Mengembangkan Ekonomi Biru untuk Menopang Swasembada Pangan

Mengembangkan Ekonomi Biru untuk Menopang Swasembada Pangan

Memasuki tahun 2025 berarti menyisakan dua tahun menuju target swasembada pangan nasional yang sudah ditetapkan oleh Bapak Presiden Prabowo Subianto.

Dua tahun bukan waktu yang lama, sehingga strategi terbaik mencapai target tersebut adalah dengan meningkatkan kinerja di semua lini KKP, untuk memastikan jalannya produktivitas sektor kelautan dan perikanan sesuai prinsip ekonomi biru.

Kenapa ekonomi biru sangat penting? Sebab tujuan utama swasembada bukan sebatas memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri, melainkan menjaga keberlanjutan sumber-sumber pangan yang ada. Di sektor kelautan dan perikanan, kami menempatkan keberlanjutan ekologi sebagai panglima.

Dimulai dari Garam

Menteri Koordinator Bidang Pangan Bapak Zulkifli Hasan dalam banyak kesempatan telah menyampaikan penutupan keran impor garam konsumsi di tahun 2025. Keputusan tersebut tentunya dengan pertimbangan matang diantaranya berdasarkan data produksi dan kebutuhan garam konsumsi dari tahun ke tahun.

Hingga November 2024 produksi garam nasional mencapai 1,9 juta ton, dan tahun ini rencananya sebesar 2,25 juta ton. Merujuk data itu dan sisa stok garam tahun 2024 sebanyak 836 ribu ton, ketersediaan garam mampu menopang kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Penutupan keran impor garam konsumsi di tahun 2025 tentunya menjadi langkah maju pergaraman nasional. Selanjutnya secara bertahap sampai tahun 2027 kebijakan serupa diterapkan pada garam untuk industri Chlor Alkali Plant (CAP), industri aneka pangan, dan juga industri farmasi serta kosmetik, yang selama ini ditopang oleh impor.

Dari prognosa kebutuhan garam nasional sebesar 4,9 juta ton 2024, sebagian besarnya untuk memenuhi kebutuhan industri-industri tadi. Tingginya standar kualitas garam kebutuhan industri yang belum sepenuhnya mampu dipenuhi pelaku usaha dalam negeri, tentu menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus segera diselesaikan. Standar tersebut diantaranya kadar NaCl minimum 97 persen.

Adapun upaya KKP untuk mempercepat pembangunan usaha pergaraman nasional, yakni dengan melakukan ekstensifikasi tambak garam rakyat metode konvensional, serta intensifikasi melalui modernisasi teknologi produksi garam. Salah satunya akan diwujudkan lewat pembangunan modeling pergaraman di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur tahun ini. Kualitas air laut dan kondisi cuaca yang didominasi panas, menjadikan wilayah Sabu Raijua cocok untuk pembangunan modeling pergaraman.

Di samping langkah pengembangan dan pembangunan tadi, kami membutuhkan penguatan regulasi yang menjadikan pengelolaan pergaraman berpusat di KKP. Meliputi pencabutan PP Nomor 9 Tahun 2018, serta revisi Peraturan Presiden No. 126 tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional dengan mempertajam rencana aksi nasional masing-masing kementerian/lembaga untuk mendukung swasembada garam 2027.

Meski tampak penuh tantangan, mimpi besar swasembada garam 2027 masih sangat mungkin terwujud. Saya menyaksikan langsung antusias dan keseriusan teman-teman pelaku pergaraman di daerah untuk mendukung target swasembada. Pekan lalu saya mengunjungi Gudang Garam Nasional di Indramayu, Jawa Barat untuk memantau stok dan distribusi hasil kelautan dan perikanan, sekaligus menyerap aspirasi teman-teman di sana.

Kami sepakat bahwa untuk mencapai target swasembada garam perlunya sinergi semua pihak, dari mulai pemerintah pusat, pemerintah daerah, sampai ke tingkat petambak dalam memetakan potensi yang ada, sarana prasarana yang diperlukan, hingga pasarnya untuk menjaga stabilitas harga. Selain itu produksi garam yang berorientasi pada mutu sangat penting sehingga tidak hanya kuantitas yang naik tapi juga kualitasnya.

Hasil Perikanan Surplus

Berbanding terbalik dengan garam, produktivitas sektor perikanan sudah mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri bahkan menjadi komoditas ekspor. Dengan kisaran produksi 22 - 24 juta ton per tahun, hasil perikanan yang dihasilkan nelayan dan pembudidaya sanggup menopang kebutuhan domestik yang jumlahnya 13 juta ton per tahun.

Sedangkan nilai ekspor hasil perikanan sampai menjelang akhir tahun 2024 mencapai USD 5,38 miliar (1,29 juta ton), jauh di atas nilai impor USD 0,42 miliar. Perbandingan tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara net exporter produk perikanan dari tahun ke tahun.

Meski menunjukkan kinerja ekspor positif, sejatinya sektor perikanan juga memerlukan penguatan produksi. Sebab kita harus mengejar ketertinggalan dari negara tetangga sebut saja Vietnam, khususnya di bidang budi daya. Vietnam memproduksi 25 juta ton hasil perikanan budi daya setiap tahun, jauh di atas Indonesia yang bila ditotal dengan rumput laut kisaran produksinya sebesar 15 - 18 jutaan ton per tahun.

Sementara dari sisi nilai, Vietnam menempati peringkat kelima sebagai eksportir perikanan dunia dengan rata-rata ekspor USD 8,39 miliar per tahun, jauh dari Indonesia di peringkat ke-13. Posisi ini tentu menjadi warning bagi kita sebagai negara maritim agar terus berbenah dan berinovasi dalam mengoptimalkan besarnya potensi sumber daya kelautan perikanan yang dimiliki.

Dalam perjalanan menyusuri sejumlah wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada momen libur Nataru kemarin, turut saya sosialisasikan program revitalisasi tambak idle Pantura kepada teman-teman stakeholder yang saya temui. Program pengembangan budi daya nila salin ini menjadi bagian dari ikhtiar besar KKP menggeber produktivitas perikanan budi daya beserta ekspornya.

Alhamdulillah program yang Insyaallah mulai dijalankan KKP pada tahun ini secara bertahap, mendapat respons positif terutama dari pelaku usaha pengolahan ikan. Revitalisasi akan meningkatkan produksi ikan nila nasional sehingga memudahkan pelaku usaha memenuhi kebutuhan bahan baku produksi. Persoalan bahan baku ikan bermutu inilah yang menjadi salah satu kendala peningkatan produksi usaha pengolahan selama ini.

Pelaksanaan revitalisasi tambak idle akan melengkapi program ekonomi biru KKP yang sudah berjalan seperti modeling budi daya perikanan berkelanjutan, kampung perikanan budi daya, kampung nelayan modern, serta program lain yang tujuannya meningkatkan volume serta kualitas hasil perikanan nasional.

Di sisi lain, upaya menjaga ekosistem perikanan dilakukan dengan memperluas kawasan konservasi, mengintensifkan pengawasan terhadap aktivitas di ruang laut, serta memasifkan program pembersihan sampah plastik agar laut yang menjadi rumah bagi jutaan makhluk hidup di dalamnya tetap sehat dan produktif.

Langkah-langkah tadi disokong pula oleh program pemberdayaan yang dapat menambah wawasan dan meningkatkan kompetensi masyarakat kelautan dan perikanan, sehingga dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada, mereka tetap mengedepankan keberlanjutan.

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, saya selalu optimis sektor kelautan dan perikanan akan andil besar menyukseskan program prioritas nasional seperti makan bergizi, swasembada pangan, serta menyokong tumbuhnya ekonomi negara, lewat tata kelola ekonomi biru, inovasi serta sinergi. Mari terus berjuang!

Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan

Sumber