Mengedepankan Manusia dalam Tata Kelola Energi dan SDA
Nasionalisme tak dapat dipisahkan dari sektor energi dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Dalam berbagai peristiwa atau sejarah tentang tata kelola sektor energi dan SDA, nasionalisme selalu menjadi dasar yang menyertai diskusi-diskusi dalam penyusunan maupun penentuan sebuah kebijakan. Telah banyak catatan sejarah yang menjadi bukti betapa nasionalisme memberi pengaruh besar terhadap konstelasi arah dan kebijakan tata kelola energi dan SDA, baik nasional maupun internasional.
Namun demikian, semangat nasionalisme sering hanya diterjemahkan sepenggal-sepenggal dalam implementasi kebijakan maupun perhatian publik tentang tata kelola sektor energi dan SDA. Perdebatan-perdebatan atau isu tentang nasionalisme dan yang menjadi perhatian publik sering hanya dalam konteks kepemilikan saham perusahaan pemilik konsesi dan status kepemilikan perusahaan pengelola suatu konsesi SDA.
Seperti kepemilikan saham PT Freeport Indonesia yang kini mayoritas milik pemerintah. Kemudian pengelolaan Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang kini oleh PT Pertamina (Persero), dari sebelumnya oleh perusahaan asal Prancis, Total E&P Indonesie. Keduanya diartikan sebagai langkah nasionalisasi aset dan wujud nasionalisme sektor energi dan SDA.
Atau misalnya lagi, dalam perdebatan-perdebatan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Ketika itu, Pertamina sebagai perusahaan milik negara dipangkas kewenangannya. Dari yang sebelumnya sebagai regulator, pengelola dan pengawas kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, kini hanya sebagai KKKS saja. Beberapa pihak mengartikan, kebijakan ini tidak nasionalis karena menganaktirikan Pertamina yang merupakan perusahaan milik negara.
Isu lainnya, pemberian secara prioritas Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sebagaimana diatur dalam Pasal 75 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang dianggap nasionalis karena mengedepankan badan usaha milik negara daripada milik swasta. Meskipun semangat pasal ini tergerus dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Aspek Kemanusiaan
Implementasi nasionalisme dalam tata kelola sektor energi dan SDA tidak komprehensif. Nasionalisme hanya diartikan pada ruang-ruang tersebut. Padahal, nasionalisme bukan hanya tentang kebangsaan atau nasionalisasi aset. Namun bicara pada aspek kemanusiaan.
Sejatinya, nasionalisme Indonesia berdiri di atas dua kaki kebangsaan dan kemanusiaan. Itulah semangat nasionalisme di Indonesia. Nasionalisme yang berlandaskan kebangsaan tanpa kemanusiaan akan melahirkan chauvinism. Nasionalisme yang hanya berpijak pada kemanusiaan zonder kebangsaan adalah nasionalisme tanpa identitas. Dan, secara implisit semangat nasionalisme ini tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjadi landasan utama tata kelola sektor energi dan SDA di Indonesia.
Aspek kemanusiaan sering terlupakan bahkan seakan ditinggalkan. Sering pemerintah atas nama investasi, atas nama penerimaan negara, atas nama perekonomian dan pembangunan, melakukan eksploitasi di sektor energi dan SDA dengan melupakan aspek kemanusiaan. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia, kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat, yang semuanya berujung pada suatu fenomena yang disebut kemiskinan. Di sisi lain, lemahnya pengawasan dalam tata kelola ini menjadi pelengkap persoalan tersebut.
Kasus pertambangan di dua pulau di Sulawesi Tenggara, Wawonii dan Kabean, menjadi bagian dari contoh tata kelola SDA yang tidak nasionalis, yang melupakan aspek kemanusiaan. Laporan hasil penelitian Business and Human Rights Resource Centre berjudul Powering Electric Vehicles Human Rights Impacts of Indonesia’s Nickel Rush mengungkapkan, aktivitas pertambangan di dua pulau tersebut mengakibatkan penurunan kualitas hidup masyarakat sekitar.
Laporan yang dirilis pada Juli 2024 itu menyebut, setidaknya 76.030 hektar hutan telah ditebang di konsesi nikel Indonesia. Hutan ini meliputi hutan hujan endemik, yang banyak di antaranya merupakan penyerap karbon alami utama dan kawasan hayati yang kritis. Penambangan nikel di dua pulau kecil tersebut menyebabkan pencemaran pasokan air masyarakat, mengancam cara hidup masyarakat adat dan ekosistem laut yang rapuh, dan hal ini berimplikasi pada penurunan kualitas lingkungan yang mengakibatkan penurunan kesejahteraan.
Kemudian fenomena daerah-daerah penghasil SDA energi yang masih melekat dengan kemiskinan. Bahkan meningkat jumlah kemiskinannya. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di wilayah sentra nikel meningkat. Sebagai contoh, di Sulawesi Tengah angka kemiskinannya naik dari 12,30 persen pada September 2022 menjadi 12,41 persen pada September 2023.
Kemudian dampak pertambangan terhadap isu kemanusiaan lainnya. Di Kalimantan Timur misalnya, lubang-lubang bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja memakan korban jiwa. Sampai hari ini tercatat, sebanyak 47 korban eks lubang tambang yang sebagian besar di antaranya adalah anak-anak.
Apa yang terjadi di Sulawesi Tenggara, di Sulawesi Tengah, di Kalimantan Timur sebagaimana yang disampaikan di atas adalah wujud implementasi tata kelola sektor energi dan SDA yang tidak nasionalis. Padahal, seharusnya semangat nasionalisme dan kemanusiaan berjalan beriringan. Negara mengelola sumber daya alam tidak hanya berbasis pada kepentingan bangsa melalui pendapatan untuk pembangunan semata, namun juga harus melihat dan mempertimbangkan konsep kemanusiaan secara utuh. Bila tidak demikian, maka penindasan terhadap masyarakat kecil, perampasan ruang hidup dalam wujud kerusakan lingkungan berkedok pembangunan akan terus terjadi.Momentum Perbaikan
Transisi energi seharusnya bukan hanya menjadi masa peralihan penggunaan sumber energi dari fosil menuju energi terbarukan. Melainkan juga harus menjadi momentum perbaikan tentang tata kelola sektor energi dan SDA, khususnya berkaitan dengan kemanusiaan.
Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dalam pidato peluncuran Panel Mineral Transisi Energi Kritis menegaskan, revolusi energi global kini sedang berlangsung, meninggalkan sumber energi berbasis fosil. Hal ini menciptakan dunia yang haus akan mineral kritis seperti tembaga, litium, nikel, kobalt, dan logam tanah jarang. Permintaan terhadap mineral penting dalam mendukung pencapaian tersebut akan meningkat berkali lipat.
Masih kata Antonio Guterres, yang mengutip data Badan Energi Internasional, pangsa listrik yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil harus turun dari enam puluh menjadi tiga puluh persen. Dan pangsa yang dihasilkan energi terbarukan harus naik dari tiga puluh menjadi enam puluh persen.
Dengan kondisi itu, perhatian dunia akan tetap mengarah kepada Indonesia. Bukan lagi soal migas dan batu bara. Melainkan cadangan mineral kritis yang dibutuhkan untuk pemenuhan energi dunia karena Indonesia memiliki cadangan besar terhadap mineral-mineral yang dibutuhkan itu.
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), nikel dari Indonesia menyumbang 40 persen pasokan nikel dunia. Cadangan timah juga yang terbesar di dunia –pada 2020 sebesar 17 persen dari total cadangan dunia. Kemudian cadangan bauksit mencapai 2,78 miliar ton dan logam tanah jarang 136,20 juta ton bijih.
Dengan begitu, eksploitasi SDA di Indonesia akan terus berlanjut. Bila persoalan dalam tata kelola tersebut tidak dibenahi, maka transisi energi akan semakin menambah atau memperpanjang persoalan-persoalan kemanusiaan di Indonesia. Di sinilah pentingnya merefleksikan kembali nasionalisme, khususnya dalam pengelolaan sektor energi dan SDA. Karena semakin ke sini, ketergantungan terhadap SDA semakin besar, sehingga eksploitasi seakan menjadi paling penting untuk pemenuhan kebutuhan, penerimaan negara, dan roda penggerak ekonomi.People Before Profit
Ada yang menarik dari slogan acara Konferensi Nasional Tata Kelola Energi dan SDA di Era Pemerintahan Baru yang digagas Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, September lalu. Dan, juga disampaikan sebagai closing statement koordinator nasional koalisi masyarakat sipil untuk tata kelola energi dan SDA tersebut, Aryanto Nugroho, dalam kegiatan itu. Yakni People Before Profit.
Ya, people before profit. Mengedepankan manusia daripada keuntungan dalam tata kelola energi dan SDA. Sebuah pesan yang menghendaki agar prinsip-prinsip kemanusiaan lebih ditegakkan, lebih diutamakan, lebih diperhatikan dalam tata kelola sumber daya alam, khususnya sektor energi. Sebuah dorongan agar dalam eksploitasi selalu mengedepankan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
People before profit menjadi jawaban atas persoalan implementasi tata kelola energi dan SDA yang tidak nasionalis. Urgensi dalam konteks transisi energi berkeadilan, people before profit seyogianya tidak lagi menjadi slogan. Melainkan menjadi sebuah prinsip dan ‘kata kerja’ dalam mewujudkan tata kelola energi dan SDA yang nasionalis.
Kita berharap, pengelolaan sektor energi dan SDA tidak hanya bersandar pada eksploitasi untuk kepentingan ekonomi semata. Namun juga harus melihat prinsip kemanusiaan secara utuh. Karena keberadaan negara ini disepakati tidak hanya bicara tentang kebangsaan, melainkan juga kemanusiaan.
Dan, bukankah eksploitasi yang tidak memperhatikan kepentingan kemanusiaan adalah bentuk kolonialisme? Apakah eksploitasi SDA atas nama pembangunan harus mengorbankan ruang hidup dan melupakan hak sebagian masyarakat? Apakah pembangunan semenakutkan itu bagi rakyat kecil?
Kalau eksploitasi atas nama pembangunan harus merampas ruang hidup, saya teringat dengan pertanyaan refleksi dalam sebuah diskusi yang digelar Satya Bumi beberapa waktu lalu; tepatkah jika pembangunan memisahkan manusia dengan alamnya?
Sekali lagi, People Before Profit!Ariyansah NK peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia