Mengaji Filsafat Jawa

Mengaji Filsafat Jawa

Judul Buku Mati Sebelum Mati Buka Kesadaran Hakiki; Penulis Fahruddin Faiz; Penerbit Noura Books, 2023; Tebal 248 halaman

Saya terlahir dan tumbuh di lingkungan masyarakat Jawa. Namun, saya tak berani mengklaim diri saya sebagai ‘manusia Jawa’ seutuhnya. Karena pengetahuan saya tentang kebudayaan Jawa–kebijaksanaan leluhur saya–masih sangatlah miskin. Saya hanya mengenal sedikit jargon-jargon pepatah Jawa dengan pemahaman seadanya. Kebudayaan Jawa masih menjadi semesta yang belum sepenuhnya saya masuki.

Maka beruntunglah, pada era industri siniar ini, kita bisa mengenal Fahruddin Faiz lewat seri #NgajiFilsafat. Pak Faiz, begitu para pendengarnya menyapanya, adalah oase di tengah menjamurnya konten siniar penuh gimik. Ketika banyak podcaster yang sibuk memproduksi konten ‘pepesan kosong’ atau kontroversial yang berbau seksual, Pak Faiz justru menyiarkan pengetahuan filsafat.

Pak Faiz bisa berbicara tentang Socrates, Plato, Nietzsche sampai Khalil Gibran. Dengan pembawaannya yang tenang dan suaranya yang empuk, dia menjelaskan pemikiran mereka dengan sangat renyah. Jauh dari kesan berat dan nuansa menggurui. Padahal ini filsafat lho! Tapi uniknya Pak Faiz bisa menyampaikannya dengan mudah. Atau jika meminjam istilah anak-anak sekarang, Pak Faiz bisa menjelaskan filsafat pakai bahasa bayi. Tak mengherankan pula jika living legend seperti Iwan Fals menjadi salah satu pendengar setianya.

Ternyata Pak Faiz tak hanya untuk bahasa verbal. Hal serupa juga ia lakukan lewat tulisan. Salah satunya di dalam buku Mati Sebelum Mati Buka Kesadaran Hakiki yang diterbitkan oleh Penerbit Noura Books. Judulnya memang terdengar sangat tidak milenial atau Gen Z. Hari gini, anak muda sudah mikirin mati? Tetapi jika kita pelan-pelan mencerna isinya, buku ini tak melulu berbicara perihal kematian. Kita akan menemukan khazanah pengetahuan filsafatnya orang Jawa.

Pak Faiz menuturkan bahwa orang Jawa itu suka bermain makna. Suka sekali memberi makna pada hal-hal yang barangkali tampak remeh temeh. Tetapi justru lewat yang remeh temeh, kita bisa melihat nilai-nilai pedoman hidup dalam melewati segala bentuk ketidakpastian.

Banyak jargon-jargon filosofi Jawa yang dipaparkan maknanya di sini. Salah satunya yakni memayu hayuning bawana, yang menegaskan komitmen manusia Jawa untuk terus merawat kehidupan dan mempercantik keindahan dunia ini. Hal ini sekaligus menepis prasangka bahwa kebudayaan Jawa identik dengan kekuasaan destruktif, yang seringkali dilekatkan pada gaya berpolitik Jawa. Padahal falsafah Jawa justru mengajarkan keselarasan dan keindahan.

Dalam buku ini, Pak Faiz juga memperkenalkan beberapa ajaran tokoh Jawa terkait hidup bahagia yang mungkin masih terdengar asing bagi banyak orang zaman sekarang. Misalnya Ki Ageng Suryomentaram dan R.M.P Sosrokartono.

Bagi saya pribadi, ajaran Ki Ageng Suryomentaram cukup sering saya dengar dan baca dari buku lain. Kendati demikian, ulasan singkat terkait ajaran Kawruh Begja semakin memantapkan pengetahuan saya soal inti filosofi kebahagiaan dari tokoh yang dijuluki Plato dari Jawa itu. Sedangkan untuk R.M.P Sosrokartono, saya mendapatkan pengetahuan baru terkait falsafah alif yang merupakan jalan untuk mencapai mindfulness. Kita tak perlu jauh-jauh mencari kebijaksanaan itu ke negeri-negeri Nordik atau Jepang.

Adapun dari beberapa keunggulannya, buku Mati Sebelum Mati Buka Kesadaran Hakiki juga mengandung kekurangan. Kekurangan tersebut bisa dilihat dari penjelasan Pak Faiz yang cenderung terlalu simplistis sehingga (mungkin) mendistorsi kedalaman pemikiran filsafat Jawa tersebut.

Walaupun begitu, buku ini bisa menjadi pengantar yang ‘gampang’ untuk mengenal filsafat Jawa. Sebab, seperti yang saya katakan di awal, buku ini ditulis dengan bahasa bayi. Bahasa yang cukup mudah dimengerti oleh orang-orang yang sibuk dijeda distraksi. Bacalah buku ini dan temukanlah hal-hal berharga yang diwariskan oleh leluhur kita.

Rakhmad Hidayatulloh Permana pegiat Detikcom Bookclub

Sumber