Mengimbangi Kenaikan UMP 2025
Presiden Prabowo Subianto menetapkan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5%. Keputusan ini disampaikan dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (29/11). Namun, pada Sabtu (30/11), Ketua Umum Apindo (Apindo), Shinta Kamdani, merasa diabaikan dan tidak didengar pemerintah atas keputusan kenaikan UMP tersebut. Akankah kenaikan UMP sebesar 6,5% ini menjadi topik panas yang mempengaruhi berbagai sektor, walaupun sejatinya kenaikan seperti ini hampir terjadi setiap tahun?
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, dalam kurun 2011-2025, UMP Indonesia selalu naik dengan besaran berbeda 6,7% (2011), 10,3% (2012), 18,3% (2013), 17,4% (2014), 12,8 (2015), 11,6% (2016), 8,3% (2017), 8,2% (2018), 8,0% (2019), 8,5% (2020), 0% (2021), 1,1% (2022), 10% (2023) 3,7% (2024) dan 6,5% (2025). Jadi hanya sekali tidak naik yakni pada 2021 akibat dampak pandemi Covd-19 yang menghancurkan ekonomi. Lantas, kenaikan UMP kali ini menjadi berkah atau beban?
Tidak Hanya Dirasakan Buruh
Pada dasarnya, kebijakan UMP ini hadir dengan harapan dapat memperkuat daya beli masyarakat, terutama pekerja yang mengandalkan upah minimum sebagai sumber pendapatan utama. Namun, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh buruh, tetapi juga oleh industri, UMKM, masyarakat umum, hingga pemerintah. Dalam konteks inflasi yang terkendali di angka 3-4% dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,1%, kebijakan ini diharapkan menjadi pendorong konsumsi domestik sekaligus memperbaiki kesejahteraan pekerja.
Bagi buruh, kenaikan UMP memberikan angin segar. Dengan tambahan pendapatan sekitar Rp 325 ribu per bulan bagi pekerja di DKI Jakarta, misalnya, daya beli mereka meningkat. Hal ini memberi ruang bagi keluarga pekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok, pendidikan, atau bahkan meningkatkan kualitas hidup mereka. Dampak ini secara langsung dapat memacu konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.
Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) Mei 2023 menyebutkan, masyarakat dengan pengeluaran Rp 1-2 juta per bulan mengalami peningkatan porsi pengeluaran untuk konsumsi menjadi 76,9% dari pendapatan. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh naiknya harga barang atau jumlah barang yang dibeli. Namun, kelompok ini juga menghadapi peningkatan beban pembayaran cicilan pinjaman dan penurunan porsi tabungan, yang mengindikasikan tekanan finansial meskipun konsumsi meningkat.
Meskipun data tersebut menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan pada kelompok berpenghasilan rendah cenderung meningkatkan proporsi konsumsi atau efek domino langsung pada sektor perdagangan dan jasa. Namun, secara teori ekonomi, peningkatan konsumsi pada kelompok berpenghasilan rendah dapat mendorong permintaan barang dan jasa, yang pada gilirannya dapat merangsang aktivitas di sektor perdagangan dan jasa.
Namun, bagi sektor industri, kenaikan UMP menghadirkan tantangan besar, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan elektronik. Dengan biaya tenaga kerja yang mencapai 40% dari total biaya produksi, kenaikan UMP dapat memangkas margin keuntungan dan menurunkan daya saing produk lokal di pasar internasional. Tekanan ini menjadi semakin besar di tengah persaingan global yang ketat.
Di sisi lain, UMKM yang menyerap mayoritas tenaga kerja Indonesia turut merasakan dampak signifikan. Dengan margin keuntungan yang tipis, banyak pelaku UMKM kesulitan menyesuaikan diri dengan kenaikan upah tanpa menaikkan harga produk. Meskipun belum ada kajian spesifik mengenai dilema antara mempertahankan harga kompetitif dan tenaga kerja, tantangan-tantangan tersebut menunjukkan bahwa UMKM menghadapi berbagai kesulitan yang dapat mempengaruhi keputusan operasional mereka, termasuk dalam hal penetapan harga dan manajemen tenaga kerja
Bagi masyarakat luas, kenaikan UMP bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, daya beli meningkat dan roda ekonomi bergerak lebih cepat. Namun, di sisi lain, potensi kenaikan harga barang dan jasa akibat kenaikan biaya produksi dapat memukul kelompok masyarakat yang tidak menerima kenaikan upah. Inflasi menjadi risiko yang harus diantisipasi agar dampak positif kebijakan ini tidak tersapu oleh lonjakan harga kebutuhan pokok.
Pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mengelola dampak kenaikan UMP ini. Meskipun kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan pajak dari sektor konsumsi, pemerintah juga harus bersiap menghadapi tekanan pada anggaran jika inflasi meningkat atau jika program bantuan sosial harus diperluas. Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak menghambat investasi di sektor industri atau UMKM, yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional.
Kenyataan Tak Selalu Sejalan
Kenaikan UMP sering diasosiasikan dengan potensi peningkatan produktivitas karyawan. Secara teori, kenaikan upah dapat meningkatkan motivasi dan semangat kerja, karena pekerja merasa lebih dihargai. Namun, kenyataannya tidak selalu sejalan. Peningkatan produktivitas karyawan sangat bergantung pada bagaimana kenaikan upah ini dikombinasikan dengan peningkatan pelatihan, manajemen yang efektif, dan lingkungan kerja yang mendukung. Jika tidak diiringi dengan upaya untuk meningkatkan kompetensi dan efisiensi tenaga kerja, maka kenaikan UMP hanya akan menjadi tambahan biaya bagi perusahaan tanpa menghasilkan nilai tambah yang seimbang.
Di sisi lain, kenaikan UMP juga berpotensi menghambat iklim investasi di Indonesia, terutama bagi investor yang mempertimbangkan biaya tenaga kerja sebagai salah satu faktor utama. Sektor industri padat karya, seperti tekstil dan elektronik, sangat sensitif terhadap kenaikan biaya operasional. Dalam banyak kasus, investor dapat memilih untuk merelokasi bisnis mereka ke negara-negara dengan upah tenaga kerja yang lebih rendah atau menawarkan insentif lebih kompetitif.
Situasi ini dapat mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi, terutama jika kenaikan UMP tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung efisiensi produksi, stabilitas ekonomi, dan penguatan infrastruktur bisnis. Pemerintah perlu menyeimbangkan kebutuhan pekerja dan dunia usaha agar kebijakan ini tidak merugikan daya saing Indonesia di pasar global
Memerlukan Pendekatan Holistik
Solusi untuk mengatasi dampak negatif dari kenaikan UMP ini memerlukan sinergi semua pihak. Pemerintah dapat memperkuat dukungan bagi UMKM melalui pelatihan kewirausahaan, subsidi bunga pinjaman, atau insentif pajak untuk mendorong adaptasi teknologi. Di sisi lain, pengusaha perlu berinvestasi dalam efisiensi operasional, termasuk adopsi teknologi otomatisasi, untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja. Buruh, sebagai penerima manfaat langsung, juga perlu meningkatkan produktivitas agar kenaikan upah ini selaras dengan peningkatan kinerja mereka di tempat kerja.
Kenaikan UMP 6,5% adalah langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan mendorong konsumsi domestik, tetapi dampaknya yang kompleks memerlukan pendekatan holistik. Dalam iklim ekonomi yang dinamis, kebijakan ini hanya akan berhasil jika pemerintah, pengusaha, dan buruh dapat berkolaborasi untuk mengatasi tantangan yang muncul. Dengan langkah dan eksekusi yang tepat, kebijakan ini tidak hanya menjadi solusi jangka pendek, tetapi juga investasi untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan
Steph Subanidja Guru Besar Ilmu Manajemen, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Perbanas
Lihat juga video Pengamat 6,5% Angka Politis Kenaikan UMP
[Gambas Video 20detik]