Mengakhiri Brutalitas Pemilu Lewat Revisi Undang-Undang

Mengakhiri Brutalitas Pemilu Lewat Revisi Undang-Undang

JAKARTA, KOMPAS.com - Kata "brutal" menjadi favorit para elite politik untuk mengomentari jalannya Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Mereka menggunakan kata ini sebagai simbol bahwa pemilihan umum yang digelar 2024 sangat jauh dari cita-cita demokrasi.

Tentu, yang paling banyak memakai kata "brutal" untuk mengomentari Pemilu 2024 adalah mereka yang kalah. 

Ucapan brutalitas pemilu ini diungkapkan berbagai elite politik, baik yang telah pensiun dari jabatan publik, maupun mereka yang saat itu berada di dalam kekuasaan.

Diksi berbeda pernah diucapkan oleh Wakil Presiden Ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla, meskipun maknanya tak jauh berbeda.

Dia menyebut, Pemilu 2024 sebagai ajang pemilihan presiden, wakil presiden sekaligus parlemen yang paling buruk sepanjang sejarah sejak tahun 1955.

"Artinya adalah demokrasi pemilu yang kemudian diatur oleh minoritas, artinya oleh orang yang mampu, orang pemerintahan, orang yang punya uang," katanya setelah Pemilu 2024 tiga minggu berlalu, tepatnya pada Kamis (7/3/2024).

Dia mengatakan, Pemilu 2024 tak seharusnya mundur seperti saat ini agar proses pergantian kepemimpinan bisa semakin baik dan berkualitas.

Selebihnya, tiga tokoh yang mengucapkan kata "brutal" untuk menggambarkan Pemilu 2024 ialah Eks Menkopolhukam Mahfud MD yang juga kontestan Pilpres 2024, dan Ketua MPR-RI Bambang Soesatyo.

Ada juga Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI sekaligus cawapres nomor urut 1.

Dari kalangan masyarakat sipil, ada pengajar hukum pemilu Fakultas Hukum UI Titi Anggraini.

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya pun mengakui perlunya perbaikan pemilu, berkaca pada pemilu 2024 lalu.

Pada sebuah acara diskusi 19 November lalu, Bima Arya menjelaskan, Presiden memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024 sehingga ada amanat yang diberikan secara langsung kepada Kementerian Dalam Negeri untuk memperbaikinya.

"Yang pertama kali dia sampaikan adalah ’tolong Kemendagri lakukan kajian tentang sistem pemiliu kita, tidak efektif, tidak efisien,’ kira-kira begitu," ujar Bima.

Ia menyebut, Presiden Prabowo Subianto menangkap keresahan masyarakat terkait apa yang disebut "brutalitas" dalam Pemilu 2024, mulai dari biaya politik hingga isu yang mungkin bisa memecah belah bangsa.

"Nah ini saya kira apa yang ditangkap Presiden dengan apa yang disuarakan juga oleh para pemikir, peneliti di kampus, juga teman-teman politisi," ucap dia.

Hal yang menjadi sorotan dan dalil gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) saat perselisihan hasil pemilihan presiden 2024 adalah politisasi bantuan sosial.

Putusan MK memang tak mengubah hasil apa pun dari keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait pemenang Pilpres.

Namun, pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi catatan penting penyelenggaraan Pemilu 2024.

Wakil Ketua MK ini beranggapan bahwa dalil Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar berkaitan dengan politisasi bansos seharusnya tidak ditolak Mahkamah.

"Saya berkeyakinan bahwa dalil pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum," ujar Saldi membacakan pendapat berbedanya (dissenting opinion) dalam sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).

Dia mengungkit bahwa pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali.

Menurut Saldi, terdapat fakta persidangan perihal pemberian atau penyaluran bansos atau sebutan lainnya yang lebih masif dibagikan dalam rentang waktu yang berdekatan/berhimpitan dengan pemilihan umum (Pemilu) 2024.

"Praktik demikian merupakan salah satu pola yang jamak terjadi untuk mendapatkan keuntungan dalam pemilu (electoral incentive)," kata Saldi.

Hal ini secara tak langsung juga menjadi ketakutan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024. K

Ketakutan yang membesar ini disalurkan lewat Komisi II DPR-RI sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan menghentikan penyaluran bantuan sosial agar tak terjadi politisasi oleh calon kepala daerah petahana yang memiliki kewenangan terkait bansos ini.

Selain masalah bansos, dukungan Kepala Negara kepada kontestan pemilu menjadi sorotan publik dalam konteks brutalitas pemilu.

Meski secara aturan tak ada yang melarang, hal yang dilakukan kali pertama oleh Presiden Joko Widodo ini dilanjutkan Prabowo saat ini di masa Pilkada.

Sedikitnya, Presiden Prabowo blak-blakan meng-endorse tiga pasangan calon kepala daerah, yakni calon gubernur dan wakil gubernur (cagub-cawagub) Jawa Tengah, Ahmad Luthfi dan Taj Yasin, lalu cagub-cawagub Banten, Andra Soni-Dimyati Natakusumah. Terakhir dukungan untuk cagub-cawagub Jakarta, Ridwan Kamil dan Suswono.

Bentuk brutalitas lainnya yang paling terlihat di Pilkada Serentak 2024 adalah aksi borong tiket.

Hal ini jelas terlihat pada saat pendaftaran calon kepala daerah untuk Pilgub Jakarta. Eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang saat itu memiliki elektabilitas paling tinggi tak dapat tiket karena tak ada yang mencalonkan.

Sedangkan paslon Ridwan Kamil-Suswono melanggeng dengan memborong 15 partai.

Beruntung putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah memberikan kesempatan PDI-Perjuangan mengusung calonnya sendiri sehingga Pilkada Jakarta berjalan dengan lebih dari dua pasangan calon.

Namun nasib berbeda terlihat di beberapa daerah yang masih menyuguhkan kotak kosong sebagai lawan calon tunggal yang memborong tiket pilkada.

Terbanyak berada di Provinsi Bangka Belitung dengan tiga daerah kabupaten/kota yang berkontestasi dengan kotak kosong.

Cegah terulang dengan perbaikan hukum pemilu

Ada harapan besar dari masyarakat agar pemilu di masa depan tak lagi sebrutal saat ini dengan jalan memperbaiki aturan main pemilihan.

Revisi UU Pemilu digaungkan, baik dari kalangan elite politik, legislatif, pemerintah dan masyarakat sipil.

Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraeni mengatakan, revisi UU Pemilu dan Pilkada yang menjadi prioritas program legislasi nasional (prolegnas) sangat diperlukan.

Salah satu yang paling krusial adalah pemisahan antara pemilu dan pilkada di tahun yang berbeda untuk menghindari rendahnya tingkat partisipasi pemilih.

"Ada sejumlah hal yang mendesak dievaluasi dan diperbaiki dalam UU Pilkada berkaca dari penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 yang terselenggara di tahun yang sama dengan Pemilu Serentak 2024," ujarnya pada Jumat (29/11/2024).

Ia juga menyoroti beban berat yang dihadapi penyelenggara akibat harus mengelola tahapan pemilu dan pilkada secara bersamaan.

Hal penting lainnya adalah membuat ambang batas calon kontestan pemilu dan pilkada yang dilakukan secara lebih adil.

Wamendagri Bima Arya mengatakan, ambang batas pencalonan tak hanya mengatur batas bawah suara yang harus diperoleh partai atau kumpulan partai, tetapi juga harus mengatur batas atas suara partai atau kumpulan partai dalam mencalonkan pasangan calon tertentu.

Hal ini perlu dilakukan, agar aksi borong tiket tak lagi terjadi di masa depan.

Terakhir dan yang mungkin paling penting di luar hal teknis lainnya adalah segera merevisi UU Pemilu setelah Pilkada Serentak 2024 dinyatakan selesai.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia mengatakan, revisi UU pemilu harus segera dilakukan agar terbebas dari intervensi dan kepentingan politik yang kuat.

Jika revisi UU Pemilu dan Pilkada direvisi mendekati tahun pemilihan, dia khawatir akan ada intervensi yang kuat dan titipan pasal yang bisa menguntungkan para kontestan pemilu.

Sumber