Mengoptimalkan Pelayanan Kesehatan Mental bagi Mahasiswa
Kesehatan mental memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia yang tangguh, terutama di kalangan mahasiswa. Sebagai fase krusial dalam perkembangan diri, mahasiswa menghadapi berbagai tantangan, baik akademik, sosial, maupun psikologis, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan mental mereka. Dalam hal ini, pelayanan kesehatan mental yang efektif menjadi aspek yang sangat penting. Berdasarkan Pasal 40 Ayat (2b) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi individu yang beriman, bertakwa, berbudi pekerti luhur, serta sehat jasmani dan rohani. Oleh karena itu, perhatian terhadap kesehatan mental mahasiswa menjadi bagian integral dari proses pendidikan yang menyeluruh.
Namun, pelaksanaan pelayanan kesehatan mental di kalangan mahasiswa masih menghadapi berbagai tantangan yang menghambat efektivitasnya. Untuk memahami permasalahan ini lebih dalam, kita perlu menganalisisnya melalui teori-teori hukum, terutama teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Menurut Soekanto, efektivitas hukum dapat diukur berdasarkan beberapa faktor, seperti adanya peraturan yang jelas, penerapan yang konsisten, dan dukungan dari berbagai pihak yang terlibat. Dalam konteks pelayanan kesehatan mental bagi mahasiswa, faktor-faktor ini sangat relevan untuk menciptakan pelayanan yang optimal dan berdampak positif bagi kesejahteraan mental mahasiswa.
Kenyataan di LapanganMeskipun Pasal 40 Ayat (2b) UU No. 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa kesehatan mental adalah bagian integral dari pendidikan, kenyataannya di lapangan, implementasi pelayanan kesehatan mental di kampus seringkali tidak optimal. Banyak perguruan tinggi yang belum memiliki sistem atau layanan kesehatan mental yang memadai, baik dari segi fasilitas, tenaga ahli, maupun kesadaran mahasiswa akan pentingnya menjaga kesehatan mental mereka. Beberapa faktor yang menghambat efektivitas implementasi pelayanan kesehatan mental ini antara lain adalah terbatasnya anggaran untuk program kesehatan mental, kurangnya pelatihan bagi tenaga pendidik dan medis kampus, serta stigma sosial yang masih melekat mengenai kesehatan mental. Selain itu, meskipun ada kebijakan yang mengatur, masih banyak mahasiswa yang enggan mengakses layanan kesehatan mental karena rasa malu atau takut dianggap lemah. Hal ini menjadi salah satu hambatan utama dalam menciptakan lingkungan kampus yang mendukung kesehatan mental mahasiswa secara optimal.
Lima FaktorMenurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum. Pertama, Faktor Kebijakan. Kebijakan yang jelas dan terarah dari pemerintah atau kampus sangat penting untuk menciptakan pelayanan kesehatan mental yang efektif. Kebijakan ini harus mencakup penyediaan fasilitas kesehatan mental, pelatihan bagi staf, serta program edukasi untuk mahasiswa agar mereka lebih terbuka terhadap isu kesehatan mental.Kedua, Faktor Struktur. Struktur organisasi di kampus juga memainkan peran krusial dalam keberhasilan implementasi pelayanan kesehatan mental. Kehadiran unit layanan kesehatan mental yang terorganisir dengan baik dan didukung oleh tenaga profesional yang kompeten sangat penting agar mahasiswa merasa aman dan nyaman saat mengakses layanan tersebut.Ketiga, Faktor Budaya. Budaya kampus yang mendukung keterbukaan dan menghindari stigma terhadap mahasiswa yang membutuhkan bantuan psikologis akan sangat berkontribusi pada efektivitas pelayanan kesehatan mental. Oleh karena itu, kampus perlu menciptakan budaya yang inklusif dan terbuka untuk mendiskusikan isu kesehatan mental.Keempat, Faktor Fasilitas. Fasilitas yang memadai dan mudah diakses oleh mahasiswa juga sangat penting. Kampus harus menyediakan ruang yang aman dan nyaman untuk konseling serta memberikan akses yang lebih mudah kepada layanan psikolog atau psikiater yang tersedia di kampus.Kelima, Faktor Sosial. Partisipasi mahasiswa dalam kegiatan yang mendukung kesehatan mental, seperti seminar, workshop, atau kegiatan lain yang mempromosikan kesejahteraan mental, juga berpengaruh besar terhadap keberhasilan implementasi pelayanan kesehatan mental.Banyak KendalaMeskipun secara teori ada kebijakan yang mendukung pelayanan kesehatan mental, dalam praktiknya banyak kendala yang menyebabkan kebijakan ini tidak sepenuhnya efektif. Salah satu faktor utama adalah kurangnya sosialisasi mengenai pentingnya kesehatan mental bagi mahasiswa. Banyak mahasiswa yang tidak mengetahui bahwa mereka dapat mengakses layanan kesehatan mental di kampus, atau bahkan tidak menyadari bahwa masalah seperti stres atau kecemasan bisa diatasi dengan bantuan profesional.
Selain itu, meskipun beberapa kampus telah menyediakan layanan kesehatan mental, kualitas dan kuantitas layanan tersebut masih terbatas, dengan jumlah tenaga ahli yang tidak memadai untuk menangani permasalahan mental mahasiswa secara efektif. Tantangan lainnya adalah stigma yang masih kuat tentang kesehatan mental di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan mahasiswa itu sendiri. Banyak yang merasa malu untuk mengakui bahwa mereka membutuhkan bantuan atau menganggap mencari pertolongan sebagai tanda kelemahan. Hal ini semakin memperburuk efektivitas implementasi kebijakan yang ada.Muhammad Fadlan Jatmiko mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta
Simak juga video Masihkah Indonesia Darurat Kesehatan Mental?
[Gambas Video 20detik]