Menolak Ide Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD
Menjelang akhir 2024, paling tidak ada dua perkembangan sekitar pemilihan kepala daerah di Indonesia. Pertama, penerimaan permohonan sengketa hasil kepala daerah di Mahkamah Konstitusi (MK), baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Merujuk data hingga 16 Desember 2024, MK telah menerima 283 perkara sengketa kepala daerah yang harus diselesaikan.
Kedua, yang merupakan jantung dari artikel ini, seiring banyaknya permohonan perkara sengketa hasil, muncul gagasan soal kepala daerah dipilih melalui DPRD. Hal menarik, ide demikian datang dari Presiden Prabowo Subianto. Pemikiran ini tidak boleh dianggap sederhana. Musababnya, Presiden adalah pemegang kuat kekuasaan legislasi. Apalagi, kondisi parlemen sekarang dikuasai oleh koalisi Prabowo.
Lebih jauh, ide dimaksud disambut baik beberapa elite politik. Misalnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyambut pemikiran ini di Istana Merdeka. Anggota Komisi II DPR Ahmad Irawan juga membuka tangan mengenai usulan pemilihan kepala daerah via DPRD –meskipun membatasinya hanya pada level gubernur. Menilik sambutan itu, tegasnya, wacana pergeseran pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung bisa saja menemui jalan lancar.
Pertanyaan elementer akhirnya muncul, bagaimana menjelaskan wacana di atas secara hukum? Apa pula pengaruhnya bagi dinamika demokrasi di Indonesia jika kepala daerah dipilih melalui DPRD.
Harus Langsung
Bilamana kembali ditelusuri UUD 1945, ketentuan ihwal kepala daerah tidak ditegaskan secara eksplisit mengenai mekanisme pemilihannya. Dalam hal ini, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya menjelaskan Gubernur, Bupati, Walikota dipilih secara demokratis. Secara gramatikal, dipilih secara demokratis melahirkan dua makna, dipilih rakyat secara langsung dan tidak langsung (via DPRD). Akibatnya, muncul pilihan hukum mengenai pemilihan kepala daerah.
Sekalipun memunculkan pilihan hukum, jika dilacak sekitar sejarah munculnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, mekanisme pemilihan kepala daerah ternyata harus dilakukan secara langsung. Pasal tersebut lahir pada perubahan konstitusi Indonesia yang kedua, yaitu tahun 2000. Kehendak para pengubah dulu untuk memasukkan istilah dipilih secara demokratis, diniatkan untuk menyesuaikan dengan proses pemilihan Presiden.
Hal demikian terjadi, pada waktu itu, belum ada kesepakatan apakah presiden dipilih secara langsung atau tidak. Kesepakatan mekanisme pemilihan presiden baru disepakati pada perubahan ketiga pada 2001. Artinya, meskipun konstitusi Indonesia memasukkan kata dipilih secara demokratis, alam pikiran yang menghinggapi para pengubah konstitusi Indonesia, waktu itu, menginginkan agar kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, sama seperti pemilihan presiden.
Suasana kebatinan para pengubah konstitusi tersebut, selanjutnya, diikuti oleh pembentuk undang-undang. Dalam hal ini, UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian dicabut dengan UU 23 Tahun 2014, secara konsisten mengkonsepkan kepala daerah dipilih secara langsung. Konsep demikian tiada lain untuk meneguhkan serta meningkatkan demokrasi lokal.
Mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung, selanjutnya, dikuatkan dalam putusan MK. Dalam hal ini, muncul putusan Nomor 85/PUU-XX/2022. Putusan dimaksud sebenarnya tidak secara langsung membicarakan ihwal mekanisme pemilihan kepala daerah. Sekalipun begitu, terdapat prinsip hukum yang mengarah pada kewajiban kepala daerah harus dipilih secara langsung. Prinsip tersebut secara teoritis akan membantu menciptakan keadaan hukum yang baik dan berlandaskan etis (Herdiansyah, 2024).
Setidaknya ada empat prinsip hukum dalam putusan MK 85/PUU-XX/2022 yang mengharuskan kepala daerah dipilih langsung. Pertama, penyelenggara pemilu dan pemilihan kepala daerah adalah lembaga yang sama, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. Kedua, pemilu dan pemilihan kepala daerah sama-sama harus langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 22E UUD 1945. Ketiga, sama-sama diusung partai politik. Keempat, jika ada perselisihan hasil suara, maka penyelesaiannya harus di MK. Singkatnya, secara konstitusional, sekarang terjadi peleburan rezim antara konsep pemilu dan pemilihan kepala daerah. Artinya, tidak terbantahkan pemilihan kepala daerah secara hukum pula harus dipilih secara langsung. Mengingkari cara berhukum demikian sama saja mengarahkan kehidupan politik menjadi tanpa batas. Padahal, pembatasan sedemikian penting untuk mencegah perilaku zalim.
Kuasa Elite
Harus dilihat secara detail, pandangan menggeser mekanisme pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi via DPRD tidak hidup dalam ruang hampa. Ia berkelindan dengan aspek lain, khususnya dengan upaya penihilan peranan publik, dan saat yang sama menguatkan peranan negara. Politik legisprudensi yang oleh Wirataman (2020) dimaknai sebagai pembentukan hukum secara lebih terbuka dan melibatkan publik menjadi sulit dijangkau. Dia dipoles rapi secara formalisme, dengan dan atas nama hukum.
Pengalaman masa lalu menunjukkan, tiadanya politik legisprudensi dalam pembuatan kebijakan publik. UU Kementerian Negara barangkali adalah contoh dekat yang bisa diambil. Masih meminjam Wirataman (2023), pembuatan kebijakan hukum tanpa melibatkan penalaran publik secara lebih meluas semakin meneguhkan konsep hukum dipandang sebagai pembenar dari akumulasi keuntungan. Keadaan demikian terjadi jika ruang oposisi di lembaga negara tidak terbuka.
Sama seperti pemerintah sebelumnya, ruang oposisi pada pemerintahan dan lembaga sekarang nyaris tidak ditemukan. Tidak heran, ada sambutan baik oleh banyak elite sehubungan dengan pemilihan kepala daerah dipilih melalui DPRD.
Mekanisme pemilihan kepala daerah akan mengurangi partisipasi politik tingkat lokal. Masyarakat lokal tidak bisa menagih janji politik. Berbeda dengan pemilihan langsung, di mana calon kepala daerah dapat mengumbar janji politik –meskipun terkesan manis di bibir. Paling tidak, ketika para calon kepala daerah mengumbar janji, masih tersedia ruang secara lebih lebar bagi masyarakat lokal untuk menagih. Sebab, biasanya masyarakat memilih para calon berdasar janji.
Pada saat yang sama, peranan elite politik semakin besar. Mereka bebas menentukan siapa yang dianggap layak. Keadaan demikian malahan bisa melahirkan apa yang disebut Ambardi (2008) sebagai politik kartel, di mana terdapat keadaan "politik keroyokan" untuk meraup keuntungan secara curang. Artinya, manipulasi berbungkus musyawarah/mufakat berpotensi besar menemui jalan lancar.
Akhirnya, isu pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah ide yang harus ditolak. Alasan besarnya ongkos politik, besarnya peredaran politik uang, bukan menjadi alasan untuk memuluskan jalan ini. Jangan-jangan, kita selama ini keliru mengidentifikasi masalah fundamental, sehingga salah pula memberikan resep obat.Miftah Faried Hadinatha pengajar Fakultas Syariah UIN Samarinda; peneliti Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi, dan Masyarakat
Simak juga video Ahok Tolak Usulan Kepala Daerah Dipilih oleh DPRD
[Gambas Video 20detik]