Mendagri: Banyak Kepala Daerah Hanya Pikirkan Cara Belanja, Akhirnya Kasus

Mendagri: Banyak Kepala Daerah Hanya Pikirkan Cara Belanja, Akhirnya Kasus

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyinggung banyaknya kepala daerah yang hanya berpikir untuk memaksimalkan belanja daerah, tanpa mengupayakan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Pada akhirnya, banyak kepala daerah yang terjebak dan justru kasus korupsi dalam proses pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

"Karena rekan-rekan kepala daerah saya enggak katakan semua birokrat. Hampir semuanya berpikir itu bagaimana caranya, enggak berpikir bagaimana cara menaikkan pendapatan, yang dipikirkan bagaimana caranya gigit belanja. Akhirnya kena kasus,” ujar Tito dalam acara Penganugerahan APBD Award dan Rakornas Keuangan Daerah 2024 di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta Selatan, Rabu (18/12/2024).

Pola pikir tersebut, kata Tito, membuat para kepala daerah tidak membuat suatu inovasi, khususnya untuk mengupayakan peningkatan PAD, atau mengembangkan badan usaha milik daerah (BUMD) masing-masing.

Tito menilai, kepala daerah yang tidak berlatar belakang birokrat justru kerap kali lebih inovatif untuk mengembangkan potensi wilayahnya.

"Jadi enggak ada inovasi terobosan kreatif untuk menaikkan terutama PAD dan BUMD. Itu biasanya memiliki insting itu teman-teman dari kalangan entrepreneur," ucap dia.

“Kelemahan dari birokrat, mohon maaf dengan segala hormat dari pengawasan pengamatan saya, dari Birokrat berpikirnya enggak perlu banyak menerima saja pendapatan yang dari transfer pusat,” sambungnya.

Tito pun menyebut nama Menteri Pekerjaan Umum (PU) Maruarar Sirait yang turut hadir dalam acara tersebut.

Menurut dia, Maruarar yang berlatar belakang pengusaha dianggap akan lebih inovatif untuk meningkatkan PAD jika menjadi kepala daerah.

“Teman-teman dari kalangan entrepreneur. Ini kayak Bang Ara Ini kalau jadi Kepala daerah di pikiran beliau pasti. Gimana caranya untuk mendapatkan pendapatan, karena pendapatan yang banyak mau belanja apa aja, mau buat program aja lebih enteng,” tutur Tito.

“Nah, rata-rata (birokat) berpikir gimana caranya belanjanya saja yang dipikirin. Padahal belanja itu sudah habis nanti untuk gaji pegawai yang wajib, sama tunjangan tambahan pegawai, yaitu TPP. Kalau kita tunkin di pusat itu, belum lagi masalah Pegawai honorer,” pungkasnya.

Sumber