Menakar Prospek dan Kondisi Penyaluran Kredit Perbankan ke Industri Tekstil
Bisnis.com, JAKARTA - Industri tekstil kembali menjadi sorotan usai penetapan pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex. Sebelumnya, industri ini juga diterpa isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Lalu, bagaimana prospek dan penyaluran kredit perbankan di sektor ini?
Dalam Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit ke sektor tekstil tidak terinci karena masuk dalam kategori industri pengolahan atau manufaktur beserta dengan sektor lainnya.
Untuk penyaluran kredit ke industri pengolahan hingga Agustus 2024 tercatat senilai Rp1.151,93 triliun, tumbuh 8,15% secara tahunan (year on year/YoY). Pertumbuhan ini di bawah pertumbuhan kredit perbankan secara total, yang sebesar 11,40% YoY pada bulan kedelapan 2024.
Nominal kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) industri pengolahan tercatat senilai Rp38,00 triliun pada saat yang sama atau 3,30% dibandingkan dengan nilai penyaluran kredit ke sektor ini.
Kredit ke industri pengolahan merupakan yang terbesar ke dua untuk sektor produktif. Sementara, sektor dengan kucuran kredit bank terbesar yaitu perdagangan besar dan eceran senilai Rp1.177,33 triliun per Agustus 2024. Rasio NPL di sektor ini berada pada level 3,45% pada saat yang sama.
Head of Research LPPI Trioksa Siahaan menilai prospek industri tekstil secara umum dipengaruhi dengan banyaknya barang-barang impor tekstil dari China dan India, yang dapat menghambat ekspansi tekstil dalam negeri.
“Yang diikuti dengan perlambatan kredit tekstil,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (28/10/2024).
Khusus terkait dengan dampak status pailit Sritex terhadap kinerja bank-bank yang memberikan kredit jangka Panjang, Trioksa menilai ada 2 hal yang perlu dilihat.
Pertama, seberapa besar portofolio kredit bank terhadap Sritex dan kedua apakah pencadangan sudah terbentuk secara penuh. “Namun sampai saat ini, kondisi bank masih stabil dan terkendali, hanya memang perlu diantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang di masa yang akan datang,” ujarnya.
Selain itu, kata Trioksa, bank juga perlu melakukan evaluasi atas portofolionya ke SRIL dan berapa tingkat pengembalian dari portofolio setelah dikurangi dengan agunan.
Porsi penyaluran kredit ke SRIL oleh beberapa bank dalam negeri relatif tidak besar, yaitu terkecil 0,02% dan terbesar 8,94% terhadap total kredit yang disalurkan oleh bank.
BCA, misalnya, meskipun dari sisi nominal merupakan pemberi kredit jangka panjang terbesar ke SRIL, senilai US$71.309.579 atau setara Rp1,16 triliun per Juni 2024, tetapi jika dibandingkan dengan total penyaluran kredit pada saat yang sama, porsi kredit yang disalurkan ke Sritex hanya 0,14%.
Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia Agustus 2024, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bank entral sedang meramu ulang insentif kebijakan likuiditas berupa pengembalian GWM bagi perbankan yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas yang pro-job atau menciptakan banyak lapangan pekerjaan (padat karya) mulai 2025.
"Rencananya akan kami berlakukan mulai 1 Januari 2025, kawan-kawan sedang memfinalisasi. Kisi-kisinya sektor [prioritas] yang besar penyerapan tenaga kerja itu sektor perdagangan, besar maupun eceran, pertanian, dan juga industri pengolahan yang padat karya,” ungkapnya dalam konferensi pers, Rabu (16/10/2024).
Perbesar
Bukan hanya sektor tersebut, juga terhadap kredit yang bank salurkan kepada sektor transportasi, pariwisata, dan ekonomi kreatif. Termasuk sektor perumahan, mencakup konstruksi perumahan rakyat.
Hal ini dilatarbelakangi oleh penyaluran kredit perbankan yang tumbuh 10,85% yoy per September 2024. Pertumbuhan yang moncer ini ditopang oleh sejumlah sektor, meliputi pertambangan sebesar 26,7%, listrik, gas dan air (LGA) 15,9% kemudian pengangkutan, telekomunikasi dan sebagainya mencapai 17,5%, dan jasa dunia usaha 16%.
“Jadi, driver dari pertumbuhan kredit hingga bulan September itu lebih banyak memang sektor-sektor yang bersifat padat modal atau capital intensive seperti pertambangan dan sebagainya,” ujar Deputi Gubernur BI Juda Agung.
Saat ini, bank mendapatkan insentif kebijakan likuditas makroprudensial (KLM) apabila menyalurkan kredit ke sektor prioritas, yakni hilirisasi (minerba dan nonminerba), perumahan, pariwisata, dan sektor otomotif, perdagangan, LGA (listrik, gas, dan air), dan jasa sosial.
Dengan demikian, insentif yang sudah banyak diberikan kepada sektor-sektor padat modal, kini membuat BI akan memprioritaskan pemberian insentif kepada sektor-sektor yang bersifat padat karya atau labor intensive untuk mendorong penciptaan lapangan kerja.
Pasalnya, sektor padat karya untuk saat ini masih mencatatkan pertumbuhan yang mini, seperti pertanian yang tumbuh terbatas 7,4%, industri pengolahan yang salah satu yang terbesar juga hanya mencapai 7,22%, dan perdagangan hanya tumbuh 8,4%.
“Jadi, ini memang kita menggeser kepada sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Kepatuhan Bank Oke Efdinal Alamsyah menilai langkah ini mencerminkan kebijakan proaktif dari BI untuk memfokuskan perhatian pada sektor yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat dan perekonomian secara luas.
Selain itu, kebijakan tersebut juga dapat membantu meningkatkan investasi di bidang-bidang yang berpotensi menciptakan lapangan kerja.
“Akan tetapi, sektor padat karya seringkali menghadapi risiko yang lebih tinggi. Jadi, khususnya bank yang belum banyak menyalurkan kredit kepada sektor padat karya harus mempersiapkan strategi manajemen risiko yang baik,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (17/10/2024).
Ke depan, kata Efdinal, Bank Oke juga harus melihat apakah perlu perlu menyesuaikan strategi penyaluran kreditnya agar lebih fokus pada sektor padat karya. Lagi-lagi, karena sektor padat karya seringkali memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan sektor lain.
Terakhir, dirinya menyebut secara keseluruhan langkah BI ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Bank Oke untuk beradaptasi dan memanfaatkan insentif tersebut dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di sektor padat karya.