Menyambut Pidato Presiden Prabowo tentang Pilkada

Menyambut Pidato Presiden Prabowo tentang Pilkada

PIDATO Presiden Prabowo Subianto diacara Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Golkar mendapatkan respons dari masyarakat.

Presiden Prabowo Subianto mengusulkan adanya perubahan sistem politik di Indonesia dengan mengusulkan agar kepala daerah, mulai dari gubernur, wali kota, hingga bupati dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Alasan yang mendasar presiden mengusulkan Pilkada lewat DPRD, karena biaya pemilihan kepala daerah (gubernur, wali kota/bupati) memakan biaya yang cukup mahal.

Pro-Kontra mengenai Pilkada langsung atau tidak langsung telah menjadi rutinitas politik setiap periode pemilihan kepala daerah. Seperti pernyataan Presiden ini menjadi bagian dari refleksi kebangsaan yang penting dan mendesak.

Untuk itu, perlu ada pengkajian komprehensif mengenai arah kebijakan pemilihan kepala daerah yang ideal bagi sistem Indonesia. Meskipun demikian, pemilihan umum lewat DPRD merupakan bagian dari sistem politik perwakilan.

Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. UU tersebut mengamanatkan pemilihan kepala Daerah dilakukan oleh DPRD.

Dengan pertimbangan antara lain penghematan nasional dan sekaligus menghindari politik uang.

Namun, SBY harus mengubah keinginannya setelah mendapatkan desakan publik untuk segera mengeluarkan Perppu membatalkan UU No. 22 Tahun 2014. Akhirnya, SBY menerbitkan dua Perppu yang membuka kembali pemilihan kepala daerah langsung.

Pembatalan itu hanya karena desakan dari sejumlah pengamat dan lembaga survei. Lebih ironis lagi, DPR menyetujui Perppu yang diajukan SBY tersebut. Padahal, tidak ada perintah konstitusi agar DPR menerima begitu saja Perppu.

DPR juga setengah hati karena waktu itu PDIP telah memenangkan Pemilu dan Joko Widodo terpilih sebagai Presiden. Akibatnya desakan masyarakat melemahkan DPR sehingga membatalkan UU yang telah disetujui bersama dengan pemerintah.

Secara konstitusional untuk melaksanakan Pilkada secara langsung tidak ada perintah langsung dalam konstitusi. UUD 1945 hanya menyebutkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis.

Demokratis itu artinya bisa secara langsung, bisa juga melalui DPRD. Bahkan kalau kita ambil contoh di Daerah Istimewa seperti Yogyakarta, gubernur diangkat melalui garis keturunan dan berlaku dalam sistem negara Indonesia.

Atau kita lihat contoh di DKI Jakarta, wali kota dan bupati diangkat oleh gubernur berdasarkan pangkat eselon.

Sementara di Papua diberikan kekhususan bagi Orang Asli Papua untuk menjadi gubernur, wali kota dan bupati. Sistem pemilihan pun menggunakan sistem noken.

Polemik tentang Pilkada langsung berlanjut tahun 2019. Pada saat itu, muncul lagi wacana untuk mengkaji ulang Pilkada, alasannya karena berbiaya tinggi.

Pilkada lewat DPRD yang diusulkan oleh Mendagri mendapatkan respons beragam. Sejumlah media segera menyebutkan kekurangan Pilkada tidak langsung, bahkan ada yang menyebutnya sebagai awal dari kemunduran demokrasi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya Pilkada langsung memakan anggaran negara yang cukup besar. Pada 2024, Pilkada memakan biaya Rp 37 triliun, angka yang begitu fantastis.

Selain memakan biaya negara yang besar, Pilkada langsung adalah kontestasi yang cukup mahal. Pada kandidat setidaknya menyediakan biaya politik Rp 30 miliar – Rp 50 miliar.

Calon dengan keuangan yang gendut punya peluang lebih besar memenangi Pilkada. Di sinilah peran bandar politik (oligarki) untuk membiayai Pilkada. Siapa yang punya bandar tentu akan berpeluang menjadi pemenang.

Potensi politik uang bukan hanya terjadi di tingkat pemilihan langsung, pemilihan tidak langsung juga bisa menimbulkan dampak politik uang.

Meskipun keduanya rentan dengan politik uang, Pilkada langsung memakan anggaran negara yang besar dan sulit diawasi perilaku politik uang.

Sementara Pilkada tidak langsung, penggunaan anggaran negara sangat minim, dan potensi politik uang dapat dengan mudah diawasi.

Selain itu, secara faktual, hasil dari pemilihan kepada daerah langsung telah banyak membuat kepala daerah terjerat kasus korupsi seperti suap yang melibatkan pemerintah daerah dan pengusaha yang ingin mendapatkan proyek APBD. Semua itu terjadi karena biaya politik yang begitu mahal.

Dengan menggunakan alasan bahwa sistem Pilkada langsung yang mahal, Presiden Prabowo menganggap bahwa pemilihan melalui "Permusyawaratan Perwakilan" alias Pilkada melalui DPRD akan mengurangi anggaran dan ongkos politik yang mahal tersebut.

Lebih jauh lagi, bukan hanya biaya penyelenggaraan Pilkada yang mahal, tetapi ongkos politik juga sangat mahal. Dampaknya, kepala daerah terpilih akan lebih pragmatis.

Pilkada langsung juga akan menciptakan keretakan kohesi sosial di masyarakat dan tidak jarang terjadi perpecahan dan polarisasi masyarakat yang cukup berbahaya bagi keamanan dan ketertiban.

Pemilihan kepala daerah langsung seyogianya perlu dievaluasi secara menyeluruh. Selain tidak mencerminkan semangat demokrasi Pancasila sebagaimana yang tertuang dalam sila keempat Pancasila, Pilkada tidak memiliki pijakan konstitusional yang cukup.

Kalau kita baca ketentuan UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis".

Kata demokratis dalam UUD tersebut mengisyaratkan pemilihan kepala daerah tidak harus langsung oleh rakyat. Pemilihan kepala daerah dapat dilaksanakan dengan cara permusyawaratan perwakilan.

Demokratis artinya bisa langsung, bisa tidak langsung atau melalui DPRD. Konstitusi tidak mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah dipilih oleh rakyat. Dengan demikian, pemilihan bisa dilakukan di DPRD.

Pemilihan kepala daerah langsung sudah dirasakan oleh kita bersama, memerlukan biaya besar, mulai dari mencari dukungan partai, hingga konsolidasi politik yang memerlukan dana besar.

Keadaan ini melibatkan cukong-cukong sebagai bandar. Hal itu bisa berkembang lebih luas, yaitu menghasilkan pemerintahan korup.

Maka, untuk menghalau oligarki menunggang demokrasi dan supaya biaya politik yang tidak terlalu mahal, maka pemilihan dikembalikan ke DPRD.

Pemilihan kepala daerah di DPRD meski potensi korupsinya tetap ada, tetapi bisa langsung diawasi oleh penegak hukum. Lebih sulit mengawasi rakyat yang menerima pembagian sembako dari para calon atau politik uang yang begitu marak.

Tafsiran tentang Pilkada memang belum selesai sepenuhnya. Pasal 18 ayat (4) menyebutkan, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing dipilih secara demokratis".

Kata demokratis ini ditafsirkan dalam dua bentuk. Pertama, demokratis, yaitu pemilihan langsung oleh rakyat dan kedua, demokratis dipilih oleh DPRD.

Poin kedua yang sering dipakai untuk memperkuat argumentasi adalah Sila ke-empat Pancasila, yaitu "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".

Demokrasi Perwakilan adalah demokrasi yang dikehendaki oleh pendiri bangsa ini. Wakil-wakil rakyat menentukan siapa yang memilih pemimpin eksekutif.

Rakyat pada dasarnya, kata Robert Michael, tidak mengenal sama sekali siapa kandidat yang mereka pilih, bagaimana rekam jejaknya, seperti apa pergaulannya dan apa prestasinya.

Apabila rakyat yang berbentuk massa ikut terlibat langsung dalam demokrasi, maka yang akan terjadi “demokrasi massa”. Demokrasi Massa bagi Michael lebih dekat pada kesalapahaman dan anarkisme.

Pendiri bangsa tidak menghendaki demokrasi massa itu. Mereka menginginkan demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil rakyat duduk bersama secara musyawarah dan mufakat untuk menentukan siapa calon yang akan mereka pilih.

Wakil-wakil ini lebih dekat dengan kandidat eksekutif karena mereka lebih mengerti dan lebih mudah mendapatkan akses untuk mengenal siapa yang pantas untuk memimpin negara atau daerah.

Inilah demokrasi yang hendak dituju, yaitu demokrasi memilih wakil-wakil rakyat oleh rakyat, dan memilih pemimpin oleh wakil-wakil rakyat untuk memimpin bangsa dan negara.

Maka dalam falsafah demokrasi Indonesia yang kita dapat baca dalam Pancasila, yaitu “permusyawaran Perwakilan”.

Sementara itu, demokrasi langsung, dengan menggunakan sistem threshold, sangat oligarkis dan cenderung mempermudah oligarki mengatur kandidasi.

Angka threshold, baik dalam Pilkada maupun Pilpres menjadi pintu seleksi paling mahal dalam demokrasi.

Setelah partai politik menawarkan orang-orang yang “berduit” membayar, maka mereka inilah yang akan tampil menjadi kandidat, tidak peduli seperti apa rekam jejaknya.

Mengkaji ulang Pilkada yang konstitusional dan cocok dengan karakter bangsa Indonesia sangat penting.

Karena itu, pidato Presiden Prabowo untuk mengkaji ulang Pilkada langsung perlu diapresiasi dan didukung sebagai langkah perbaikan bagi sistem demokrasi politik Indonesia kedepan.

Sumber