Menghapus Pilkada Langsung, Kembali ke Sistem Bukan-Bukan

Menghapus Pilkada Langsung, Kembali ke Sistem Bukan-Bukan

Beberapa waktu ini, muncul wacana dari Presiden Prabowo untuk menghapus pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Kepala daerah diwacanakan untuk dipilih secara tidak langsung oleh DPRD setempat. Sebelumnya, wacana ini hampir terealisasi pada 2014, tetapi dibatalkan oleh Presiden SBY melalui Perppu.

Sejatinya, wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD selaku lembaga legislatif mirip dengan pemilihan presiden pada era Presiden Soeharto. Saat itu, MPR berwenang memilih presiden selaku pimpinan lembaga eksekutif. "Sistem MPR" bukan sistem parlementer dimana kepala pemerintahan bisa meminta kepala negara untuk membubarkan parlemen, atau sebaliknya parlemen bisa menjatuhkan kepala pemerintahan dengan mosi tidak percaya. Sistem MPR juga bukan sistem presidensial, di mana presiden dan parlemen sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, sehingga baik presiden dan parlemen sama-sama tidak bisa saling menjatuhkan. Dalam konteks sistem politik dan demokrasi yang benar, bentuk pemerintahan selaku lembaga eksekutif harus sesuai, baik di tingkat pemerintah pusat dan daerah. Seperti di Indonesia sekarang, presiden selaku lembaga eksekutif tertinggi dipilih langsung oleh rakyat, sama halnya dengan gubernur dan bupati atau wali kota di daerah. Di negara dengan sistem presidensial seperti Amerika Serikat, baik presiden dan gubernur selaku pemimpin tertinggi pemerintah daerah (state) sama-sama dipilih oleh rakyat. Sebagai perbandingan, di negeri jiran Malaysia yang bersistem parlementer, baik pemerintah pusat (federal) dan daerah (negeri), pimpinan eksekutif (perdana menteri dan menteri besar) dipilih dan bisa dijatuhkan oleh parlemen

Sistem MPR adalah sistem "yang bukan-bukan", bukan sistem parlementer dan bukan sistem presidensial. Sistem MPR memberikan masa jabatan pasti (fixed term) kepada pimpinan lembaga eksekutif (presiden) seperti halnya sistem presidensial. Di satu sisi, sistem MPR mirip dengan sistem parlementer dimana pimpinan lembaga eksekutif dipilih oleh parlemen. Akan tetapi, dalam sistem MPR, parlemen juga tidak bisa menjatuhkan kepala lembaga eksekutif selayaknya sistem parlementer jika tidak ada dukungan 50% di dalam parlemen.

Dengan kata lain, sistem "yang bukan-bukan" ini hanya mengambil fitur-fitur yang enak saja dari sistem presidensial dan sistem parlementer. Akibatnya adalah minim check and balances serta over power-nya otoritas kekuasaan lembaga eksekutif. Selain itu, terdapat ketidaksinkronan sistem antara pemerintah pusat dan daerah karena eksekutif tertinggi di pusat dipilih oleh rakyat, sedangkan eksekutif tertinggi di daerah dipilih oleh DPRD. Bukan tidak mungkin, ke depannya presiden juga dipilih oleh DPR.

Persoalan lain dari wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah motif kelelahan berdemokrasi dari para elite politik dengan melihat keberadaan pemilu mengakibatkan tingginya biaya politik. Sejak Reformasi, memang biaya politik sudah tinggi. Padahal, tingginya biaya politik itu adalah persoalan lain yang diakibatkan oleh budaya politik klientelisme yang ada di Indonesia. Sudah ada berbagai ahli yang mengkaji terkait budaya klientelisme seperti Aspinall dan Berenschot. Sudah rahasia umum bahwa di luar kompetisi elektoral, seperti pemilihan ketua partai, ormas, sampai organisasi kemahasiswaan pun berbiaya tinggi. Logikanya, jika pemilu disalahkan sebagai biang tingginya biaya politik, sebaiknya tidak usah ada pemilu di Indonesia, baik untuk lembaga eksekutif dan legislatif.

Upaya perbaikan sistem pemilu, baik pusat dan daerah, harus dilandasi semangat perbaikan sistem politik di Indonesia. Selain itu, persoalan pemilihan kepala daerah berkaitan dengan sistem kepemiluan dan juga sistem otonomi daerah serta relasi pusat-daerah. Saya lebih bisa memahami pendapat yang menyatakan gubernur sebaiknya dipilih oleh pemerintah pusat, mengingat otoritas gubernur yang lemah dibanding pemerintah kabupaten/kota. Terdapat ketidaksesuaian di mana gubernur secara politis mendapat legitimasi dari rakyat melalui pemilu, tetapi secara legal berstatus sebagai wakil dari pemerintah pusat.

Sejak 2004, demokrasi di Indonesia berkembang dengan adanya pemilihan presiden langsung, sistem proporsional terbuka, serta adanya pemilihan kepala daerah langsung. Hal tersebut mendorong popularitas sebagai modal politik terbesar dari kandidat politik. Perubahan-perubahan sistem tersebut membuat masyarakat memilih person ketimbang machine. Keberadaan pemilihan langsung yang berjenjang dari pusat dan daerah memberikan kesempatan seseorang merintis dari bawah. Contoh nyatanya adalah pemilihan langsung telah melahirkan seorang pengusaha mebel menjadi wali kota, gubernur, dan kemudian menjadi presiden. Sistem pemilihan presiden langsung juga "memaksa" seorang jenderal dari latar belakang keluarga darah biru politik Indonesia untuk gagal tiga kali sebelum akhirnya terpilih menjadi presiden. Selayaknya dalam dunia militer, perwira yang pernah menjadi pangdam memiliki basis pengalaman teritorial yang mumpuni jika kemudian ia terpilih menjadi panglima. Sistem pemilihan langsung juga memberikan pengalaman seorang politisi untuk berkompetisi secara elektoral dan menjabat sebagai lembaga eksekutif. Dengan begitu, pilkada merupakan wadah kaderisasi pengalaman teritorial politik dan pemerintahan sebelum mencapai kursi yang lebih tinggi seperti presiden.

Cadangan saya, sebaiknya wacana penghapusan pilkada langsung harus ditinggalkan. Wacana penghapusan pilkada ini tidak memiliki semangat perbaikan sistem politik, tetapi justru karena "lelah berdemokrasi". Selain itu, wacana penghapusan pilkada juga dapat berdampak buruk bagi kaderisasi politik, padahal sebelumnya telah menghasilkan politisi-politisi dengan rahim popularitas. Partai politik selaku institusi yang berfungsi mencetak kader politik seharusnya menjadi yang terdepan menolak wacana ini.

Kita memang tidak bisa menutup mata dari kekurangan-kekurangan yang ada dalam demokrasi Indonesia. Keberadaan politik klientelisme dan politik pork barrel seperti pemberian bansos menjelang pemilu, money politics, penggerakan instrumen negara, dan rendahnya pemilih kritis adalah penyakit yang nyata pada demokrasi Indonesia. Penyakit ini membuat kompetisi politik yang tidak setara. Namun, jangan sampai penyakit ini diobati dengan menghapus pemilu sebagai kancah kompetisi politik.

Jika elite politik sudah lelah berdemokrasi dengan pemilihan langsung, sebaiknya sekalian saja kita beralih pada sistem parlementer ala Westminster dengan sistem pemilu distrik seperti di Inggris atau Malaysia. Dengan begitu, DPR dan DPRD dapat memilih presiden, gubernur, dan wali kota/bupati, tetapi DPR dan DPRD juga bisa menjatuhkan pimpinan eksekutif tersebut jika sewaktu-waktu terdapat kesewenang-wenangan. Indonesia terbiasa mengambil aspek yang enak-enak saja dalam berdemokrasi, jangan sampai kita berjalan mundur dengan kembali kepada sistem "yang bukan-bukan".

Muhammad Ramadhan analis politik di Elektawave Tekno Sinergi

Sumber