Menata Ulang Keamanan Maritim Kita
Kita nggak bisa melaut jauh…kami nelayan kecil mau cari ikan di mana lagi? Kapal [nelayan] asing banyak lagi, pengawas [atau] penjaga pantai Indonesia punya gak ada, TNI-AL gak ada, Bakamla nggak ada. Yang ada kapal-kapal asing, kapal perang China, Vietnam….
Keluhan pilu yang ditayangkan dalam wawancara CNA itu datang dari Dedi, seorang nelayan tradisional di Kepulauan Natuna. Penghidupannya kian hari makin terancam akibat maraknya kapal nelayan asing yang masuk dan meramaikan perairan Laut Natuna Utara. Dedi beserta rekan-rekan nelayan lainnya kerap terintimidasi oleh kehadiran kapal asing yang dikawal oleh aparat penjaga pantai negara asal kapal-kapal tersebut. Padahal, keluarga Dedi bergantung pada hasil tangkapan sebagai satu-satunya mata pencaharian. Sebuah ironi bahwa Dedi yang tinggal di negara maritim, yang dua pertiga wilayahnya terdiri dari perairan, dengan sejarah kejayaan di lautan selama ratusan tahun, kini merasa tidak aman untuk melaut di perairan "rumah"-nya sendiri.
Tidak hadirnya negara untuk melindungi rakyatnya, termasuk Dedi dan rekan-rekan nelayan di Kepulauan Natuna, sejatinya adalah kegagalan memenuhi amanat Pembukaan UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kegagalan ini berakar dari tidak optimalnya implementasi visi besar Indonesia sebagai negara maritim dan program penguatan pertahanan, antara lain akibat kurangnya anggaran dan masalah mendasar dalam tata kelola keamanan maritim.
Klaim SepihakSetidaknya sejak awal 2010-an, China mulai berkeinginan menegakkan klaimnya atas sebagian besar Laut China Selatan (LCS). Klaim sepihak China digambarkan sebagai "sembilan garis putus-putus" (nine-dash line) yang hanya didasari alasan historis tanpa didukung oleh hukum laut internasional, terutama Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 yang mengatur batasan hak berdaulat negara atas wilayah perairan. Terlebih, klaim China menyinggung kedaulatan negara-negara ASEAN seperti Vietnam dan Filipina. Indonesia memang tidak bersengketa dengan China. Namun, nine-dash line China bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, sehingga benturan antara nelayan kedua negara terjadi.
Merespons masalah ini, Indonesia mengambil posisi sebagai honest broker melalui pendekatan berbasis hukum internasional dan mengupayakan masalah LCS untuk dibahas di berbagai forum regional maupun multilateral. Posisi ini juga ditujukan untuk merangkul negara-negara ASEAN untuk mengonsolidasikan sikap bersama menentang klaim sepihak nine-dash line China.
Tetapi, di sisi lain, ketegasan Indonesia di isu LCS "terpaksa" ditahan karena kepentingan yang bertentangan, yaitu menjaga kemitraan dagangnya dengan China. Karenanya, pemerintah Indonesia menunjukkan sikap yang cenderung ambigu terhadap China. Pada saat para nelayan Natuna memohon hadirnya aparat keamanan, pemerintah justru setengah-setengah atau ragu-ragu memperlihatkan postur yang dapat dinilai oleh China sebagai langkah agresif.
Sebaiknya, Indonesia memikirkan kembali doktrin pertahanannya dan menaruh perhatian lebih bagi pembangunan angkatan laut dan udara, serta mengevaluasi pandangan dan pendekatannya terhadap Tiongkok.Perlunya Strategi BaruSudah 17 tahun berlalu sejak agenda Minimum Essential Force (MEF) diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sepuluh tahun sejak visi Poros Maritim Dunia (PMD) dicanangkan Presiden Joko Widodo.
MEF adalah rencana pembangunan kekuatan militer Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pertahanan yang ditargetkan tercapai 100% pada 2024. Rencana ini mensyaratkan sejumlah alat utama sistem senjata (alutsista) seperti kapal perang, pesawat tempur, dan sistem pendukung pertahanan lainnya untuk tiga matra TNI.
Kehadiran alutsista laut dan udara diperlukan untuk memperkokoh kehadiran Indonesia di perairan lepas, khususnya melaksanakan patroli pengamanan. TNI Angkatan Laut contohnya, ditargetkan memiliki 12 kapal selam untuk mengamankan 6.400.000 km persegi perairan laut Indonesia. Lebih lanjut, TNI Angkatan Udara ditargetkan mengoperasikan 344 pesawat untuk melindungi ruang udara Indonesia sekaligus memberikan dukungan logistik.
Sementara itu, PMD mencita-citakan pemanfaatan sumber daya dan konektivitas laut Indonesia yang didukung pertahanan maritim mumpuni. Secara normatif, PMD mendasari beberapa kemajuan dalam keamanan maritim, antara lain pembentukan Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada 2014 serta kebijakan penenggelaman kapal nelayan asing ilegal pada 2016–2019.
Namun sayangnya, baik MEF maupun PMD gagal diwujudkan sepenuhnya. Progres akuisisi alutsista berjalan lambat; hingga 2024, TNI AL hanya mengoperasikan 4 kapal selam, setelah KRI Nanggala 402 tenggelam pada 2021 lalu. TNI AU baru akan menerima pesawat tempur Rafale dari Prancis pada 2026, sementara F-15EX yang dipesan dari Amerika Serikat masih menunggu kepastian anggaran pemerintah.
Ketercapaian MEF hingga 2024 hanya bertengger di angka 65%, sampai sebagian pimpinan TNI menyuarakan perlunya strategi baru untuk memenuhi kebutuhan alutsista. Jika dibandingkan dengan kecepatan pembangunan militer China, didukung kemandirian industri pertahanan mumpuni disertai dengan penguasaan teknologi terkini, Indonesia jauh tertinggal.
Hal ini diperparah dengan pendelegasian urusan keamanan maritim kepada para menteri tanpa adanya arahan strategis yang terkoordinasi oleh Presiden Jokowi, yang lebih menaruh perhatian pada isu pembangunan ekonomi dan perdagangan. Akibatnya, tidak ada otoritas yang mampu mendorong urgensi pembangunan kekuatan pertahanan maupun menengahi perselisihan antarlembaga keamanan maritim.
Bahkan, memasuki periode kedua Presiden Jokowi, diskursus Poros Maritim Dunia lenyap. Alhasil, rasa aman yang menjadi hak seluruh rakyat Indonesia belum sepenuhnya berhasil diciptakan di tengah ancaman militer regional dan global yang makin berkembang. Indonesia kalah cepat beradaptasi dan memperkuat dirinya, terlebih menimbang kemajuan teknologi persenjataan jarak jauh yang hingga kini masih belum sepenuhnya kita kuasai.
Rendahnya Anggaran PertahananTanpa anggaran yang cukup, kekuatan pertahanan Indonesia hanya akan jalan di tempat. Analis pertahanan dalam maupun luar negeri, seperti Senior Fellow Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Julia Lau sudah berulang mengkritik terlalu rendahnya anggaran pertahanan Indonesia. Pasalnya, kekuatan militer efektif semestinya didukung anggaran 2–4% dari PDB nasional untuk sektor pertahanan.
Dapat dipahami jika masyarakat sipil bereaksi dengan sikap skeptis terhadap peningkatan anggaran pertahanan, berhubung potensi penyalahgunaan atau korupsi selalu perlu diwaspadai. Namun, argumen bahwa anggaran pertahanan tidak perlu ditambah secara signifikan karena "Indonesia tidak sedang dalam situasi perang" adalah salah kaprah yang fatal. Dalam keadaan damai sekalipun, hadirnya kekuatan pertahanan terbukti penting untuk mencegah niat aktor asing melanggar kedaulatan negara atau bahkan mengintimidasi warga sipil, seperti yang tengah dirasakan oleh Dedi dan rekan-rekan nelayan di Natuna.
Selain kurangnya anggaran, tumpang-tindih tata kelola juga menghambat jangkauan dan kemampuan kekuatan keamanan maritim Indonesia, sebagaimana diutarakan peneliti International Institute for Strategic Studies (IISS) Evan Laksmana.
Di samping Bakamla yang idealnya menjadi satu-satunya lembaga penjaga pantai (coast guard) di Indonesia, terdapat belasan lembaga lain yang berwenang dalam keamanan maritim, termasuk TNI-AL, Satuan Polisi Air, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) di bawah Kementerian Perhubungan.
Absennya presiden sebagai pengarah kebijakan maritim nasional juga mengakibatkan benturan antarkementerian dan lembaga terkait singgungan wewenang, ruang lingkup, dan alokasi sumber daya. Hambatan koordinasi ini berkontribusi terhadap lemahnya kehadiran Indonesia di perairan rawan, khususnya Laut Natuna Utara.
Menanti Kebijakan Luar NegeriKini, dunia menantikan kebijakan luar negeri dan keamanan Indonesia di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto. Analis Foreign Policy Research Institute (FPRI) Felix Chang memperkirakan Prabowo "tidak akan mengubah kebijakan Indonesia terhadap Laut China Selatan," terkait pembangunan pertahanan di Kepulauan Natuna. Pemerintahannya kemungkinan akan melanjutkan akuisisi alutsista, peningkatan gelar pasukan, dan latihan gabungan bersama negara kawasan.
Namun, lebih dari itu, pemerintahan Prabowo seharusnya berani mengambil langkah drastis dan tegas untuk menata ulang keamanan maritim Indonesia. Ego sektoral antara lembaga keamanan maritim perlu segera ditangani agar Indonesia mampu menyelaraskan kekuatannya untuk menangkal ancaman dari luar, daripada membuang waktu dan tenaga meributkan masalah internal seperti ruang anggaran maupun wewenang antarlembaga.
Untuk memenuhi kebutuhan persenjataan dan sistem pertahanan yang makin mendesak, pemerintah perlu mendorong peningkatan anggaran sektor pertahanan secara signifikan, setidaknya mencapai 2% dari PDB nasional.
Kritik dan keresahan masyarakat terkait anggaran pertahanan juga perlu ditanggapi secara serius dengan menjamin akuntabilitas dan transparansi dalam pemanfaatannya. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap peningkatan anggaran pertahanan dapat menguat, sehingga akan turut melancarkan agenda pembangunan kekuatan pertahanan.
Pada intinya, pembangunan pertahanan Indonesia harus mampu memberikan rasa aman bagi warganya di mana pun mereka berada. Sebagaimana harapan Dedi, Laut Natuna Utara ini kan laut paling ujung Indonesia. Tolonglah dijaga, karena kekayaannya kan banyak. Nggak usah sampai 24 jam, sebulan dua kali udah syukurlah kami sebagai nelayan. Berarti ada yang jaga kami di laut sana, kami pun kerja tenang.
Kalau [seperti sekarang] ini, macam mana kami mau kerja?
Kenzie Ryvantya peneliti Indonesian Youth Diplomacy, alumnus Ilmu Politik Universitas Indonesia