Menimbang Ulang Kenaikan PPN
Belum terlalu lama kita dihentak dengan data deflasi yang terjadi di dalam negeri secara beruntun selama lima bulan, publik dicengangkan kembali dengan rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%. Tak pelak banyak kelompok masyarakat, mulai dari akademisi, ekonom, dan juga praktisi yang mengkritisi rencana kebijakan tersebut karena dinilai tidak peka dengan situasi yang berkembang saat ini di tengah melemahnya daya beli dan guncangan ekonomi global yang terus menghantui.
Banyak yang menilai, rencana pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12% di tengah melemahnya daya beli dan dampak situasi ekonomi global yang menunjukkan ketidakpastian akan memperburuk situasi. Maka dari itu, penting sekali untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikan ini. Jangan sampai dengan menaikkan PPN menjadi 12% justru malah menjauhkan target pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang telah dicanangkan Presiden Prabowo.
Pajak Pertambahan Nilai yang diterapkan di Indonesia bisa kita lacak mulai dari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam undang-undang tersebut, pemerintah Indonesia menetapkan pajak pertambahan nilai sebesar 10% dan kebijakan ini berlaku lebih dari 30 tahun. Selanjutnya, Pajak Pertambahan Nilai akhirnya direvisi kembali menjadi 11% dengan ditetapkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 2021 dan mulai berlaku pada April 2022.
Sementara itu pemerintah pada November 2024 menjelaskan bahwa kebijakan untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai menjadi 12% dipandang masih sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pemerintah berdalih bahwa rencana untuk menaikkan PPN menjadi 12% tidak lain bertujuan untuk menjaga kesehatan fiskal dan juga mendukung program pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Early Warning
Jika kita melihat data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi secara beruntun sebesar 0.03% pada Mei, 0.08% pada Juni, 0.18% pada Juli, 0.03% pada Agustus dan 0.12% pada September 2024. Deflasi selama lima bulan berturut ini diyakini adalah situasi terburuk setelah krisis moneter yang menghantam Indonesia pada akhir dekade 90-an yang pada akhirnya mengakhiri kekuasaan Orde Baru. Melihat data di atas, seharusnya situasi tersebut bisa menjadi early warning bersama atas kondisi perekonomian nasional yang sedang membutuhkan perhatian serius supaya tidak jatuh ke jurang yang lebih dalam seperti yang terjadi pada akhir masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Kondisi deflasi bisa ditandai oleh banyak hal, di antaranya semakin melemahnya tingkat konsumsi komoditas barang dan jasa di masyarakat. Khususnya kelompok menengah ke bawah, kondisi deflasi membuat kelompok ini semakin menahan atau bahkan mengurangi tingkat konsumsi.
Kelas menengah yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang mengeluarkan uang untuk konsumsi sebesar 3.5 sampai 17 kali lebih besar dari gari kemiskinan atau sekitar Rp 2.04 juta sampai Rp 9.9 juta pada setiap bulannya. Padahal struktur kelompok ini adalah kelompok mayoritas di Indonesia dengan tingkat konsumsi mencapai 81.49% dari total keseluruhan konsumsi masyarakat Indonesia.
Data yang dirilis BPS tentang penurunan kelompok kelas menengah juga menunjukkan situasi yang sama mengkhawatirkannya. Penurunan ini setidaknya mulai terjadi ketika pandemi Covid-19 mulai terjadi dan menghantam semua negara di dunia tanpa terkecuali. Data tersebut menunjukkan bahwa pada 2019, jumlah kelompok kelas menengah di Indonesia masih tercatat 57.33 juta jiwa dan mengalami penurunan menjadi 53.83 juta jiwa pada 2021. Pada 2022, jumlahnya juga terus turun menjadi 49.51 juta jiwa. Situasi penurunan ini bahkan juga terjadi di kelas atas yang mana pada 2023 dari jumlah 1.26 juta jiwa menjadi 1.07 juta jiwa pada 2024.
Hal di atas mengindikasikan bahwa ketika kelompok ini menahan untuk konsumsi maka pertumbuhan ekonomi nasional juga akan terganggu. Pemerintah yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% juga akan menghadapi tantangan hebat jika tidak ada terobosan atas situasi tersebut. Hal penting lainnya bahwa kelas menengah juga memiliki peran yang sangat signifikan untuk menciptakan stabilitas sosial yang ada di dalam negeri.
Kelas Menengah Menurun
Sementara itu, pada 2022 jumlah kelas menengah menurun menjadi 49.51 juta jiwa dan terus turun menjadi 47.85 juta jiwa pada 2024. Dari data yang dirilis BPS tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka waktu tidak lebih lima tahun, jumlah kelas menengah berkurang lebih dari 9 juta jiwa dan sayangnya kelompok ini lebih rentan masuk dalam kelompok rentan miskin.
Hal lainnya yang juga tidak kalah penting adalah adanya penurunan angka lapangan kerja pada sektor formal yang terus menerus terjadi semenjak pandemi Covid-19. Data ini seperti yang dirilis BPS bahwa pada 2019 jumlah persentase yang bekerja di sektor formal mencapai 61.71%, pada 2023 menjadi 58.65% dan kembali naik pada 2024 menjadi 58.65%. Meskipun dari data tersebut jumlah pekerja sektor formal mengalami peningkatan, namun angka tersebut belum kembali seperti sebelum terjadinya Covid-19 yang menyebabkan guncangan situasi ekonomi global.
Sementara di sisi yang lain, sektor pekerjaan informal terus mengalami peningkatan. Tercatat pada 2019 persentase pekerja sektor informal berada di 55.88% dan meningkat menjadi 59.17% pada 2024. Meningkatnya jumlah pekerja pada sektor informal ini juga menjadi pemicu kekhawatiran bersama, pasalnya mereka yang berada di sektor ini tidak memiliki pekerjaan tetap, ketiadaan jaminan perlindungan sampai pada aksesibilitas permodalan yang cenderung lebih sulit.
Tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang beberapa tahun terakhir berturut-turut tidak lebih dari angka 5% juga patut dijadikan sebagai pertimbangan rencana kenaikan PPN 12%. Beberapa pakar misalnya menjelaskan bahwa jika konsumsi rumah tangga tidak lebih dari 5% maka situasi ekonomi dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Sehingga dikhawatirkan jika pemerintah masih ngotot untuk mengesahkan rencana tersebut justru akan menjadi blunder terhadap target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 8%.
Semakin Membebani
Dalam situasi perekonomian dalam negeri yang baru saja terbebas dari hantaman pandemi Covid-19, menaikkan PPN menjadi 12% pada gilirannya akan semakin membebani masyarakat, terutama pada kelompok kelas menengah ke bawah. Jumlah kelas menengah yang terus mengalami penurunan beberapa waktu belakangan ini bukan tidak mungkin akan kembali turun dengan kenaikan PPN 12%. Potensi terjadinya deflasi jika kebijakan tersebut disahkan juga akan kembali terbuka lebar dan muaranya akan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mempertimbangkan dampak sosial dari rencana kebijakan tersebut di tengah indeks rasio gini yang masih bertengger di angka 0.37 pada 2023. Meskipun indeks tersebut menunjukkan perbaikan daripada tahun sebelumnya, 0.38, namun indeks tersebut menunjukkan bahwa disparitas ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat masih relatif tinggi. Kenaikan pajak tersebut juga membuka peluang lebih besar akan terjadinya ketidakpuasan yang berkembang di tengah masyarakat dan bukan tidak mungkin memantik protes keras atas kebijakan tersebut.
Langkah yang Gegabah
Sebagaimana dijelaskan Robinson dan Acemoglu dalam Why Nations Fail yang diterbitkan pada 2012, salah satu elemen penting untuk mewujudkan kesejahteraan suatu negara perlu institusi ekonomi dan politik yang inklusif. Institusi ekonomi dan politik yang inklusif dapat didefinisikan sebagai institusi yang tidak hanya menguntungkan segelintir elit semata, tetapi terdapat partisipasi menyeluruh untuk semua elemen warga negara terlibat di dalam denyut nadi ekonomi dan politik.
Sementara itu kesejahteraan negara akan sulit terwujud jika misalnya negara tersebut lebih berpijak pada institusi ekonomi dan politik yang ekstraktif. Dimana pada pola seperti ini, kebijakan yang diambil negara seringkali justru menghambat warga negara untuk bisa terlibat aktif dalam institusi ekonomi dan politik yang ada.
Rencana kenaikan PPN menjadi 12% di tengah guncangan ekonomi global tampaknya bukan keputusan yang bijak dalam konteks keindonesiaan saat ini, terlebih bagi kelompok kelas menengah ke bawah. Selain dapat menyebabkan gejolak dalam aspek ekonomi, menaikkan PPN menjadi 12% juga pada gilirannya akan sangat berdampak pada aspek sosial.
Dalam konteks ekonomi misalnya, rencana tersebut akan berimplikasi pada kenaikan harga komoditas barang dan jasa, adanya penurunan daya beli masyarakat khususnya pada kelas menengah ke bawah, menstimulasi inflasi sampai pada tekanan terhadap pelaku usaha kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Sementara itu pada aspek sosial, rencana menaikkan pajak pertambahan nilai juga akan semakin meningkatkan ketimpangan sosial, disparitas kesejahteraan sampai potensi adanya protes masyarakat. Sehingga dengan situasi tersebut, jika pemerintah tetap keukeuh untuk menaikkan PPN menjadi 12% adalah langkah yang gegabah.
Muhammad Nurun Najib dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia