Mengulik Nasib Destinasi Wisata Super Prioritas
Tanpa bermaksud mendahului statistik resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), saya menduga bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia secara nasional kemungkinan besar masih belum bisa melewati angka kunjungan pada 2019 atau sebelum Covid-19. Secara nasional, hingga akhir 2024 mungkin kita hanya akan mampu meraih "hanya" sekitar 13 juta hingga 14,3 juta wisman saja, masih jauh dari perolehan kita pada 2019 yaitu 16,11 juta! Yang lebih membuat kita surprise adalah Bali. Saya kira awalnya Bali akan bisa melampaui angka 2019 yaitu 6,42 juta tapi melihat dinamika yang terjadi sepanjang Januari-Oktober 2024, saya lagi-lagi menduga Bali mungkin hanya bisa memperoleh sekitar 6 juta sampai 6,2 juta wisman saja. Kecuali misalnya, kalau pada Desember 2024 lalu wisman yang ke Bali bisa melompat ke angka satu juta –angka yang masih terlalu tinggi sebab rata-rata kunjungan ke Bali pada 2024 per bulannya hanya berkisar 500 ribu wisman saja.
Dengan begitu, kita menutup tahun 2024 dengan hasil yang tidak terlalu menggembirakan dari sisi pariwisata. Kita bahkan semakin galau karena distribusi wisman kita tetap menjadi problem besar meskipun selama 10 tahun terakhir pemerintah meluncurkan Lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas dengan dukungan anggaran yang tidak sedikit. Danau Toba, Mandalika, Borobudur, Likupang, dan Labuan Bajo hingga kini belum mampu memberikan kontribusi penerimaan wisman yang sepadan di samping problema investasi sektor pariwisata yang memang tidak mudah. Investor, sebagaimana biasanya, masih memilih berinvestasi di destinasi yang sudah "padat" daripada menjadi pioner di destinasi pariwisata yang relatif baru dikembangkan. Bahkan, seperti diakui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sektor pariwisata masih belum memiliki nilai realisasi investasi yang signifikan, seperti Tanjung Lesung, Morotai, dan di Likupang, Sulawesi Utara. Begitupun sebenarnya kalau kita lihat di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba, sejumlah rencana investor tidak kunjung terealisasi. Selain jumlahnya kecil, nilai investasi juga tidak merata di antara destinasi-destinasi super prioritas ini.
Hal inilah yang membuat upaya untuk membangun destinasi pariwisata unggulan di luar Bali itu bukan perkara gampang bagi Indonesia. Dari data, Bali tetap menyumbang lebih 50 persen penerimaan wisman di Indonesia. Kalau digabung dengan dua destinasi lainnya yaitu Jakarta dan Batam, maka ketiga destinasi ini mengambil porsi 75 persen kunjungan wisman ke Indonesia. Pada era Orde Baru, kontribusi Jakarta dan Batam tidak terlalu kecil dibandingkan Bali. Pada 1997 misalnya dari 5,1 juta wisman yang berkunjung ke Indonesia, 1,4 juta ke Jakarta, 1,2 juta ke Bali, dan 1,1 juta ke Batam. Perbedaan signifikan mulai sejak 2019 hingga saat ini; perbandingan Bali versus Jakarta sudah menjauh hingga hampir 4 kali lipat. Sejak itu dominasi Bali makin menonjol.
Destinasi kita ini memang agak berbeda dengan Thailand atau Malaysia. Phuket memang berkontribusi paling besar bagi pariwisata Thailand, tapi dengan destinasi lain tidaklah terlalu mencolok perbedaannya. Misalnya jika Phuket meraih 11 juta pada 2023 lalu, Chonburi bisa mengimbangi hampir 10 juta, kemudian Chiangmai 3,9 juta, Surat Thani 2,2 juta, dan Ubon Ratchathani 1,3 juta. Di Malaysia, antara Johor, Pahang, Selangor, Perak, dan Kedah juga tidak terlalu jomplang. Karena itu, pekerjaan rumah yang paling berat bagi Indonesia adalah bagaimana mendorong pertumbuhan penerimaan wisman yang semakin besar namun semakin merata ke seluruh destinasi. Bahkan jika Bali dianggap sudah berlebihan wisatawan yang datang, maka perlu diatur agar wisman yang berkunjung ke Bali juga mau mengunjungi destinasi lain di luar Bali. Di sinilah letak kelemahan kita. Kebijakan pembangunan destinasi wisata tidak dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan kebijakan sektor lainnya, bahkan tidak terintegrasi juga dengan destinasi wisata lainnya dalam hal ini antar-destinasi termasuk Destinasi Pariwisata Super Prioritas.
Perlu diingat bahwa destinasi wisata di Indonesia itu memang memiliki pasarnya tersendiri. Danau Toba (Sumut) biasanya didominasi Belanda, Jerman, dan Malaysia dan anggota ASEAN lainnya. Manado (Sulut) Amerika Serikat, Tiongkok, dan Eropa. Sumbar didominasi Malaysia, Batam (Kepri) didominasi Singapura, Bali didominasi Australia. Meskipun terjadi pergeseran asal negara wisman dalam beberapa tahun terakhir ini, namun kita masih mendapatkan beberapa negara tersebut tetap signifikan jumlah kunjungannya. Pola-pola ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kesejarahan dan kebudayaan dalam konteks people-to-people yang sudah terjalin sejak lama. Pola ini menarik untuk dikembangkan ke depan, sehingga destinasi makin fokus ke dalam program-program pemasaran wisata. Dalam konteks "berlimpahnya" wisman di Bali, maka destinasi harusnya sudah punya pendekatannya tersendiri untuk "berburu" wisman ke Bali berdasarkan kecenderungan pasar tadi. Mereka setidaknya tidak seperti menembak burung di udara, asal tembak sekenanya, tapi sudah punya targetnya sendiri.
Kelemahan lainnya adalah Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (Ripparnas) yang selalu tertinggal atau tidak mampu menjadi pedoman bagi pembangunan kepariwisataan nasional khususnya destinasi wisata. Seperti Ripparnas yang tertuang dalam PP No.50 Tahun 2011 tentang Ripparnas Tahun 2010-2025, yang menurut saya terlalu mengawang-awang dengan konsep Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) yang tidak konsisten dalam penerapannya. Sebagai contoh munculnya tiba-tiba DPN Manado-Likupang padahal sebelumnya adalah Manado-Bunaken. Begitu juga nama Mandalika sebab DPN sebelumnya adalah Lombok-Gili Tramen. Artinya ada inkonsistensi di sana. Kemudian kita juga masih dibingungkan dengan kehadiran Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata. Pertanyaan yang sulit dijawab adalah selain Lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas bagaimana nasib dari DPN lain? Kalau DPN saja tidak jelas, bagaimana lagi dengan KSPN?
Tapi pertanyaan yang sangat penting terkait destinasi adalah apakah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan meneruskan program Lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas yang dijalankan selama era Presiden Joko Widodo? Saya berharap terus dilanjutkan. Namun dengan catatan, pemerintah perlu menambahkan dua destinasi yang sudah cukup matang yang sudah siap untuk di-push kembali yaitu Jakarta dan Batam (Kepri). Dengan demikian kita perlu ada Tujuh Destinasi Super Prioritas yaitu Jakarta, Batam (Kepri), Danau Toba, Mandalika, Borobudur, Likupang, dan Labuan Bajo. Kenapa ditambah dua? Karena kita butuh destinasi yang siap untuk mendorong pertumbuhan, dan jauh lebih mudah untuk mendorong Jakarta dan Batam daripada memaksa Lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas yang membutuhkan effort lebih besar dan waktu lebih lama.
Ketujuh destinasi itu saya kira juga sudah mencerminkan keadilan wilayah Indonesia Timur, Tengah, dan Barat. Kemudian, saya juga berharap ada perubahan pendekatan dalam pembangunan yakni jika pada pemerintahan lalu pendekatannya adalah infrastruktur dan investasi, maka untuk ke depan pendekatannya adalah marketing (pemasaran). Kenapa marketing? Karena kita tidak bisa menunggu destinasi harus "sesempurna" yang kita mau untuk bisa memasarkannya.
Memang ada yang bertanya, mana lebih dulu pembangunan destinasi atau marketing? Ini ibarat pertanyaan mana lebih dulu telur atau ayam? Anggaran marketing-nya harus dikuatkan untuk Tujuh Destinasi Pariwisata Super Prioritas itu, tools-nya dibenahi yang paling tepat, efektif dan efisien, dan sejalan dengan itu pembenahan dilakukan di sisi atraksi, pembenahan di event wisata yang ada dengan peningkatan kualitas kegiatan-kegiatan tersebut. Begitu juga dari sisi amenitas. Kita perlu mendorong potensi lokal untuk akomodasi dan keramahtamahan terbaik, dengan mempersiapkan sosok-sosok lkcal menjadi pemain andal, dengan pelayanan internasional bercitra lokal. Daripada berharap investor hotel bintang lima internasional datang yang sangat sulit terjadi, mengapa kita tidak mencoba untuk membuat ekosistem yang baik bagi para pengusaha lokal untuk meningkatkan grade-nya? Betul ini tidak bisa simsalabim, tapi butuh waktu, butuh kesabaran, tapi harus ada progresnya.
Kita perlu kejelian dalam melihat market. Harus negara per negara, jangan asal tembak. Kita perlu kalender nasional semacam Visit Indonesia Year seperti zaman dulu dengan nama berbeda dan kualitas tata kelola yang lebih baik. Tujuan kita adalah memperbesar kunjungan wismana ke destinasi khususnya Tujuh Destinasi Pariwisata Super Prioritas. Peningkatan jumlah kunjungan sangat efektif untuk meningkatkan perdagangan dan investasi.
Terakhir, kita berharap agar Ripparnas dipersiapkan dengan baik, sebuah rencana induk yang membumi, terukur, relevan, taktis, dan mampu mengantisipasi perkembangan pariwisata regional dan internasional, bukan mengawang-awang dan teoritis.
Jones Sirait mantan wartawan, penggemar geografi, pengamat pariwisata