Menyoal Polemik Rumah Makan Padang di Cirebon, dari Masalah Keaslian hingga Persaingan Bisnis

Menyoal Polemik Rumah Makan Padang di Cirebon, dari Masalah Keaslian hingga Persaingan Bisnis

KOMPAS.com - Video pencopotan tulisan bertuliskan “Masakan Padang” di warung makan yang menjual kuliner Minang dengan harga miring memicu perdebatan. Di satu sisi, asosiasi pengusaha khawatir nasi padang yang dijual murah akan menjatuhkan standar harga di pasaran sekaligus mengurangi keaslian kuliner Minangkabau.

Di sisi lain, seorang koki spesialis masakan Minang menekankan siapa saja boleh menjual masakan Padang selama halal. Adapun akademisi di Sumatra Barat mengatakan tidak pas apabila ada regulasi untuk standarisasi masakan Padang.

“Ko mambukak [ini dibuka] masakan Padang abal-abal. Karano nan manggaleh ndak urang Padang do [Yang berjualan bukan orang Padang]. Rumah makan Padang palsu!” ujar seseorang dalam rekaman video yang viral di media sosial baru-baru ini.

Dalam potongan rekaman video itu, sejumlah orang mengenakan baju dengan tulisan PRMPC – Perhimpunan Rumah Makan Padang Cirebon. Mereka terlihat melepas stiker bertuliskan “Masakan Padang” di Rumah Makan Padang Bintang Minang di Cirebon, Jawa Barat.

Warung makan itu juga membubuhkan tulisan promosi “Serba Rp 10.000”.

Berbagai laporan media menyebut muncul dugaan adanya “razia” terhadap rumah makan Padang yang dijual oleh pengusaha bukan dari Minangkabau.

Erlinus Thahar selaku Penasehat PRMPC mengaku dirinya menyesalkan semua pihak yang telah menarasikan video itu terkait hal yang berbau etnis”.

“Video itu di-shoot oleh salah satu teman kita dengan handphone pribadi yang bersangkutan, bukan sebagai dokumentasi resmi PRMPC. Video tersebut di-upload di medsos pribadi yang bersangkutan begitu saja tanpa memahami akibatnya,” ujar Erlinus ketika dimintai tanggapan oleh BBC News Indonesia pada Jumat (01/11).

Erlinus, yang juga muncul dalam video tersebut, menambahkan bahwa “seseorang lain di luar kami – netizen –memviralkan dengan framing yang vulgar.”

Erlinus menekankan pihaknya sama sekali tidak melarang orang-orang yang bukan berasal dari Minang untuk berjualan masakan dari Sumatera Barat.

DOK.SHUTTERSTOCK/Rezmita Anggriani Ilustrasi rumah makan prasmanan terdekat dari lokasi.Dia menyebut PRMPC hanya sekadar ingin meminta agar pihak penjual Bintang Minang untuk tidak menjual masakan Padang dengan harga di bawah standar.

“Tulisan serba Rp10.000 itu menurut kami para pengusaha rumah makan Padang sudah tidak masuk akal,” ujar Erlinus.

Selain soal peluang pasar dan keuntungan, Erlinus mengatakan penjualan dengan harga rendah di bawah standar dikhawatirkan “mengurangi keautentikan kuliner Minangkabau”.

“Kalkulasinya tidak hanya soal peluang pasar, keuntungan, dan omzet semata. Kita ingin bahwa pelaku usaha kuliner Minangkabau juga punya tanggung jawab menjaga keautentikan kuliner atau masakan Padang sebagai warisan budaya leluhur,” papar Erlinus.

“Sehingga, masakan atau kuliner Minang kembali kepada jati dirinya, dikenal dengan cita rasa yang tinggi. Bukan karena harga yang murah. Harga murah boleh, tapi harga bahan-bahan pokok dan bumbu yang semakin mahal dengan harga jual yang kita persoalkan itu… rasanya sulit menjaga keautentikannya.”

BBC News Indonesia telah berusaha mendapatkan tanggapan dari pemilik rumah makan Bintang Minang yang ada dalam video viral tersebut. Akan tetapi, yang bersangkutan tidak kunjung berada di rumah makan itu.

Ketika ditemui pada Kamis (31/10), karyawan rumah makan bernama Ibnu mengatakan pemilik usaha yang berasal dari sebuah kota di Jawa Tengah itu tidak berkenan diwawancarai.

Ibnu, 19, mengaku terkejut ketika didatangi sejumlah orang dari PRMPC tersebut. Walau begitu, dia dapat memakluminya karena kondisi perekonomian yang sedang lesu.

“Dunia perdagangan, [masyarakat] kelas menengah ke bawah memang lagi turun, ya? Jadi berdampak,” ujar Ibnu.

Menurut Ibnu, pemilik usaha Bintang Minang memang menyasar kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah dan tidak mengambil untung terlalu banyak.

“Modal yang saya tahu cuma Rp 6.000 [per porsi nasi ayam] [dijual] Rp 10.000. Kadang untung cuma Rp 1.000,” ujarnya.

Ibnu sendiri menepis bahwa ini adalah persoalan etnis. Akan tetapi, dia menyebut warung makan itu diberi dua pilihan tetap dengan harga Rp 10.000 atau menggunakan harga yang ditentukan.

“Kalau saya mah tetap Rp 10.000. Enggak apa-apa [tulisan] “Masakan Padang”-nya dicopot,” ujar Ibnu.

Ibnu mengatakan tulisan “Padang” sekarang diubah menjadi “PDG”

“Biar enggak ribut dan tambah panjang,” tambahnya.

Ketika dimintai tanggapan soal ini, Erlinus dari PRMPC mengatakan pihaknya tidak memberikan patokan harga seperti yang diklaim pihak Bintang Minang.

Erlinus menyebut pihaknya tidak dapat melarang pengusaha menjual dengan harga yang murah – pencopotan label “Masakan Padang” pun menjadi opsi yang dipilih setelah negosiasi.

DOK.SHUTTERSTOCK/Ariyani Tedjo Ilustrasi aneka masakan padang.Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Keluarga Minang (IKM), Nefri Hendri, menekankan apa yang terjadi di Cirebon sebetulnya sudah terjadi sejak lama.

Sama seperti Erlinus, Nefri menepis bahwa ini adalah persoalan etnis. Dia juga menyanggah adanya “razia” seperti diberitakan beberapa media. Siapa pun, sambung Nefri, diperbolehkan untuk menjual masakan Padang selama itu halal.

“[Penjual rumah makan] sudah diundang. [Persoalan itu] sudah dimusyawarahkan supaya jangan menjatuhkan harga dan menjaga citra rasa masakan Minang,” ujar Nefri pada Kamis (31/10).

Di sisi lain, Nefri juga mengakui terkadang sesama pedagang masakan Padang terkadang tidak ingin berbaur.

“Contohnya dia orang Jawa, atau di luar Minang, terus tidak mau berbaur dengan persatuan rumah makan masakan Padang,” ujar Nefri.

Nefri sendiri menyebut pihak IKM lebih menekankan ciri khas Minang dalam konteks rumah makan Padang. Dia mencontohkan kontroversi “rendang babi” beberapa waktu silam yang bertentangan dengan kuliner Sumatra Barat yang halal.

Menanggapi polemik di Cirebon, Nefri mengaku pihaknya lebih menyesalkan rasa dari “Masakan Padang Murah” yang, menurut dia, “bukan autentik rasa Minang”.

Selain itu, imbuhnya, kata-kata “Padang murah” juga mengesankan rumah makan tersebut “murah dan murahan”.

“Yang parahnya serba murah ini, mereka menjual asal-asalan gitu lo. Nanti menjatuhkan citra Minang,” ujarnya.

Nefri sendiri mengatakan pihaknya saat ini tengah menyiapkan label lisensi “autentik” bagi rumah-rumah makan Padang di seluruh Indonesia yang “asli masakan Minang.”

“Kita tempel seluruh Indonesia,” ujarnya.

Menanggapi ini, seorang koki spesialis masakan Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat, Dian Anugrah, menggarisbawahi banyak sekali orang Minang yang menjual masakan Padang dengan harga miring – termasuk di Padang sekalipun.

“Keluarga jauh saya jual Rp 12.000. Karena memang pangsa pasarnya sanggup dengan harga itu,” ujar Dian.

Dian juga menyebut pemberian lisensi rumah makan Padang yang disebut Nefri Hendri dari IKM juga belum tentu menjamin kualitas masakan yang dijual.

“Tidak mudah untuk memberikan sebuah standarisasi masakan Padang yang baik dan benar ataupun autentik. Banyak orang Minang karena keturunan. Tapi belum tentu mengusung nilai adat budaya Minangkabau sejati,” tegasnya.

“Label itu hanya sekadar menandai bahwa ini orang Minang yang jualan dan mereka berusaha untuk memberikan rasa yang autentik.”

Dok. SHUTTERSTOCK Ilustrasi rendang.Sejarawan kuliner dari Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, mengatakan menjamurnya rumah makan Padang – baik yang dijual orang Minang maupun non-Minang – merupakan konsekuensi dari tradisi merantau orang Minang,

“Ini adalah konsekuensi logis dari sejarah dan budaya yang berlangsung sejak lama,” ujar Fadly pada Kamis (31/10).

Fadly mengamati beberapa wilayah seperti di Yogyakarta dan Solo, Jawa Tengah. Di kedua wilayah ini, menurutnya, warga setempat menjalankan usaha rumah makan Padang karena pernah berinteraksi atau bekerja sama dengan orang-orang Padang.

Dia menyamakan ini dengan maraknya restoran yang menjual masakan Tionghoa meski yang menjalankan belum tentu orang beretnis Tionghoa.

Terpisah, Koki Dian juga menyayangkan polemik rumah makan Padang murah di Cirebon sudah terlanjur menjadi isu etnis. Menurut Dian, siapa saja boleh menjual masakan Padang selama halal.

“RM Bahagia di Padang yang masakannya juga lezat dimiliki oleh saudara Tionghoa Padang. Ada juga RM Pagi Sore Padang di daerah Pondok, Kota Padang yang dimiliki oleh Alm Bapak H Benny Pusaka seorang Tionghoa Padang. Di level nasional, ada Ko Marco seorang Tionghoa Kota Padang dengan nama [restoran] Marco Padang,” paparnya.

Sementara itu, guru besar ilmu sejarah dari Universitas Andalas di Padang, Sumatra Barat, Gusti Asnan, mengatakan tidak pas apabila ada regulasi untuk standarisasi masakan Padang.

“Intinya makanan Padang itu adalah adanya kebebasan. Kebebasan berkreasi, kebebasan menentukan harga, banyak sedikit nasinya, banyak sedikit sambalnya,” ujar Gusti.

Sejarawan dan budayawan Minang itu menyebut unsur “pemaksaan” seperti yang dikesankan dari video Cirebon yang viral itu adalah fenomena yang baru.

Gusti merujuk buku karya Hasril Chaniago berjudul "Kisah Hidup Haji Bustamam, Pendiri Restoran Sederhana". Dalam buku itu, imbuh Gusti, disebutkan bahwa kecenderungan para penjual usaha rumah makan Padang dalam menghadapi pesaing yang tidak disukai adalah melalui cara-cara tidak rasional seperti ilmu hitam – dan bukannya “tindakan anarkis”.

“Saya pikir fenomena di Cirebon itu adalah refleksi kekacauan negara kita sekarang. Mudah-mudahan ini yang pertama dan terakhir,” ujarnya.

Sementar Ketua Umum Yayasan Gerakan Ekonomi dan Budaya Minang Jawa Timur, Yousri Nur Raja Agam, mengatakan tindakan memprotes paket murah di Cirebon itu “tidak mencerminkan budaya orang Minang”.

Yousri mengingatkan sejarah RM Padang Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) yang menjual masakan Padang dengan harga “murah meriah” yang berawal saat demonstrasi mahasiswa pada awal Orde Baru.

“Saat itu banyak penyumbang nasi bungkus yang dibeli dari warung Padang untuk para demonstran mahasiswa dan pelajaran,” ujarnya.

SHUTTERSTOCK/Pradipta Ary Pamungkas aneka makanan padang. Fadly menilai kasus di Cirebon sebetulnya lebih merupakan faktor persaingan usaha serta lesunya perekonomian saat ini yang menurunkan daya beli masyarakat pada umumnya.

Seperti diberitakan BBC News Indonesia pada awal Oktober, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12% pada September 2024.

Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 dan menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Fadly berpendapat, hal ini kemudian direspons oleh para pelaku usaha kuliner dengan menjual dengan harga menu yang lebih terjangkau. Itu, sambung dia, merupakan logika pasar yang sebenarnya sangat wajar.

“Ini persoalan bisnis. Kebetulan saja media sosial mem-viralkan kejadian yang sebelumnya tidak pernah terjadi para pelaku usaha kuliner Minang dengan harga yang lebih murah ini seolah-olah menjadi saingan bagi para pelaku usaha yang lain,” ujarnya.

Fadly sendiri menyebut insiden di Cirebon itu dapat merusak citra RM Padang secara keseluruhan. Dia menyetujui adanya regulasi untuk menghindari hal serupa terjadi – misalnya dengan menentukan aturan yang lebih jelas tentang kisaran harga RM Padang sesuai dengan segmen pasar.

Erlinus dari Perhimpunan Rumah Makan Padang Cirebon (PRMPC) sendiri mengakui usaha rumah makan Padang di Bandung, Jawa Barat, Jakarta, dan Bekasi bertumbangan karena ada yang menurunkan harga sekitar Rp 8.000-Rp 10.000 per porsi.

“Lalu apa salahnya sih kita bersepakat mengatur harga seperti ini, agar usaha rumah makan Padang masih profitable ke depannya [dengan] tidak banting-banting harga,” ujar Erlinus.

Erlinus mengatakan regulasi untuk pengaturan harga memang sulit karena setiap daerah memiliki kondisi perekonomian yang berbeda-beda.

“Saat ini yang paling mungkin adalah himbauan-himbauan pembangunan kesadaran […] untuk mereka bergabung dengan paguyuban,” tandasnya.

Dok. Shutterstock/ Ariyani Tedjo Ilustrasi makanan padang.Terpisah, Koki Dian Nugraha menghimbau Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman yang baru dilantik Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan pemberdayaan terhadap para pelaku UMKM Rumah Makan Padang.

“Kita perkuat, misalnya, cara pandangnya, rantai supplier-nya, harga bahan-bahan yang lebih terjangkau,” ujarnya.

BBC News Indonesia sudah menghubungi Menteri UMKM Maman Abdurrahman untuk artikel ini. Namun, hingga artikel ini diterbitkan, yang bersangkutan belum memberikan tanggapan.

Sementara Kepala Biro Humas dan Kerjasama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Deswin Nur, menyesali adanya “tindakan oknum tertentu yang kurang sejalan dengan etika persaingan” bisnis.

“Semoga kejadian serupa tidak berulang,” ujarnya.

Deswin sendiri menyebut harga murah merupakan bagian dari persaingan bisnis dan umumnya penjual tidak akan mampu melakukannya untuk jangka waktu yang lama.

“Biarkan mekanisme pasar berjalan. Justru kalau paguyuban menyepakati harga, itu kartel namanya. Tapi UMKM dikecualikan dari aplikasi hukum persaingan usaha. Jadi, tidak bisa didekati dari undang-undang persaingan usaha,” pungkasnya.

Al Farizi melaporkan dari Cirebon, Jawa Barat.

Sumber