Menggagas Arah Revisi KUHAP
Komisi III DPR telah meneken usulan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Usulan tersebut merupakan upaya untuk membentuk aturan pelaksana dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. Rencananya, setelah masuk Prolegnas, KUHAP akan digarap pada tahun ini 2025 untuk mengejar tayang dari KUHP Nasional.
Revisi KUHAP sebenarnya telah lama digaungkan oleh sejumlah pihak, bahkan sempat masuk Prolegnas Jangka Menengah periode 2020-2024. Namun, pembahasan revisi KUHAP selalu terbentur dengan berbagai kepentingan. Menurut Anggota Komisi XIII DPR Yasonna H. Laoly, mandeknya pembahasan revisi KUHAP dikarenakan adanya perebutan kavling kewenangan antara lembaga penegak hukum. Pernyataan mantan Menteri Hukum dan HAM ini dapat diamini, mengingat dalam beberapa tahun terakhir sering terjadi tumpang tindih kewenangan antara lembaga penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana.
Selain itu, hukum pidana merupakan pranata hukum yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dan erat kaitannya dengan perampasan kemerdekaan seseorang. Adanya KUHAP itu sendiri ditujukan sebagai bentuk perlindungan hak-hak pelaku kejahatan dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Jika formulasi KUHAP tidak sejalan dengan tujuan tersebut, maka penegakan hukum pidana akan berpotensi menyimpangi hak asasi manusia (HAM). Dengan demikian, rentetan permasalahan tersebut kemudian memunculkan pertanyaan besar, ke mana seharusnya arah revisi KUHAP?
Sejumlah Isu Penting
Jika diamati secara parsial, KUHAP memiliki banyak ketentuan yang telah usang dan tidak sesuai dengan aktualisasi kepentingan penegakan hukum pidana. Sebagai misal pada persoalan pengaturan kerangka berpikir KUHAP. Perlindungan hak tersangka atau terdakwa—yang merupakan prinsip utama dalam KUHAP—seringkali tidak dapat diakses secara optimal. Permasalahan tersebut dapat terjadi karena pengaturan dalam KUHAP yang cenderung menempatkan negara pada posisi yang dominan dibandingkan dengan tersangka/terdakwa. Hal ini kemudian dikerucutkan dengan masih mengakarnya pemahaman "pidana" sebagai "kesengsaraan" secara mutlak, sehingga tersangka/terdakwa seringkali diperlakukan secara tidak manusiawi.
Kemudian, berkaitan dengan prinsip diferensiasi fungsional dalam KUHAP. Prinsip ini mempertegas independensi lembaga penegak hukum atas kewenenangannya masing-masing dalam lanskap sistem peradilan pidana yang terpadu. Dengan prinsip diferensiasi fungsional, Kejaksaan tidak lagi memiliki fungsi pengendalian perkara sejak awal penyidikan (dominus itis). Akibatnya, pada tahap pra penuntutan, perkara tak jarang terombang ambing dari Kejaksaan ke penyidik sebab berkas dinyatakan belum lengkap. Terlebih lagi—karena nihilnya pengendalian perkara oleh jaksa—penuntutan terpaksa dilaksanakan meskipun terdapat rekayasa pada tahap penyidikan. Tentunya, potret permasalahan ini kontras dengan cita-cita sistem peradilan pidana yang terpadu.
Adapun selanjutnya berkaitan dengan penggunaan metode operasi tangkap tangan (OTT) dalam upaya pemberantasan korupsi. Praktik OTT yang biasa dilakukan oleh KPK diketahui tidak memiliki pengaturan yang jelas dalam KUHAP. Kondisi yang demikian tentu berpengaruh pada pelaksanaan OTT. Padahal, OTT merupakan metode yang ampuh untuk menjegal koruptor, khususnya dalam perkara suap. Hal ini menunjukkan bahwa KUHAP sebenarnya sudah tidak akomodatif terhadap perkembangan metode kejahatan dan kepentingan penegakan hukum pidana kekinian.
Agenda Revisi
Dengan sejumlah isu yang dipaparkan di atas, maka dapat diperhatikan beberapa hal berikut. Pertama, agenda revisi harus mempertegas prinsip HAM dalam KUHAP. Penegasan prinsip HAM dalam KUHAP akan membuat sistem pemidanaan jauh lebih fokus pada perbuatan pelaku kejahatan, sehingga dapat meminimalisir perlakuan tidak manusiawi terhadap tersangka/terdakwa. Kedua, memperluas mekanisme komplain terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum. Praperadilan yang telah ada selama ini nyatanya harus dibarengi dengan mekanisme lain agar dapat memperkuat posisi hak tersangka/terdakwa.
Ketiga, harus ada evaluasi terhadap penerapan prinsip diferensiasi fungsional. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam KUHAP adalah terciptanya sistem peradilan pidana yang terpadu. Namun, alih-alih ingin merealisasikan tujuan tersebut, penerapan prinsip diferensiasi fungsional justru mengotak-ngotakkan lembaga penegak hukum. Maka dari itu, dirasa perlu untuk mengevaluasi penerapan prinsip diferensiasi fungsional yang ada dalam KUHAP selama ini.
Keempat, KUHAP harus mengakomodir secara tegas metode penegakan hukum pidana kekinian seperti OTT. Dengan kejahatan yang semakin canggih, tentu diperlukan metode yang sesuai untuk memerangi kejahatan tersebut. Katakanlah dalam kasus korupsi, OTT menjadi metode yang cukup tangguh untuk menangkap koruptor. Jika metode seperti OTT tidak diakomodasi secara tegas dalam KUHAP, maka akan terjadi multitafsir di kalangan aparat penegak hukum, sehingga dapat mempengaruhi penegakan hukum pidana itu sendiri.
Pada akhirnya, perubahan dan perbaikan KUHAP memang sangat penting dilakukan saat ini. Banyak ketentuan dalam KUHAP yang nyatanya sudah tidak sejalan dengan aktualisasi penegakan hukum pidana. Namun yang perlu diperhatikan, untuk merevisi ketentuan dalam KUHAP harus dibarengi dengan pertimbangan yang sangat cermat dan matang. Jangan sampai produk hukum yang dihasilkan justru menabrak ketentuan yang ada dalam KUHP dan aturan lainnya, serta menerobos agenda reformasi hukum dan HAM yang sedang digalakkan di Indonesia.
Wahyu Nugroho pegiat Hukum dari Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta