Menyingkap Trauma Bocah Korban Kekerasan Seksual dan Dampaknya pada Keluarga

Menyingkap Trauma Bocah Korban Kekerasan Seksual dan Dampaknya pada Keluarga

KOMPAS.com - Di tengah suasana siang yang cerah di Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, seorang bocah perempuan berusia 10 tahun bernama A berjalan pulang dari sekolah dengan senyuman di wajahnya.

Setiba di rumah, dia langsung mengajak adiknya bermain. A terlihat sangat bahagia. Seolah tak ada lagi trauma yang tersisa setelah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kandungnya.

Sang ibu, M, memang tak henti berusaha menyembuhkan luka batin A, meski prosesnya tidaklah mudah, bahkan hingga sekarang.

Dari luar, A memang tampak seperti anak ceria yang gemar menggambar dan bermain. Namun, saat waktu tidur tiba, perilaku yang tak biasa mulai terlihat.

Ia mengungkap soal kebiasaan A yang ketagihan memainkan bagian sensitif tubuhnya sebelum tidur. Perilaku ini muncul sebagai dampak dari perlakuan ayahnya.

M tentu merasa perlu mengawasi setiap gerak-gerik A saat tidur. “Jika ingat itu, kadang saya nangis sendiri. Kasihan anak saya,” ujar M. 

Setiap kali terbayang masa depan A yang harus mengetahui bahwa ia pernah mengalami kekerasan seksual dari orang terdekat, M merasa sesak.

Tak hanya M, tetapi anggota keluarga lain pun merasakan dampak traumatis serupa.

Selain M, masih ada S, seorang ibu berusia 43 tahun, yang juga menghadapi rentetan musibah serupa.

Putri mereka, D, menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh tiga pelaku.

“Dampak peristiwa itu membuat saya dan suami terpukul. Bahkan suami saya depresi,” kata S dengan suara terisak, saat ditemui di sebuah warung makan.

“Syukurnya pihak sekolah membantu kami agar D ujian di rumah. Dan saat pengumuman, anak saya bisa lulus,” ujar S yang tak kuasa menahan air mata.

D kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Dia merasa malu dan juga tertekan.

Sebagai ibu, S mengaku mengerti betul kondisi buah hatinya. Meskipun dari luar D tampak baik-baik saja, dampak psikologis yang dialaminya sangat dalam, bahkan untuk keluarga.

“Saya adalah ibunya. Saya tidak mungkin berbohong tentang kondisi anak saya,” tegas S.

Keputusan untuk tidak berdamai dengan pelaku merupakan pilihan yang diambil demi masa depan D.

“Saya adalah ibunya. Saya tidak mungkin berbohong tentang kondisi anak saya,” ungkap dia.

Dari setiap cerita penuh kesedihan ini, penting untuk diingat bahwa trauma yang dialami oleh anak-anak seperti A dan D tidak hanya berdampak pada mereka, tetapi juga pada keluarga terdekat.

Untuk itu, peran serta masyarakat sangat diperlukan. Edukasi mengenai pentingnya melaporkan kekerasan kepada pihak berwenang harus digalakkan agar tiak ada lagi anak yang harus menanggung luka yang sama.

Aiptu Arifin Setioko dari Polres Sumbawa menekankan, ada banyak faktor yang menyebabkan korban enggan melapor, mulai dari tekanan sosial hingga ketergantungan ekonomi.

Menurut dia, keluarga dan masyarakat diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.

Dengan bersama-sama, kita dapat membantu mencegah kekerasan seksual dan melindungi anak-anak dari dampak yang berkepanjangan.

Sumber