Mengawal Penyelamatan (Buruh) Sritex

Mengawal Penyelamatan (Buruh) Sritex

Hari-hari belakang ini semua buruh dari PT Sritex benar-benar pusing tujuh keliling. Dari sekitar 50 ribu buruh yang terancam kena PHK karena perusahaan pailit (tutup) berdasarkan putusan Mahkamah Agung, hanya 3% yang mulai mencari kerja baru, berburu pekerjaan apa saja yang penting modal untuk ‘dapur mengepul’ bagi keluarga buruh. Ada yang mulai kerja serabutan, ada yang mau menjadi buruh pocokan atau bahkan jadi pembantu rumah tangga, warung pinggir jalan atau UMKM ala kadarnya. Kondisi keprihatinan dan kesengsaraan buruh eks PT Sritex tersebut sebenarnya sudah berjalan hampir satu tahun, di mana sejak 2023 manajemen PT Sritex sudah mulai melakukan PHK sebagian buruhnya, karena kesulitan keuangan. Perusahaan hidup dengan ‘gali lobang tutup lobang’, dan lambat tetapi pasti hal inilah yang menyebabkan perusahaan tekstil yang pada 2018 mampu memenangkan tender pengadaan seragam militer angkatan darat pemerintah Jerman itu dan dinilai oleh Majalah Forbes (2019) sebagai perusahaan tekstil terbesar di ASEAN itu megap-megap terlilit utang, hingga akhirnya ada yang mempailitkan karena dinilai sudah tak mungkin lagi diselamatkan.Utang PT Sritex ke pihak ketiga/investor tercatat per Desember 2024 mencapai Rp 24,15 triliun. Padahal aset total jenderal perusahaan hanya sebesar Rp 16,20 triliun. Ibarat besar pasak daripada tiang, maka agak berat untuk bisa pulih dan normal beroperasi seperti sediakala. Atas dasar besarnya masalah keuangan tersebut, Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, mengutus Wamen Kemenaker, Emanuel Ebenezer, untuk melakukan lobi kepada manajemen dan pihak-pihak yang mempailitkan perusahaan tekstil tersebut agar bisa kembali memulihkan kondisi usaha/bisnis PT Sritex. Bolak-balik tim monitoring PT Sritex dari Kementerian Tenaga Kerja ke Sukoharjo, Jawa Tengah, bertemu dengan para buruh, dan berjanji, sesuai amanat Presiden Prabowo, manajemen Sritex dipastikan tidak akan melakukan PHK.Sorak-sorai pun bergemuruh di ruang aula pertemuan perusahaan, ketika sang utusan presiden Prabowo itu ‘menebar janji manis’, sesumbar hendak menyelamatkan perusahaan plus sekaligus memastikan para buruh perusahaan yang sudah bekerja rata-rata di atas 30 tahun itu, untuk tetap bekerja seperti biasa. Namun sungguh lacur, hanya dalam waktu kurang dari dua minggu setelah utusan Presiden Prabowo kembali ke Jakarta, demontrasi besar-besaran terjadi lagi di wilayah Soloraya dan sekitarnya. Demonstrasi itu justru dimotori oleh para buruh aktif PT Sritex yang merasa ‘hanya dininabobokan’ oleh pemerintah, dengan janji manis ’tak di-PHK"!Barometer Kemampuan Pemerintah Mencermati persoalan pailit dan kesulitan keuangan perusahaan memang bukan sekedar yang dialami oleh PT Sritex. Catatan Kementerian Perindustrian (2023) menyebutkan selama 10 tahun terakhir setidaknya ada hampir 500 perusahaan di seluruh Indonesia yang juga sedang menghadapi masalah serupa krisis keuangan perusahaan. Hal ini terjadi lebih karena kondisi bisnis dan investasi di skala global dan regional memang sudah lama lesu. Hal ini diperparah dengan ancaman peran tanpa kejelasan antara Rusia vs Ukraina, dan berlanjut di wilayah lain, yaitu Israel vs Hammas (Palestina), dan akhirnya Iran vs Israel. Pengaruh perang tersebut sangat nyata, yaitu mandeknya permintaan barang/produk ekspor Indonesia, termasuk produk tekstil dan bahan baku industry lainnya. Kemenperin menaksir gara-gara perang itu, Indonesia mengalami penurunan ekspor hingga 45%, karena Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor produk Indonesia sedang mengalami resesi karena tekanan ekonomi global yang terganggu.Untuk alasan inilah, menyelamatkan nasib dan masa depan buruh Sritex sejatinya bisa menjadi barometer terkait kemampuan pemerintah ‘memulihkan’ usaha sejumlah perusahaan yang selama ini mempekerjakan para pekerja dengan berbagai kompetensi itu. Pengalaman pemerintah Jepang atau China pada 2010 bisa menjadi pelajaran berharga. Jika pemerintah Indonesia selama ini hanya menyediakan ‘bantuan sosial-keuangan’ kepada warganya secara langsung, maka pemerintah Jepang atau China justru menyediakan bantuan langsung keuangan pada perusahaan-perusahaan yang potensial mempekerjakan ribuan-jutaan tenaga kerja. Toyota Corp di Jepang, dan Shin Yen, Co di China, pernah mengalami bagaimana pentingnya bantuan keuangan dari pemerintah ketika perusahaan-perusahaan itu sedang ‘sakit’ baik karena terpangkasnya keuntungan sehingga memangkas profit bisnis-investasinya atau pun karena bencana keuangan lainnya. Saat itu, satu miliar Yen digelontorkan untuk membantu keuangan Toyota Corp untuk baya hutang pada pihak ketiga. Demikian pula pemerintah Tiongkok mengguyur bantuan pasar pada perusahaan mesin nasional, Shin Yen Co, ketika perusahaan tersebut gagal bayar utang mencapai 20 miliar Yuan.Bantuan sosial keuangan bisa memungkinkan dilakukan oleh negara/pemerintah berkuasa, bukan merupakan ‘pelanggaran’ subsidi. Justru di sinilah ‘keadilan distributif’ bermakna ganda. Sigmund Janete dalam Beyond Global Investment, (2022) menyebutkan bahwa meskipun para pengusaha secara individual ‘dilarang’ menerima bantuan negara/pemerintah, tetapi perusahaan yang mempekerjakan ribuan / jutaan pekerja nasional, demi dan atas nama menyelamatkan masa depan tenaga kerjanya, banyak negara sudah melakukannya dengan sangat baik.Ada dua keuntungan sekaligus. Pertama, menyelamatkan ‘pundi-pundi’ ekonomi negara/pemerintah itu sendiri. Sumbangan perusahaan besar yang selama memproduksi barang/produk ekonomi telah berjasa meningkatkan pendapatan nasional-daerah setiap tahun. Melalui pajak dan dana-dana keuangan perusahaan, sebagian telah membantu ekonomi rakyat, menciptakan lapangan pekerjaan, membuka pekerjaan baru, mengurangi pengangguran.

Jasa-jasa perusahaan yang tak terhitung itu kadang tak sekadar hanya diperlukan ketika mereka sedang beruntung secara bisnis-investasi, tetapi ketika mereka sedang sulit, apalagi pada masa krisis keuangan perusahaan, bukan tidak mungkin dan (tidak haram), Negara/pemerintah berkuasa juga berkewajiban untuk membantunya. Inilah bukti ‘investasi’ negara/pemerintah sesungguhnya. Karena menyelamatkan masa depan usaha-bisnis perusahaan, adalah menyelamatkan ekonomi Negara, ekonomi pekerja, ekonomi warga negara.Kedua, menyelamatkan masa depan langsung pekerja/buruh. Mungkin buruh bisa beralih kerja di mana pun sesuai kompetensi dan peluang yang ada. Namun bagi perusahaan yang mati atau bangkrut, imbasnya ke mana-mana. Karenanya, para buruh juga harus memahami kondisi sulut perusahaan, dan tidak dibenarkan ‘mengancam’ perusahaan karena memang kondisi perusahaan sedang ‘sakit’. Justru yang diperlukan adalah kerjasama tripartit antara buruh, pemerintah dan pengusaha untuk duduk bersama mencari solusi jangka panjang, yaitu menyelamatkan perusahaan sekaligus buruhnya dalam satu paket. Kemampuan dan peluang memberikan bantuan keuangan tidak mesti dari dana segar pemerintah via APBN (karena APBN kita juga sedang krisis), tetapi dengan kekuasaan dan politik investasi negara/pemerintah. Banyak sekali dana-dana talangan yang berupa Investment Partnership (IP), yaitu kolaborasi investasi lintas negara, lintas wilayah, lintas investor, baik datang dari dalam negeri atau asing.

Pemerintah Prabowo yang sedang rajin melakukan kunjungan ke berbagai negara untuk mencari dan menggalang investasi asing, bisa juga dimanfaatkan untuk ‘menawarkan’ bantuan pada segenap investor lain termasuk bisa menyelesaikan kemelut keuangan di Sritex. Tinggal ‘dikomando’ pemerintah kapan bantuan bisa diberikan.Kemampuan vs Kemauan

Belajar dari kasus PT Sritex tersebut, sekaligus menjadi trigger bagi pemerintah baru untuk melakukan review menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan yang prospektif. Tak hanya padat modal dan teknologi, tetapi juga mempekerjakan banyak tenaga kerja. Saatnya pemerintah mewakili negara hadir ketika perusahaan sedang sakit segera dicarikan obatnya. Jika tak mampu memberi obat sendiri, banyak ‘dokter perusahaan’ yang masih tersedia.

Kalau hanya Rp 25 triliun, amat mudah bagi pemerintah untuk membantu kesulitan keuangan Sritex (dan perusahaan lainnya di luar sana). Kini persoalannya bukan soal kemampuan membantu secara nyata, tetapi kemauan yang masih rendah. Padahal pemerintah diyakini punya koneksi permodalan yang banyak di luar sana, mengapa belum juga dipastikan berapa dan apa bantuan nyata pemerintah ketika perusahaan sedang butuh uluran tangan. Maka, menyelamatkan buruh Sritex harus mulai dari menyelamatkan perusahaan secara simultan. Itulah yang ditunggu segenap buruh Sritex, agar pemerintah tidak hanya bantuan ‘omon-omon’ belaka.Tasroh, S.S, M.P.A, M.Sc mahasiswa S3 Program Doktor Administrasi Publik Fisip Unsoed Purwokerto

Simak Video Tiga Langkah Kemnaker Antisipasi Badai PHK Sritex

[Gambas Video 20detik]

Sumber