis sebagai rumah barunya. Menariknya, PKS mempersilahkan Jokowi bergabung asalkan mengikuti pengkaderan dari bawah.
PPP yang baru di Pemilu 2024 terlempar dari Senayan, saya perkirakan juga tidak akan dirujuk oleh Jokowi.
Jokowi butuh kekuatan politik yang riil di parlemen. Jokowi tidak ingin kebijakan masa lalunya digugat publik lewat serangkaian langkah hukum.
Jokowi butuh bumper politik untuk membentengi diri dan dinastinya dari serangan politik dan memastikan adanya perlindungan politik dan hukum.
Terhadap partai-partai “nol koma” alias Parnoko seperti PBB, Gelora, Perindo, Garuda, Ummat, PKN, Hanura, Buruh, tentu bukan menjadi destinasi politik selanjutnya bagi Jokowi.
Jokowi sekali lagi butuh kekuatan nyata di parlemen. Bukan sekedar penekan politik di luar parlemen.
Jokowi pun tengah berancang-ancang bersama pengikut setianya, Budi Ari Setiadi - kini menjabat Menteri Koperasi di Kabinet Indonesia Maju - menyiapkan Projo sebagai partai politik yang kemungkinan akan berlaga di Pemilu 2029.
Muncul “kode keras” dari Jokowi saat ditemui kalangan media di Solo pasca-Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto berencana memecat 27 kader dengan menyebut nama partai perseorangan.
Bisa jadi partai perseorangan yang dimunculkan Jokowi sebagai sinyal pendirian Projo sebagai partai baru. Kebetulan Projo adalah akronim dari Pro Jokowi.
Berpijak dari pengalaman sejak dari Solo, Jakarta dan RI-1 serta masih ada anak dan menantunya di panggung politik nasional serta lokal, tidak menutup peluang bagi Jokowi untuk terus eksis di politik nasional.
Belum lagi tajinya masih ampuh untuk ikut memenangkan berbagai Pilkada, maka dipastikan Jokowi masih akan mewarnai politik nasional.
Jokowi mungkin belajar dari SBY dan Megawati Soekarnoputri, dua mantan presiden yang masih sibuk mengurus partai politik setelah meninggalkan Istana.
Demikian juga Jokowi bisa menyimak perjalanan Prabowo Subianto yang masih menggamit partai politik walau sempat tiga kali gagal maju di pentas RI-2 dan RI-1.
Saya prediksi, jika Kaesang sudah memegang PSI dan Gibran sudah dirangkul Golkar serta Bobby Nasution sudah menjadi kader Gerindra, maka Jokowi tinggal menunggu peluang matangnya Projo.
Menatap Pemilu selanjutnya, segala peluang politik harus “ditangkap” oleh politisi, termasuk Jokowi.
Sejarah yang akan menentukan apakah Projo bisa lolos menjadi partai politik atau tetap menjadi organisasi relawan di kala sosok yang diagung-agungkan tidak lagi menjadi Presiden.