Menyambut dan Menanti Aksi Prabowokrasi
KEBERHASILAN gerbong politik Prabowo Subianto melakukan “merger” dengan gerbong politik Joko Widodo telah menghasilkan kemenangan satu putaran pada pemilihan presiden 2024 tempo hari.
Namun di sisi lain, juga menghasilkan struktur politik cukup gemuk yang nampaknya jauh melebihi terminologi “gemoy” yang sempat populer sebagai representasi simbolik Prabowo Subianto sepanjang Pilpres 2024.
Kondisi makropolitik demikian nampaknya memaksa Prabowo menemukan narasi politik superinklusif baru dalam membangun rancang bangun pemerintahan pascapelantikan.
Pasalnya, kondisi makropolitik sebagaimana disebutkan di atas berpadu dengan karakter dan watak politik Prabowo yang akomodatif di satu sisi dan senang bersahabat di sisi lain.
Dalam konteks kehidupan personal sehari-hari tentu kedua karakter tersebut sangat baik dan sangat perlu untuk terus dikembangkan oleh Prabowo.
Karakter tersebut memang telah berhasil menjadi salah satu gaya politik Prabowo yang membuatnya akhirnya bisa diterima oleh banyak pihak selama ini.
Dengan gaya yang sama, Prabowo berhasil menjadikan hampir semua pihak di negeri ini sebagai “sahabat politik”-nya, termasuk partai-partai politik yang pada pemilihan tempo hari sempat menjadi lawan politiknya.
Dalam logika politik umum, kebersamaan adalah keindahan. Kebersamaan akan menjamin keberlanjutan di satu sisi dan stabilitas politik di sisi lain, karena “saham politik” di dalam pemerintahan yang terbentuk dimiliki secara bersama, atau setidaknya dimiliki oleh mayoritas elite di negeri ini.
Dengan demikian, ruang dan kesempatan untuk lahirnya perlawanan dan oposisi menjadi sangat sempit dan kecil.
Pun dalam logika umum ekonomi, kebersamaan yang melahirkan stabilitas politik sangat dibutuhkan di dalam pembangunan ekonomi.
Pemerintah akan kesulitan untuk menjalankan berbagai program dan kebijakan jika saban hari tekanan dari oposisi dan masyarakat yang tidak mendukung pemerintah berubah menjadi demonstrasi-demonstrasi atau kritikan-kritikan keras di ruang publik, yang membuat berbagai kebijakan berpotensi kehilangan legitimasinya.
Namun, dalam logika umum dan sederhana pula bisa dikatakan bahwa pemerintah yang tidak memiliki kontrol politik dan mekanisme check and balances yang baik, terbukti hanya melahirkan model pemerintahan yang “benar sendiri”.
Dikhawatirkannya, ketika sebuah kebijakan gagal di-deliver, pemerintah tersebut bisa saja dengan santai tak berkehendak untuk segera memperbaiki.
Misal saja berbagai kejanggalan terkait kebijakan pemerintah selama ini, mulai dari hilirisasi sampai food estate yang masih banyak kontroversi, justru dipoles secantik mungkin, yang membuat narasi akhirnya malah sangat bertentangan dengan realitas.
Dan narasi tersebut bergulir mulus di ruang publik tanpa “counterbalance” memadai, sehingga melenakan golongan masyarakat yang “kurang kritis” di negeri ini.
Dengan kata lain, di sini saya ingin mengatakan bahwa semua yang disampaikan oleh Prabowo tentang visi, misi, dan mimpi Indonesia di masa depan adalah narasi sangat indah dan memang sangat kita impi-impikan selama ini.
Kita semua menginginkan kemiskinan “enyah” dari negeri ini, keadilan bisa dinikmati oleh semua rakyat Indonesia, baik keadilan ekonomi, sosial, politik, dan hukum, dan korupsi hengkang sejauh-jauhnya.
Kita juga menginginkan negeri yang subur ini menghasilkan berbagai jenis bahan pangan berlimpah, sehingga kebijakan impor pangan enyah dari daftar kebijakan perdagangan kita.
Pun kita menginginkan anak-anak dan cucu-cucu kita menjadi SDM-SDM andal di masa produktifnya, karena ditopang oleh sistem pendidikan dan layanan kesehatan andal, sehingga layak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kapabilitas dan skill mereka.
Di sisi lain, pekerjaan yang mereka impi-impikan pun tersedia secara masif sekaligus aksesibel. Ketersediaan SDM andal bertemu dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang pantas. Dan seterusnya dan seterusnya.
Namun, apakah model kepemimpinan yang sedang diperankan Prabowo di satu sisi dan gaya pemerintahan yang beliau perkenalkan di sisi lain, bisa menjawab semua mimpi dan visi tersebut?
Apakah dengan mengajak semua pihak ke dalam pemerintahan adalah jalan yang masuk akal secara ekonomi politik di satu sisi dan efektif secara manajerial di sisi lain, jika dikaitkan dengan mimpi-mimpi tersebut?
Sayangnya, dalam hemat saya, dari sisi politik dan ekonomi, gaya tersebut justru kurang baik untuk kehidupan kenegaraan. Namun demikian, pemerintahan Prabowo baru saja dimulai dan kita menantikan program-program kerja mereka bisa dijalankan.
Sepuluh tahun masa pemerintahan Jokowi telah menjadi bukti nyata bahwa memiliki mimpi yang indah tidak cukup sebagai modal untuk mewujudkan mimpi tersebut ke dalam kenyataan, jika tak diperlengkapi dengan itikad, tekad, sikap, langkah, strategi, dan kebijakan yang tepat.
Lihat saja, angka pertumbuhan ekonomi 7 persen yang tertulis indah di dalam dokumen visi misi Jokowi, tak sekali pun tercapai di dalam sepuluh tahun masa pemerintahannya.
Padahal Jokowi sudah melakukan intervensi "jor-joran" ke dalam kehidupan perekonomian, mulai dari infrastruktur, hilirisasi, sampai pada berbagai aksi nasionalisasi saham-saham perusahaan multinasional.
Yang terjadi justru persis seperti semua isi pidato Prabowo Subianto di saat pelantikan Presiden Republik Indonesia ke delapan tempo hari, di mana Prabowo masih "gregetan" melihat masih banyak orang miskin di negeri ini dan masih banyak anak muda yang tidak mendapatkan pekerjaan layak.
Pun masih banyak kebocoran anggaran dan masih banyak sumber daya alam (SDA) kita yang justru menguntungkan pihak asing.
Mengapa perbandingan ini penting? Karena sepuluh tahun ke belakang semestinya menjadi cermin bagi Prabowo untuk melakukan hal berbeda, sehingga menghasilkan buah yang jauh lebih baik.
Masalahnya, model kepemimpinan akomodatif ala Prabowo bisa saja akan berhadapan dengan berbagai kendala, misalnya mengalami kesulitan untuk menghasilkan kinerja efektif dan efisien. Pasalnya, terlalu banyak kepentingan ekonomi politik yang dibawa oleh para elite yang bergabung ke dalam pemerintah.
Sementara elite-elite tersebut, tidak pernah mampu memberikan jaminan kepada publik bahwa apa yang mereka perjuangkan di dalam kekuasaan adalah untuk rakyat banyak, bukan untuk diri dan kelompoknya sendiri.
Walhasil, pemerintahan yang sangat besar berpotensi mengonsumsi sumber daya yang juga sangat besar, sehingga memperkecil alokasi sumber daya untuk kepentingan publik.
Secara manajerial pun, pemerintahan yang besar sangat rentan dengan potensi koruptif, karena kekuasaan pemerintahan melebar dibanding waktu sebelumnya.
Logikanya, sebagaimana sama-sama telah kita ketahui adigiumnya bahwa kekuasaan berkecenderungan untuk “korup” dan kekuasaan absolut berkecenderungan untuk korup secara absolut pula.
Apalagi jika kita kaitkan dengan pernyataan Steve Jobs ini If you want to make everybody happy, don’t be a leader. Sell ice cream”.
Bahwa sikap menyenangkan semua orang lebih cocok sebagai gaya penjual es krim, yang memang memiliki tujuan untuk menyenangkan semua orang agar dagangan es krimnya laris manis.
Pasalnya, untuk mencapai mimpi dan tujuan yang termaktub ke dalam visi dan mimpi seorang pemimpin, beliau diharuskan untuk bekerja efektif di satu sisi dan bekerja dengan orang-orang yang menurutnya bisa bekerja secara efektif pula dengan sang pemimpin, bukan bekerja dengan semua pihak yang mendukungnya.
Karena, jika sudah masuk ke dalam ranah kepemimpinan politik dan kepemimpinan nasional (kehidupan kenegaraan), gaya dan model sikap superakomodatif justru berpotensi menyebabkan model relasi kuasa di Indonesia menjadi semakin kurang produktif, baik jika dikaitkan dengan pembangunan ekonomi maupun dengan proses demokratisasi yang telah berlangsung baik sejak era reformasi dimulai.
Proses pembangunan akan terkait dengan kepentingan ekonomi politik banyak pihak yang ada di dalam pemerintahan, sehingga semakin sulit untuk mewujudkan kepentingan rakyat secara utuh, karena tersangkut di tengah, yakni pada kepentingan-kepentingan elite yang berada di dalam koalisi besar tersebut.
Apalagi, sebagaimana diketahui, korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang menjadi salah satu penyakit akut rezim Orde Baru, justru berakar dari relasi kuasa yang tidak berbatas (superakomodatif) seperti itu di mana keluarga dan sahabat saling bergandengan tangan dalam merebut segala keuntungan dan benefit dari kekuasaan yang ada.
Sehingga akhirnya justru menciptakan tatanan yang sangat kolusif sekaligus koruptif, yang akhirnya membuat kehidupan politik menjadi sangat “elite centric” di satu sisi dan distribusi kue ekonomi nasional akan menjadi sangat timpang di sisi lain.
Keuntungan dan benefit ekonomi hanya akan mengalir terlebih dahulu kepada lapisan-lapisan elite (baik ekonomi maupun politik) yang paling dekat kepada kekuasaan, bukannya kepada rakyat banyak.
Ujungnya tentu sudah bisa ditebak, di mana secara politik yang berkuasa akan semakin berkuasa.
Lalu secara ekonomi yang kaya dan dekat dengan kekuasaan akan menjadi semakin kaya, jejaring oligarki akan semakin kokoh, karena menjadi “ring” pertama yang akan mendapatkan segala keuntungan ekonomi dari negara.
Dalam segala bentuk dan penampakan tentunya, mulai dari konsesi, insentif, kemudahan regulasi, keberpihakan kebijakan, keringanan pajak, prioritas pembiayaan, sampai kepada prioritas pengerjaan proyek dan penggunaan alokasi anggaran untuk program tertentu.
Pendek kata, di sini saya ingin mengatakan bahwa betapa membahagiakannya mendengar visi, misi, dan mimpi-mimpi Presiden Prabowo Subianto tentang Indonesia di masa depan.
Sejujurnya, itulah yang dimimpi-mimpikan oleh seluruh rakyat Indonesia selama ini, setelah sekian puluh tahun Indonesia merdeka.
Namun langkah, sikap, dan arah yang diambil Prabowo masih membutuhkan batu ujian lebih lanjut untuk membuktikan apakah kita akan sampai ke sana, karena faktor-faktor dan relasi yang telah saya jelaskan di atas. Semoga saja tidak demikian.