Mengenal Didong, Kesenian dari Gayo: Pengertian, Sejarah, dan Tujuan
KOMPAS.com - Didong berasal dari Gayo, Aceh Tengah.
Didong merupakan kesenian yang terus berkembang dari dahulu hingga saat ini.
Hal tersebut karena, regenerasi didong berjalan baik, sehingga setiap generasi muncul seniman-seniman didong atau yang bisa di sebut ceh yang berbakat.
Dilansir dari buku "Didong Kesenian Tradisional Gayo" karya Drs MJ Melalatoa, kesenian didong merupakan salah satu unsur kesenian Gayo, berupa seni tari dan vokal yang cukup dominan.
Bentuk keseniannya berupa gabungan seni sastra, seni tari, dan seni suara. Ritmenya diatur dengan instrument.
Alat pengatur ritme berupa tepukan-tepukan tangan yang bervariasi tetapi teratur.
Diperkirakan tepukan-tepukan tangan sebagai alat pengatur ritme yang cukup tua pada kesenian tradisional masyarakat Gayo.
Pertunjukan biasanya dilakukan semalam suntuk, dari Isya hingga Subuh. Masyarakat juga tidak bosan-bosannya menyaksikan pertunjukan ini.
Hingga saat ini, belum ada keterangan mengenai asal-usul didong.
Ada pendapat bahwa umur kesenian didong sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo.
Namun pendapat tersebut masih teka-teki dan belum memecahkan persoalan mengenai asal-usul didong.
Sejarah asal-usul didong semakin kabur karena tidak diketahui arti kata didong.
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa didong mendekati pengertiannya dengan kata "dendang", dalam Bahasa Indonesia.
Arti "dendang" adalah nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama bunyi-bunyian.
Pendapat lain berdasar pada legenda Gajah Putih yang dikenal di Gayo dan Aceh pada umumnya.
Disebutkan bahwa cara yang digunakan untuk membangunkan gajah putih dari tidurnya dengan berdendang, yaitu dindong.
Sejumlah pihak menyebutkan sejak saat itu ada didong, yang pada akhirnya menjadi kesenian.
Pada masa lalu, didong ditandingkan dalam bentuk teka-teki sesuai dengan tema acara, seperti upacara penikahan, upacara mendirikan rumah, upacara makan bersama setelah panen, dan lain sebagainya.
Didong mulai mengalami perubahan sejak penjajahan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, adat istiadat Gayo mengalami porak poranda.
Masyarakat Gayo terombang-abing dengan budaya Jepang yang keras.
Kehidupan masyarakatnya morat-marit hingga menggunakan pakaian garung goni atau apa saja yang bisa dipakai.
Pada masa itu, kesenian didong menjadi lesu. Para seniman tidak ada lagi berteka-teki mengenai adat.
Syair-syair yang muncul dalam kesenian didong bernada protes dan membangkitkan rasa nasionalisme untuk mengenyahkan kekejaman Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan merubah suasana kemelut atas kekejaman Jepang.
Wajah para pemuda mulai semangat mengusir penjajah dan mengisi kemerdekaan. Didong mulai memiliki peran lain.
Didong digunakan untuk mengobarkan semangat gotong royong dan persatuan nasional untuk kemerdekaan bangsa dan negara.
Didong digunakan untuk mencari biaya pembangunan gedung sekolah, madrasah, serta masjid. Semangat persatuan tercermin dalam grup-grup (kelop) didong.
Jika sebelumnya, grup didong hanya berasal dari satu klen "belah", maka pada masa setelah kemerdekaan didong mewakili satu kampung. Hampir setiap kampung muncul satu grup.
Pada masa pergolakan DI/TII di Aceh, yang terakhir pada tahun 19-50-an, didong mandek. Saat itu, kesenian didong dilarang oleh pihak DI.
Namun, gelora seniman tidak terbedung. Mereka bermain saer yang penampilannya mirip dengan didong.
Pada saat keamanan mulai pulih, kesenian didong mulai muncul kembali yang ditandai dengan keberadaan grup-grup yang semakin banyak.
Letupan ini muncul karena sebelumnya ada kungkungan untuk menyalurkan rasa seni.
Didong kemudian tumbuh dengan lika-likunya perubahan masyarakat.
Didong merupakan seni pertunjukan yang dimainkan oleh laki-laki secara berkelompok, yang biasanya berjumlah sekitar 15 orang.
Kesenian ini ditampilkan dengan ekspresi bebas, sambil duduk bersila atau berdiri dan mengentak-entakkan kaki.
Para seniman didong melantunkan syair-syair berbahasa Gayo dengan suara merdu, sembari menabuh gendang, bantal atau panci, serta bertepuk tangan secara bervariasi.
Syair-syair yang dilantunkan bersama kekuatan perpaduan konfigurasi seni gerak, sastra, dan suara bagaikan menyihir penonton untuk hanyut dan terus mendengar refleksi sosial dan religius dalam kesenian ini.
Tujuan didong adalah nasehat. Didong menjadi sarana untuk menyampaikan nasehat yang berasal dari Al Quran dan Sunnah.
Didong juga digunakan untuk menyampaikan perkembangan yang ada di kehidupan sosial masyarakat.
Untuk itu kebanyakan para ceh atau bekas ceh adalah pada imam, yang biasa memiliki suara bagus.
Jika bukan para ulama, ceh didong diharap memiliki bahan syair, seperti yang dimiliki ulama. Supaya, bahan materi yang disampaikan memiliki manfaat bagi masyarakat.
Isi materi didong adalah tidak menjelekkan atau mengejek pihak tertentu.
Jika ada satu persatu penonton pulang berarti syair didong telah melenceng dari keaslianya.
Sumber
repositori.kemdikbud.go.id
acehprov.go.id
acehprov.go.id