Mengapa Pemerintah Sebaiknya Membatalkan PPN 12 Persen?
JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dijadwalkan berlaku pada 1 Januari 2025 masih menuai penolakan dari masyarakat.
Awalnya, kenaikan PPN ini dijanjikan hanya dimaksudkan untuk barang-barang mewah, tetapi kenyataannya berdampak pada berbagai barang dan jasa.
Sejumlah tokoh dan akademisi memberikan tanggapan terhadap keputusan pemerintah ini.
Menurut mereka, pemerintah dapat mencari alternatif lain untuk menambah pendapatan negara ketimbang memungut PPN 12 persen yang dapat membebani rakyat.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Jacklevyn Fritz Manuputty, menyatakan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen bakal menghantam daya beli masyarakat kecil yang berpenghasilan rendah.
"Karena bagaimanapun juga kenaikan PPN akan menghantam daya beli masyarakat kecil yang berpenghasilan rendah," kata Jacky, sapaan akrabnya, Sabtu (28/12/2024).
Jacky sangat berharap pemerintah mempertimbangkan penerapan jaring pengaman sosial bagi masyarakat kecil.
Ia mengaku mendukung upaya pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi, namun tetap mengingatkan pentingnya aspek keadilan sosial.
Jacky juga menekankan pentingnya transparansi dalam penegakan hukum, khususnya terkait maraknya kasus korupsi.
Dia yakin, pengelolaan pajak yangtransparan dan akuntabel akan berbanding lurus dengan kepatuhan masyarakat bayar pajak.
"Kami percaya bahwa kepercayaan masyarakat dan kepatuhan masyarakat terhadap pajak akan meningkat seiring pengelolaan pajak dan dana-dana publik lainnya yang dilakukan secara transparan dan akuntabel," ujar Jacky.
Senada dengan Jacky, tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB), Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, menilai bahwa kebijakan ini akan semakin melemahkan daya beli masyarakat.
“Kami menilai kebijakan ini akan semakin menyulitkan masyarakat menengah bawah yang belakangan ini sudah melemah daya belinya,” ujarnya dalam acara diskusi virtual.
Akademisi yang juga tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB), Komaruddin Hidayat, menilai bahwa pemerintah perlu memikirkan momentum yang tepat untuk menaikkan PPN.
"Momentumnya tolong dipikirkan lagi. Jika kondisinya sudah tepat, silakan saja, tetapi untuk kondisi saat ini, saya khawatir akan kontraproduktif," ungkapnya.
Komaruddin juga menunjukkan bahwa harga barang di pasar mulai melonjak, membuat masyarakat, terutama ibu-ibu rumah tangga, semakin tertekan.
“Nah, apakah ada hubungannya dengan akhir tahun atau dengan isu PPN, tapi ibu-ibu rumah tangga sudah langsung menjerit karena harganya sudah naik,” ungkap Komarudin.
Ia juga menyoroti struktur kabinet pemerintahan yang menurutnya cukup dengan banyaknya menteri yang bercokol di kabinet.
Komarudin mengingatkan agar jangan sampai ada persepsi bahwa PPN dinaikkan demi membiayai para pejabat.
"Jika kemudian image masyarakat sebaliknya bahwa semakin banyak menteri-menteri, semakin banyak gaji, sementara produktifitas belum muncul, lalu PPN dinaikkan, ini seakan-akan rakyat diminta subsidi,” kata Komaruddin.
Pemerintah masih memiliki opsi untuk menunda kenaikan PPN menjadi 12 persen, salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
“Ya, bisa (ditunda) dengan perppu. Itu peraturan pemerintah pengganti undang-undang," kata eks Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas.
Namun, ia menambahkan bahwa perppu hanya dapat diterbitkan dalam situasi kegentingan yang memaksa.
Erry juga mengingatkan bahwa perppu tersebut mesti disetujui oleh DPR.
Di sisi lain, Lukman Hakim Saifuddin, tokoh Gerakan Nurani Bangsa lainnya, menyatakan bahwa DPR RI juga dapat merevisi undang-undang untuk menunda kenaikan PPN.
Menurut dia, DPR mampu untuk merevisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengatur PPN 12 persen bila berkaca dari revisi kilat sejumlah undang-undang yang dibuat DPR.
"Tanpa harus menggunakan perppu, sebenarnya merevisi undang-undang yang ada dalam rangka untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat menengah bawah, saya pikir bisa dilakukan dalam hitungan hari," kata Lukman.
Lukman menekankan pentingnya pemerintah untuk serius memperhatikan dampak dari kenaikan PPN terhadap masyarakat kelas menengah dan bawah.
"Ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah," tutupnya.
Erry berpandangan, ada beberapa alternatif yang bisa ditempuh pemerintah untuk menambah pendapatan negara ketimbang menaikkan PPN 12 persen.
Salah satunya adalah menaikkan pajak-pajak yang dipungut dari orang-orang kaya.
"Mengapa tidak dicari sumber-sumber lain, misalnya memajaki orang-orang kaya dengan lebih besar, dan bocoran-bocoran soal ini kan sudah banyak dan sebetulnya pemerintah bisa melakukan ini," ujar Erry.
Erry tetap menghargai bahwa kenaikan PPN merupakan amanat undang-undang.
Namun, ia mengusulkan, agar pekerja di sektor pendidikan seperti guru swasta, juga menerima insentif yang diberikan pemerintah.
"Jangan hanya kepada pekerja-pekerja kasar, tapi juga pekerja-pekerja yang tidak kasar seperti guru swasta, dosen, tenaga kependidikan dan sebagainya," katanya.
Pihak Istana Kepresidenan melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi enggan berkomentar ihwal rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen yang terus disorot publik.
Prasetyo menyatakan, pertanyaan soal PPN 12 persen lebih baik ditanyakan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani atau Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
“Masalah PPN tanya Menkeu, (atau tanya ke Menko Perekonomian) Pak Airlangga,” kata Prasetyo, Sabtu malam.
Ia juga enggan mengomentari terkait dengan aksi demo penolakan kenaikan PPN 12 persen oleh mahasiswa BEM Seluruh Indonesia (SI) di Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).