Menimbang Denda Damai untuk Koruptor
Pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengenai kemungkinan pemberian "denda damai" bagi pelaku tindak pidana korupsi telah menimbulkan diskusi luas di berbagai kalangan. Dalam kerangka Undang-Undang Kejaksaan yang baru, denda damai diartikan sebagai penghentian perkara di luar pengadilan dengan syarat pelaku membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung. Meskipun implementasinya masih menunggu peraturan teknis, gagasan tersebut telah menimbulkan pro dan kontra, khususnya dalam kaitannya dengan keadilan, efektivitas, dan dampak terhadap penegakan hukum di Indonesia. Apakah denda damai mampu menjadi solusi pragmatis dalam mengatasi korupsi atau justru memperburuk ketimpangan dalam sistem hukum kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini, analisis mendalam tentang dampak, risiko, dan pembelajaran dari praktik internasional sangatlah diperlukan.
Korupsi Kejahatan Luar BiasaKorupsi di Indonesia adalah masalah yang tak kunjung usai. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), korupsi merusak sendi-sendi pemerintahan, melemahkan perekonomian, dan menurunkan kualitas pelayanan publik. Korupsi tidak hanya berdampak pada angka-angka kerugian negara, tetapi juga menciptakan ketidakadilan struktural yang dirasakan oleh masyarakat luas.Dalam konteks ini, penanganan korupsi tidak bisa disamakan dengan tindak pidana biasa. Hukum pidana Indonesia menegaskan bahwa tujuan utama penghukuman bagi koruptor adalah memberikan efek jera dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara oleh pelaku tidak menghapuskan pidana. Ini berarti bahwa meskipun kerugian negara telah dikembalikan, koruptor tetap harus bertanggung jawab atas tindakan mereka.Jika gagasan denda damai diterapkan tanpa pengawasan yang ketat, pesan yang sampai ke publik adalah bahwa kejahatan dapat dinegosiasikan. Hal ini justru bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang membutuhkan penanganan tegas dan tanpa kompromi.
Antara Kepentingan Negara dan KeadilanPendukung denda damai sering berargumen bahwa mekanisme ini lebih efisien dan ekonomis. Dengan membayar denda, koruptor dapat mengembalikan kerugian negara sekaligus menghindari proses hukum yang panjang dan kompleks. Dalam jangka pendek, negara dapat segera mendapatkan kembali uang yang hilang, dan beban lembaga pemasyarakatan yang sudah penuh sesak dapat berkurang.Namun, argumen ini memiliki kelemahan mendasar. Pertama, denda damai hanya menyelesaikan sebagian kecil dari masalah korupsi. Efisiensi ekonomi tidak dapat menggantikan keadilan substantif yang menjadi inti dari penegakan hukum. Ketika koruptor hanya dihukum dengan denda tanpa menjalani hukuman pidana, efek jera yang diharapkan akan hilang. Korupsi akan dianggap sebagai kejahatan yang "menguntungkan," selama pelaku mampu membayar denda untuk lolos dari hukuman.Kedua, mekanisme ini berpotensi menciptakan ketimpangan dalam penerapan hukum. Rakyat kecil yang terjerat kasus-kasus hukum ringan tetap harus menghadapi hukuman yang berat tanpa kompromi. Sebaliknya, para koruptor yang memiliki kekayaan justru bisa membeli kebebasan mereka. Ketimpangan ini hanya akan memperkuat persepsi bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah dan tumpul ke atas.Ketiga, sistem denda damai juga membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan di kalangan aparat penegak hukum. Dalam sistem yang belum sepenuhnya bebas dari korupsi, negosiasi denda damai dapat menjadi celah baru bagi kompromi gelap antara pelaku korupsi dan aparat penegak hukum.
Pelajaran dari Negara LainBeberapa negara maju telah menerapkan mekanisme penyelesaian perkara melalui denda atau penyelesaian di luar pengadilan untuk kejahatan keuangan, termasuk korupsi. Namun, penerapan mekanisme ini dilakukan dengan prinsip-prinsip yang sangat ketat untuk memastikan keadilan dan transparansi tetap terjaga.Amerika Serikat Deferred Prosecution Agreement (DPA)Di Amerika Serikat, pendekatan Deferred Prosecution Agreement digunakan untuk menangani kasus kejahatan keuangan. Mekanisme ini memungkinkan pelaku menghindari pengadilan dengan syarat mengakui kesalahan, membayar denda, dan memenuhi kewajiban tambahan seperti reformasi tata kelola di organisasi mereka. Namun, DPA dirancang terutama untuk entitas korporasi, bukan individu, dan diawasi secara ketat oleh hakim independen. Pendekatan ini memberikan keseimbangan antara pemulihan kerugian dan pemberian efek jera, dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas.Inggris Serious Fraud Office (SFO)Di Inggris, mekanisme penyelesaian perkara melalui denda dijalankan oleh Serious Fraud Office. Dalam berbagai kasus, seperti yang melibatkan perusahaan besar, denda yang dijatuhkan disertai dengan kewajiban untuk melakukan perbaikan sistem internal dan pengawasan ketat dari pihak otoritas. Pendekatan ini berfokus pada reformasi struktural di perusahaan yang bersalah, dengan memastikan bahwa penyelesaian perkara tidak menghapus tanggung jawab moral dan institusional pelaku. Sistem ini menempatkan transparansi sebagai inti dari proses hukum, sehingga publik dapat terus memantau pelaksanaannya.Prancis Sapin IIPrancis melalui Undang-Undang Sapin II memberikan kerangka hukum untuk penyelesaian perkara dengan denda bagi kasus korupsi. Namun, pendekatan ini dilengkapi dengan penguatan regulasi dan pengawasan yang ketat di sektor publik dan swasta. Selain itu, pelaku yang terlibat dalam mekanisme ini tetap diwajibkan untuk melakukan reformasi tata kelola sebagai bagian dari hukuman. Di Prancis, transparansi dan integritas menjadi pilar utama dalam menjalankan mekanisme penyelesaian perkara ini.Dari ketiga negara itu terlihat bahwa mekanisme penyelesaian perkara melalui denda hanya berhasil jika diterapkan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan ketat. Sistem ini dirancang untuk mengembalikan kerugian negara sambil memastikan bahwa pelaku tetap bertanggung jawab secara moral dan institusional. Selain itu, pendekatan ini cenderung diterapkan pada entitas korporasi, bukan individu, dan diawasi oleh lembaga independen untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.Berbeda dengan kondisi di Indonesia, yang masih menghadapi tantangan besar dalam hal integritas aparat penegak hukum, penerapan mekanisme serupa tanpa pengawasan yang ketat justru dapat membuka peluang bagi penyalahgunaan dan ketidakadilan. Pembelajaran dari negara lain menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas harus menjadi fondasi dalam setiap kebijakan penegakan hukum, terutama untuk kejahatan luar biasa seperti korupsi.Hukuman Harus Berimbang dan TegasPrinsip utama dalam penegakan hukum adalah keadilan. Hukuman harus mencerminkan beratnya pelanggaran yang dilakukan, serta memberikan efek jera yang nyata. Dalam kasus korupsi, hukuman tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku, tetapi juga mencegah terulangnya kejahatan serupa dan memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.Denda dapat menjadi salah satu instrumen hukuman, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya. Pengembalian kerugian negara adalah kewajiban moral dan hukum, tetapi hukuman pidana tetap diperlukan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada masyarakat.Jika kita serius ingin memberantas korupsi, maka penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten. Denda damai mungkin tampak seperti solusi cepat dan mudah, tetapi ia tidak sejalan dengan prinsip keadilan yang menjadi landasan sistem hukum kita.Sebaliknya, fokus utama harus diberikan pada penguatan penegakan hukum dan reformasi sistem peradilan. Aparat penegak hukum harus bebas dari pengaruh politik dan tekanan ekonomi, sehingga dapat menjalankan tugasnya tanpa kompromi. Selain itu, pengawasan terhadap proses hukum harus diperkuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas di setiap tahap.Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak dapat diatasi dengan solusi pragmatis seperti denda damai. Dalam sistem hukum yang adil, setiap pelaku kejahatan harus bertanggung jawab atas perbuatannya, tanpa pengecualian. Denda damai mungkin menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi ia berisiko merusak prinsip keadilan yang menjadi fondasi sistem hukum kita.Pragmatismenya tidak boleh mengalahkan keadilan. Penegakan hukum yang tegas, adil, dan tidak bisa dinegosiasikan adalah kunci utama dalam membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa korupsi benar-benar diberantas hingga ke akarnya.Firdaus Arifin, S.H, M.H dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan