Menyiapkan Pangan Biru untuk Ketahanan Pangan
Ada dua hal yang semakin sulit dikendalikan dalam konteks global alam dan perdamaian. Keduanya kini memunculkan dampak yang semakin nyata meluasnya rawan pangan. Bagaimana masa depan kita selanjutnya?
Pergantian tahun baru saja memasuki beberapa lembar hari. Di satu sisi, kita memasukinya dengan penuh rasa syukur dan pengharapan yang besar untuk semua hal yang lebih baik. Di sisi lain, semua persoalan di tahun-tahun terdahulu sudah mengejar dalam wujud dampak yang tak sederhana.
Secara global, misalnya, ada laporan dari Global Report on Food Crises (GRFC) 2024 yang memprediksi kelaparan akut dan kekurangan gizi tahun lalu, bisa saja berlanjut secara mengkhawatirkan dalam beberapa tahun kedepan.
GRFC 2024 dalam laporannya menganalisis proyeksi pada 41 dari 59 negara/wilayah per Maret 2024. Analisa itu menyimpulkan bahwa 208,3 juta orang dari populasi yang dianalisis mengalami kerawanan pangan akut tingkat tinggi tahun lalu, dengan konflik bersenjata skala penuh sebagai pemicu utamanya.
Lebih dari 50% orang yang diproyeksikan mengalami kerawanan pangan akut tingkat tinggi 2024 berada di Kongo, Nigeria, Sudan, Ethiopia, Yaman, dan Myanmar.
Di Asia, sepertiga dari total populasi yang di analisis di lima negara pada 2023 mengalami rawan pangan akut disebabkan karena beberapa faktor, yaitu krisis ekonomi berkelanjutan yang memicu pengangguran dan harga pangan yang mahal, meningkatkan ketidakamanan dan pengungsian, serta bencana alam dan cuaca ekstrem. Kondisi memprihatinkan ini utamanya melanda Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka dan Myanmar. Pangan Biru
Indonesia merupakan daerah pintu masuk El Nino, yang kehadirannya dapat berdampak pada kekeringan dan mengancam pasokan beras, gandum, minyak kelapa sawit. Inipun terjadi pada negara-negara penghasil dan pengimpor hasil pertanian di seluruh dunia.
Di sisi lain, ada pula La Nina yang bisa berdampak kekeringan hebat serta potensi gagal panen pada sektor pertanian, terutama padi. Namun demikian, La Nina juga mengubah ekosistem laut dan bermanfaat bagi perikanan.
Samudera Pasifik di bagian tengah dan timur menjadi jauh lebih dingin dari biasanya. Kondisi ini membuat biota laut berenang mendekat ke permukaan sehingga lebih berlimpah dan lebih mudah ditangkap.
Bicara perikanan, Indonesia sesungguhnya banyak sekali kemajuan menggembirakan, termasuk peluangnya ikut menopang ketahanan pangan, seiring wacana blue food atau pangan biru yang menjadi isu dalam mengatasi tantangan ketahanan pangan dunia. Blue food atau ‘makanan biru’ adalah istilah yang merujuk pada makanan yang diperoleh dari laut, sungai, dan danau, termasuk juga makanan laut yang liar maupun yang dibudidayakan.
Di Tanah Air, konsep pangan biru terus hangat dibicarakan karena beberapa aspek positif, yaitu diantaranya peluang sebagai pangan berkelanjutan, rendah emisi karbon, protein tinggi, serta kans (kesempatan) Indonesia sendiri sebagai produsen perikanan terbesar di dunia. Semua aspek ini berkaitan erat dengan Life Below Water yang ingin dicapai oleh Sustainable Development Goals (SDGs) ke-14.
Jika melihat data global sampai 2035, populasi penduduk meningkat hingga 16%, sementara kebutuhan protein juga naik hingga 49%. Tahun 2035, populasi Indonesia diprediksi meningkat 14%, demikian juga kebutuhan protein naik menjadi 56%.
Ironisnya, sektor protein kita pun 70% masih bergantung pada impor. Lalu sumber protein apa sebenarnya yang tidak tergantung pada impor? Jawabannya ikan. Inilah yang menjadi alasan bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan RI untuk konsisten memperluas kawasan konservasi laut menjadi 97,5 hektare secara bertahap pada 2045. Pasalnya, semakin luas ruang konservasi laut kita, penyerapan karbon akan semakin besar, juga meningkatkan produksi oksigen.
Tak kalah pentingnya juga melestarikan spawning ground, nursery ground, dan feeding ground untuk menjaga keberlanjutan stok ikan bernilai ekonomi tinggi. Hasil konservasi yang telah dicapai, seperti peningkatan stok ikan hingga 15% di beberapa kawasan perlindungan laut, menunjukkan efektivitas langkah ini. Pada bagian lain, hasil penelitian ilmuwan Jepang dan Norwegia di perairan kita pun menunjukkan laut bagian Selatan di Jawa Barat, terutama di kedalaman 1.000 meter punya potensi beberapa jenis ikan yang bisa digunakan untuk kepentingan farmasi. Hal ini membuat Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono optimistis Indonesia bisa menjadi bagian dari global supply chain untuk sektor kesehatan. Sifat biota laut yang unik yaitu renewable resources (memiliki kemampuan memperbaharui diri melalui kembang biak), membuatnya harus dikelola dengan cermat yaitu dengan keseimbangan prinsip ekologi dan ekonomi. Komitmen lainnya dalam ekologi, KKP menerapkan peraturan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), yaitu dengan menerbitkan Per Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
Aplikasi e-PIT kini telah membantu memantau lebih dari 7.000 kapal ikan di berbagai perairan nasional. Pada saat yang sama, KKP sedang terus berupaya mendorong program budidaya atau akuakultur yang merupakan upaya memproduksi biota akuatik secara terkontrol sekaligus menjaga kualitasnya. Ada beberapa komoditas unggulan yang terus dikembangkan secara budidaya berkelanjutan yaitu udang, lobster, kepiting, rumput laut dan ikan nila di sejumlah wilayah strategis. Komitmen budidaya ini terus dilakukan, termasuk membangun modeling Budidaya Ikan Nila Salin (BINS) di Karawang, Jawa Barat pada 2023 lalu. Modeling BINS yang di bangun di lahan seluas 84 hektare ini merupakan penggerak program revitalisasi tambak-tambak kurang produktif di wilayah Pantura, sehingga produktivitasnya meningkat.
Lahan seluas 84 hektare ini berhasil meningkatkan produktivitas tambak hingga 40% dibandingkan tambak tradisional. Lebih dari itu, program ini juga mendukung pengembangan ekonomi lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor pangan.
Program modeling ekonomi biru ini juga disiapkan sebagai pendukung program makan bergizi gratis.
Di sektor hilir, KKP terus membangun ekosistem industri perikanan, menghubungkan sektor hulu (penangkapan) dengan hilir (pengolahan dan pemasaran). Hal ini mencakup pembangunan infrastruktur rantai dingin, akses pembiayaan nelayan, dan program pelatihan untuk sumber daya manusia perikanan.
Langkah-langkah ini adalah upaya nyata untuk menjadikan pangan biru sebagai andalan ketahanan pangan nasional dan global. Dengan optimisme dan kerja sama lintas sektor, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam pengembangan pangan biru yang berkelanjutan. Mari mengarungi 2025 dengan optimis. Ombak selalu datang bergulung-gulung, tapi kita harus bisa memecah ombak untuk kemaslahatan semua lini, termasuk nelayan pesisir, juga membangun ketahanan pangan dan peningkatan gizi penduduk Indonesia secara menyeluruh.
Doni Ismanto Darwin, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan RI