Mengapa Mahkamah Agung Menolak PK Terpidana Kasus Pembunuhan Vina Cirebon?
Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh delapan terpidana dalam kasus pembunuhan berencana Vina dan Eky di Cirebon.
Adapun PK tujuh terpidana itu terbagi dalam dua perkara. Perkara pertama teregister dengan nomor 198/PK/PID/2024 atas nama Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya.
Sementara, PK lima terpidana lainnya yakni Eka Sandi, Hadi Saputra, Jaya, Sudirman, dan Supriyanto teregister dengan nomor 199/PK/PID/2024.
Kemudian, PK yang diajukan terpidana anak Saka Tatal untuk membersihkan namanya. PK itu teregister dengan nomor 1688 PK/PID.SUS/2024 dan diadili oleh Hakim Agung Prim Haryadi.
Dalam kasus ini, total ada delapan orang terpidana. Tujuh di antaranya divonis penjara seumur hidup. Sementara satu terpidana lainnya, Saka Tatal dihukum delapan tahun penjara. Saka Tatal kini sudah bebas murni.
Keputusan ini memunculkan berbagai respons, mulai dari pihak keluarga, kuasa hukum, hingga pengamat hukum yang menyoroti alasan penolakan PK tersebut.
Juru Bicara Mahkamah Agung, Yanto menyampaikan bahwa alasan utama penolakan PK adalah tidak adanya kekhilafan dalam putusan tingkat sebelumnya, baik dari segi fakta (judex facti) maupun hukum (judex juris).
“Pertimbangan majelis dalam menolak permohonan PK tersebut antara lain tidak terdapat kekhilafan judex facti dan judex juris dalam mengadili para terpidana,” kata Yanto dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Selain itu, menurut dia, bukti baru atau novum yang diajukan oleh para pemohon tidak memenuhi kriteria sebagai bukti baru yang diatur dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf a KUHAP.
Dengan demikian, permohonan PK dinyatakan tidak berdasar, dan putusan sebelumnya tetap berlaku.
“Dengan ditolaknya permohonan PK para terpidana tersebut, maka putusan yang dimohonkan PK tetap berlaku,” ujar Yanto.
Kuasa hukum para terpidana, Jutek Bongso memaparkan bahwa pihaknya telah menghadirkan sejumlah fakta baru, seperti ekstraksi percakapan dari ponsel salah satu pihak terkait, kesaksian yang menyebut kejadian itu adalah kecelakaan, serta pencabutan kesaksian palsu oleh saksi kunci, Dede.
Namun, MA memutuskan bahwa fakta-fakta tersebut tidak memenuhi syarat sebagai novum.
“Ekstraksi handphone Widi kami lakukan hingga dua minggu dengan izin majelis hakim, tetapi mengapa ini tidak dianggap sebagai novum? Kami juga membawa kesaksian yang menyebutkan bahwa peristiwa ini adalah kecelakaan, bukan pembunuhan, dan pengakuan Dede yang mencabut kesaksian palsunya. Apakah semua ini tidak cukup?" ujar Jutek Bongso di Cirebon, Senin.
MA tidak memberikan penjelasan rinci mengapa fakta-fakta tersebut tidak diterima sebagai novum.
Namun, berdasarkan amar putusan, majelis hakim memandang fakta yang diajukan tidak mampu membuktikan adanya kekhilafan dalam putusan sebelumnya.
Kuasa hukum para terpidana menilai keputusan MA sebagai sebuah tragedi keadilan. Jutek Bongso menyebut bahwa keputusan ini menyakitkan, tetapi dia menegaskan pihaknya tetap menghormati putusan tersebut.
“Putusan ini bukan kiamat, tetapi menurut kami, ini adalah tragedi buat Indonesia," kata Jutek Bongso.
Sementara itu, keluarga terpidana yang menyaksikan pengumuman putusan MA melalui daring tak mampu menyembunyikan kekecewaan mereka. Tangisan pecah di salah satu hotel di Kota Cirebon, tempat keluarga dan kuasa hukum berkumpul.
Bahkan, Titin Prialianti, salah satu anggota keluarga, pingsan akibat tidak kuasa menahan kesedihan.
Meski PK telah ditolak, Jutek Bongso mengatakan, beberapa opsi hukum yang masih terbuka, seperti grasi, amnesti, abolisi, atau bahkan mengajukan PK kedua.
Dia juga menyerukan dukungan masyarakat untuk terus memperjuangkan keadilan bagi para terpidana.
“Kami kuasa hukum sudah maksimal melakukan pembelaan dan pendampingan. Tuhan belum berpihak kepada kita, tetapi kami tidak akan berhenti berjuang untuk menegakkan keadilan,” ujarnya.