Mencermati dan Menikmati Lika-liku Pilkada Serentak 2024

Mencermati dan Menikmati Lika-liku Pilkada Serentak 2024

PILKADA serentak sudah usai. Hasilnya, meskipun belum diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masing-masing daerah, sudah diketahui oleh publik di daerah.

Sehingga pesta pora kemenangan telah berlangsung di banyak daerah. Saya sendiri menyaksikan langsung pesta kemenangan yang spontan tersebut di dua daerah, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.

Pesta pora nampaknya terjadi karena kekuatan petahana tumbang keprabon, kekuatan yang dianggap oleh masyarakat setempat belum mendatangkan perubahan ke arah kebaikan apapun untuk daerahnya selama menjabat.

Di Kabupaten Bima, NTB, saya menyaksikan ribuan masyarakat pendukung paslon penantang petahana tumpah ruah ke jalanan pada sore hari di tanggal 27 November.

Jalanan mendadak macet total, tak terkecuali kendaraan yang saya tumpangi, yang juga ikut barisan macet kendaraan-kendaraan lain.

Terlihat keceriaan spontan sekaligus tulus dari wajah-wajah mereka, yang disertai dengan tarian-tarian kegembiraan yang mereka ekspresikan dengan cukup meriah di pinggir-pinggir jalan raya Kabupaten Bima.

Hal tersebut sangat bisa dipahami. Kabupaten yang satu ini sudah sangat lama berada di bawah kekuasaan aristokratis sisa kerajaan Bima.

Meskipun pemilihan terjadi setiap lima tahun, nyatanya dalam 20 tahun terakhir, Kabupaten ini tetap berada di bawah kekuasaan keluarga yang sama.

Hampir 10 tahun berada di bawah raja kedua terakhir Kerajaan Bima, lalu berlanjut hampir 10 tahun lagi di bawah istrinya, setelah sang raja meninggal.

Dalam pergunjingan publik di Bima, waktu yang hampir 10 tahun tersebut diwarnai keputusan-keputusan yang sangat kolutif, di mana petinggi-petinggi daerah diisi oleh keluarga besar sang bupati.

Kondisi tersebut beriringan dengan cerita pembangunan daerah yang dikatakan tidak maju-maju alias begitu-begitu saja.

Lalu menjelang Pilkada serentak tahun ini, anak sang bupati pun tampil sebagai calon pengganti ibunya untuk menjadi bupati Kabupaten Bima. Sebelumnya, sang anak adalah ketua DPRD Kabupaten Bima.

Sehingga dengan konstelasi yang demikian, amarah pemilih yang muncul dalam bentuk kegembiraan atas kemenangan paslon penantang petahana sangat bisa dipahami.

Dalam hal ini, Pilkada telah berhasil menjadi penyalur aspirasi publik Kabupaten Bima yang benar-benar menginginkan perubahan di daerahnya.

Setidaknya, perubahan penguasa, dari penguasa lama dari kubu yang itu-itu saja, kepada penguasa baru yang lebih mencerminkan dan merepresentasikan suara publik Bima.

Di Kabupaten Dompu, kabupaten tetangga Kabupaten Bima, hal yang hampir serupa juga terjadi.

Ada konvoi para pendukung pemenang Pilkada Dompu. Ada musik “berjalan” sepanjang jalanan ibu kota Dompu sore hari setelah hari pencoblosan dan sehari setelahnya.

Namun, Kabupaten Dompu tidak sedang keluar dari cengkeraman kekuasaan arisokrasi layaknya di Kabupaten Bima.

Para pendukung paslon penantang Petahana berpesta pora karena merasa telah memilih perubahan ketimbang status quo, mengingat dalam waktu 3,5 tahun di bawah kekuasaan petahana, Kabupaten Dompu justru dianggap mereka mengalami kemunduran di dalam pembangunan.

Sebagian besar orang Dompu yang saya temui di lapangan setahun terakhir merasakan hal yang sama.

Secara pribadi tentu hal tersebut telah saya sampaikan kepada para pihak yang terkait di dalam pemerintahan daerah, tapi waktu terlalu pendek untuk melakukan perubahan.

Sehingga akhirnya saya sangat memahami mengapa salah seorang sosialita di daerah Dompu memberikan pandangan bahwa kemenangan penantang petahana kali ini benar-benar dilandasi oleh hati nurani pemilih, karena sebagian besar di antaranya telah mengalami kemunduran usaha selama masa pemerintahan petahana di Kabupaten Dompu.

Apalagi, kekalahan petahana Kabupaten Dompu cukup sulit untuk dipahami, sesulit memahami Pilkada Jakarta yang hampir semua partai politik berada di belakang Ridwan Kamil.

Di Dompu pun sama, petahana didukung sepuluh partai, sementara penantangnya hanya didukung oleh dua partai yang memiliki kursi di DPRD.

Namun itulah Pilkada serentak kali ini. Jaraknya tidak terlalu jauh dengan Pilpres 2024 dan pelantikan pemenang Pilpres 2024, sehingga semangat untuk terus melakukan perubahan masih menggema di dalam pikiran para pemilih, layaknya semangat yang terkandung di dalam pidato pelantikan Presiden Prabowo Subianto.

Pada Pilkada NTB misalnya, Lalu Mohamad Iqbal, yang dalam survei mutakhir Pilkada NTB masih berada pada posisi yang belum meyakinkan, nyatanya jauh melampaui raihan suara dua petahana.

Mayoritas “undecided voter” NTB akhirnya memilih figur baru, Lalu Iqbal, ketimbang harus berhadapan kembali dengan model dan gaya kekuasaan lama yang dalam pandangan mayoritas pemilih belum optimal dalam membangun dan memajukan Bumi Gora NTB.

Dukungan para elite lokal, bahkan termasuk Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi ; mantan Gubernur NTB dua periode, kepada petahana, ternyata tidak mampu memecah kebuntuan “undecided voter” yang jumlahnya masih sangat besar, hampir 30 persen, selama sebulan sebelum hari pencoblosan datang.

Dan ketika ditanya mengapa akhirnya memberikan suara kepada pendatang baru, jawaban mereka sangat jelas bahwa memilih figur baru yang memiliki “latar pribadi” baik masih menyisakan kemungkinan untuk perubahan terjadi, ketimbang memilih petahana, yang memang kurang berhasil membuktikan dirinya dalam satu periode pemerintahan terakhir.

Sebagaimana diketahui, pendatang baru di NTB, Lalu Iqbal, adalah kandidat yang mendapat kepercayaan dari pemenang Pilpres, Prabowo Subianto dan gerbong koalisinya, untuk maju di NTB.

Jarak yang cukup dekat dengan Pilpres membuat pemilih Prabowo yang memang mayoritas di NTB serta merta berpindah kepada Lalu Iqbal, meskupun sebagian besar di antarannya masih berkategori “undecided voter” sampai sebulan sebelum pencoblosan.

Jadi kemeriahan pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia ke delapan negeri ini di Oktober 2024, diakui atau tidak, sangat besar pengaruhnya dalam mendorong pemilih untuk mencoblos kandidat-kandidat yang didukung oleh Prabowo Subianto dan koalisinya.

Pilkada Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan banyak lainnya, adalah bukti betapa besarnya peran sentimen Pilpres dan Pelantikan Prabowo Subianto tempo hari kepada perilaku memilih di dalam Pilkada serentak.

Di Sumatera Utara, misalnya, meskipun begitu banyak sentimen negatif bermunculan ke permukaan atas kandidat besutan Prabowo dan KIM, Bobby Nasution, nyatanya tak mampu menghalanginya untuk mengalahkan petahana, Edy Rahmayadi, secara nyaris telak di Pilkada Sumatera Utara.

Di Jawa Barat pun sama. Dedi Mulyadi mengantongi suara yang sangat besar, 60-an persen, meskipun Pilkada Jabar diikuti oleh 4 paslon.

Dedi yang memang telah melakukan kerja politik di Jabar sejak lebih dari 10 tahun terakhir, ditambah dengan dukungan dari Prabowo dan sebagian partai anggota KIM, dengan mudah diterima oleh masyarakat Jabar, setelah Ridwan Kamil hengkang ke Jakarta.

Artinya, pemilih Ridwan Kamil dengan mudah berpindah kepada Dedi Mulyadi, karena mengetahui bahwa Ridwan Kamil juga didukung oleh KIM dan Prabowo di Jakarta.

Di Jawa Barat, Pilkada kali ini memenuhi dua aspirasi sekaligus, yakni aspirasi kepemimpinan baru dan perubahan, tapi juga sekaligus aspirasi untuk tetap mendukung kepemimpinan pusat, Prabowo Subianto, persis seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan NTB, misalnya.

Masyarakat Jabar mendapatkan pemimpin baru, yang sebenarnya pernah dikalahkan oleh Ridwan Kamil di Pilkada 2019, sekaligus mendapatkan rasa senang dan bahagia karena pemimpin tersebut adalah pemimpin baru, bukan petahana.

Hal agak berbeda terjadi di Sumatera Barat dan Jawa Timur, misalnya, di mana petahana memenangkan Pilkada nyaris telak, karena berhasil mendapatkan dukungan dari partai-partai besar pendukung Prabowo Subianto, sekalipun di sisi lain, partai politik lama yang awalnya mendukung “lawan” Prabowo Subianto, yakni PKS, adalah basis awal Petahana (Sumbar).

Sehingga dengan mengambil calon wakil gubernur dari Partai Gerindra sebagai calon wakil gubernur Sumbar, kekuatannya menjadi stabil dan sangat kuat.

Sehingga di Sumatera Barat, petahana justru bertahan dengan angka kemenangan yang telak. Mahyeldi kembali sebagai gubernur, begitu pun dengan Khofifah Indar Parawansa, dengan dukungan dari penguasa pusat di satu sisi dan dukungan publik daerah yang merasa sebagai pendukung penguasa pusat di sisi lain.

Lantas, mengapa di Jakarta yang terjadi justru berbeda? Sebenarnya kasus Jakarta ini memerlukan tulisan tersendiri.

Namun secara sederhana bisa dikatakan bahwa masalah di Jakarta bukan pada Koalisi Indonesia Maju (KIM) atau Prabowo Subianto, tapi pada paslon yang mereka dukung.

Keduanya bukanlah paslon yang tumbuh dari keinginan publik Jakarta, tapi lahir dari keinginan para elite koalisi pendukung penguasa nasional saja, tanpa bertanya kepada publik Jakarta.

Karena faktanya, hasil survei terakhir sebelum Anies Baswedan tersingkir, 40 persenan publik Jakarta justru menginginkan Anies sebagai cagub, diikuti oleh Ahok.

Faktanya keduanya tidak masuk ke dalam kontestasi di satu sisi dan tidak terwakili oleh paslon yang dipilih oleh penguasa pusat di sisi lain.

Walhasil, suara pemilih sebagian tumpah kepada lawan dari paslon besutan penguasa pusat, tapi lebih besar lagi justru tak digunakan. Karena itulah tingkat “golput” di Jakarta sangat tinggi.

Jadi pendeknya di sini saya ingin mengatakan bahwa pada Pilkada serentak kali ini, keberanian pemilih untuk mengaspirasikan perubahan di dalam bilik suara masih cukup besar, meskipun pada kasus-kasus tertentu tentu tak semua hasilnya sesuai dengan ekspektasi.

Bukan berarti Pilkada kali ini sudah sempurna, karena di lapangan pun kasus “vote buying” masih sangat tinggi.

Setidaknya pada banyak daerah, telah muncul keberanian dari publik untuk tidak lagi takut menggantikan petahana dengan kandidat baru, meskipun petahana bertanding dengan modal besar di satu sisi dan kandidat baru belum menunjukkan track record apa-apa di sisi lain.

Setidaknya, pada Pilkada kali ini, mengingatkan saya kepada perkataan Barack Obama Presiden ke-44 Amerika Serikat bahwa "There’s no such thing as a vote that doesn’t matter."

Sumber