Mengevaluasi Rendahnya Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024

Mengevaluasi Rendahnya Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024

Proses pemungutan suara dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 telah usai pada 27 November yang lalu. Bahkan, ada beberapa kandidat yang sudah memberi keterangan terkait hasil pemungutan suara tersebut meskipun baru sebatas melalui metode quick count atau real count internal.

Hasil pemungutan suara yang meski belum ditetapkan secara final tersebut selain memberi gambaran kepada kita siapa kepala daerah yang akan memimpin 5 tahun ke depan, juga memberi kita fakta menarik yang patut untuk kita refleksikan bersama.

Fakta tersebut adalah rendahnya partisipasi politik pemilih pada edisi pilkada kali ini. Sebagai contoh, Pilgub Jakarta yang selama ini selalu menyedot atensi luar biasa bahkan menjadi provinsi dengan partisipasi terendah. Data dari hasil hitung cepat Litbang Kompas menunjukkan hanya 58% warga Jakarta yang memilih.

Provinsi besar lain di Pulau Jawa juga menunjukkan fenomena serupa. Partisipasi pemilih di Jawa Barat hanya sebesar 66%, sedangkan Jawa Timur hanya sedikit di atas Jawa Barat dengan 69%. Adapun Jawa Tengah yang merupakan provinsi dengan pertarungan cukup sengit memiliki angka yang sedikit lebih baik, yaitu sebesar 73%. Kemunculan fenomena ini tentunya bisa didorong oleh banyak faktor, namun tulisan ini hanya akan memfokuskan pembahasan pada salah satu faktor, yaitu voter fatigue.

Mengenal Istilah Voter Fatigue

Voter Fatigue yang secara bahasa berarti "kelelahan pemilih" adalah istilah untuk menggambarkan kondisi ketika para pemilih merasa jenuh, lelah, atau bahkan tertekan dalam menghadapi proses kontestasi politik yang panjang dan kompleks. Akibatnya, pemilih memilih untuk absen dan tidak memberikan hak suaranya pada saat proses pemungutan suara berlangsung.

Fenomena ini biasa muncul ketika warga negara diminta untuk sering memilih dan atau mengisi surat suara yang panjang. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Pilkada Serentak 2024 yang mencakup pemilihan bupati/walikota dan gubernur bukanlah satu-satunya pemilihan umum yang diselenggarakan tahun ini.

Sebelumnya, pada 14 Februari 2024, kita sudah menyelenggarakan Pemilu yang bahkan mengharuskan pemilih untuk "menghadapi" lima surat suara sekaligus, yakni Pemilihan Presiden, Pemilihan Anggota DPR-RI, Pemilihan Anggota DPRD Provinsi, Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota, Pemilihan Anggota DPD-RI. Dengan kata lain, masyarakat kita menjalani hingga tujuh agenda pemilihan yang dibagi ke dalam dua kali pemungutan suara pada 2024 ini.

Selain intensitas permintaan untuk memilih dan atau pengisian surat suara yang panjang, voter fatigue juga dapat muncul ketika durasi proses politik yang berlangsung cukup lama. Proses politik yang dimaksud tentu bukan saja berarti durasi kampanye, namun juga dimulai sejak pemetaan dan penjajakan koalisi oleh partai politik, pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), verifikasi pendaftaran oleh KPU, pengambilan nomor urut kandidat, hingga proses rekapitulasi suara berikut sidang gugatan atas hasil oleh pihak yang tidak puas terhadap hasil pemungutan suara.

Terlebih, pada era digital seperti sekarang ini, semakin lama durasi proses politik yang berlangsung, maka akan semakin banyak informasi yang berlalu-lalang melalui media sosial dan berbagai platform daring lainnya. Banjir informasi yang bahkan sering kontradiktif satu sama lain membuat pemilih merasa bingung dan tidak percaya diri dalam mengambil keputusan dalam menentukan pilihannya.

Evaluasi Bersama

Dampak dari voters fatigue terhadap kualitas demokrasi di Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Rendahnya tingkat partisipasi dapat berpengaruh pada legitimasi pemerintahan yang berkuasa yang selanjutnya dapat berdampak pada tidak representatifnya kebijakan yang dihasilkan. Selain itu, rendahnya partisipasi politik juga dapat berakibat pada turunnya kepercayaan publik terhadap sistem politik saat ini yang tentunya mengancam stabilitas demokrasi kita dalam jangka panjang.

Oleh karenanya, beberapa langkah strategis berikut perlu untuk dipertimbangkan guna mengatasi persoalan ini. Pertama, pemerintah perlu menyederhanakan proses Pemilu, bahkan termasuk memperpendek durasi kampanye. Hal ini tidak hanya diharapkan mampu mengurangi kejenuhan pemilih, tetapi juga menciptakan ruang bagi pemilih untuk memberi perhatian lebih pada hal-hal yang lebih substantif ketimbang pada drama politik yang panjang.

Kedua, edukasi pemilih menjadi langkah penting berikutnya. Penyampaian informasi yang jelas dan akurat mengenai pentingnya partisipasi politik dapat membantu pemilih memahami dampak keputusan mereka, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dalam hal ini, penggunaan media kampanye yang bijaksana dan informatif diperlukan supaya beban emosional yang sering kali muncul akibat iklan yang berlebihan dapat dikurangi.

Ketiga, pengaturan terkait penggunaan media sosial. Media sosial di era digital seperti sekarang ini sering menjadi sumber beban psikologis bagi pemilih karena arus informasi yang tak terkontrol. Oleh karenanya, konten politik praktis yang ada di media sosial perlu untuk dibatasi dan diatur sebijak mungkin oleh pemerintah.

Semoga Pilkada Serentak 2024 ini dapat menjadi momentum kita bersama untuk berefleksi mengenai komitmen kita sebagai satu bangsa dalam memperkuat demokrasi di Indonesia. Masyarakat yang sadar akan pentingnya partisipasi bermakna mereka dan pemerintah yang mampu menjamin penyelenggaraan proses politik yang inklusif dan transparan menjadi kunci untuk hal tersebut.

Muh Rasikh Undipa Akbar mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM, Ketua Umum HMI Komisariat Fisipol UGM

Simak juga Video ‘KPU Jakarta Tegaskan Pilkada Zero Pemungutan Suara Ulang’

[Gambas Video 20detik]

Sumber