Meraba Kinerja 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran
TAK terasa, sudah 100 hari saja pemerintahan baru berlangsung. Beberapa perkembangan baru juga ikut bersamanya, beserta bertahannya masalah-masalah lama yang juga masih jauh dari penyelesaian.
Namun demikian, arah strategisnya sudah mulai terlihat jelas, meskipun probabilitas implementasinya masih terbilang sangat rendah karena baru berada pada tahap awal.
Hasil survei Litbang Kompas menyatakan bahwa jelang 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, approval rating-nya masih sangat tinggi, yakni sekitar 80,09 persen.
Digadang-gadang angka ini di atas approval rating 100 hari pertama pemerintahan Jokowi, baik periode pertama maupun periode kedua.
Dari hari survei tersebut ditemukan bahwa tingginya approval rating pemerintahan baru lebih banyak ditopang oleh ekspektasi publik yang tinggi atas realisasi janji-janji pemerintahan Prabowo-Gibran.
Hal ini cukup bisa dipahami, mengingat jarak waktunya yang masih pendek dengan masa pelantikan pemerintahan baru. Prabowo - Gibran dilantik sebagai Presiden dan Wapres terpilih periode 2024-2029 pada hari Minggu, 20 Oktober 2024.
Sehingga gaung pidato pelantikan Prabowo beserta dengan pidato-pidato barunya di berbagai panggung dan forum, masih menjadi patokan publik dalam menilai di satu sisi dan dalam memelihara ekspektasi tinggi di sisi lain.
Dengan kata lain, tingginya approval rating Prabowo-Gibran sejatinya harus diperlakukan sebagai sinyal positif, kemudian diterjemahkan secara konstruktif, di mana janji-janji kampanye dan berbagai bentuk retorika kekuasaan setelahnya harus segera dibuktikan ke dalam kinerja nyata dan realisasi program kerja yang kongkret.
Selain itu, kemampuan retoris Prabowo dalam membangun kembali kepercayaan diri publik atas Indonesia di satu sisi dan atas urgensi kebersamaan dalam menghadapi masa depan Indonesia yang penuh dengan tantangan di sisi lain juga sangat berperan penting dalam menjaga dukungan publik.
Setelah sepuluh tahun berada di bawah sapaan-sapaan Jokowi, yang diakui atau tidak, cenderung sangat santai dan cuek, maka kehadiran pemimpin baru yang mampu menggetarkan psikologi publik dan mengoskestrasi perbedaan-perbedaan nampaknya memang mampu memberikan sentuhan lain kepada publik Indonesia.
Karena itulah mengapa approval rating yang 80,09 persen tersebut cukup bisa dipahami.
Jika dilihat secara kategoris, dari sisi ekonomi, sepanjang pantauan saya dan hasil pembicaraan sederhana dengan beberapa pakar ekonomi, sebenarnya masih terbilang biasa-biasa saja.
Banyak yang memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun 2025 ini akan mengikuti tren sebelumnya. Pasalnya, belum terlihat gerakan ekonomi signifikan dan strategis yang terjadi.
Narasi delapan persen Prabowo belum mendapat sambutan meriah dari para ekonom alias baru sebatas retorika dari tim internal Prabowo sendiri. Pasalnya, memang secara proyektif hal itu bisa diwujudkan.
Namun secara fundamental, syarat-syaratnya sangat sulit dan diperkirakan akan sangat berat untuk diwujudkan oleh pemerintahan Prabowo yang masih kental dukungan oligarki.
Prabowo akan kesulitan dalam melakukan reformasi dan transformasi ekonomi secara fundamental dan menyeluruh karena berpeluang “menyakiti” barisan oligarkis yang telah berjasa memenangkannya sebagai Presiden ke-8 Republik Indonesia.
Namun demikian, secara ideasional dan programatik, perbedaan dengan pemerintahan sebelumnya sudah mulai terlihat pelan-pelan, sekalipun di saat kampanye tempo hari narasi tentang keberlanjutan sangat kuat digaungkan.
Walaupun saat itu nuansa elektoralnya terasa lebih kental ketimbang nuansa komitmennya. Tapi bagaimanapun, tentu hal itu cukup bisa dipahami, karena masih dalam masa kampanye dan masa perebutan dukungan.
Untuk urusan Ibu Kota Baru, misalnya, pemerintahan baru sudah tak lagi bernarasi seoptimistis pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, padahal IKN adalah salah satu proyek ikonik yang diharapkan akan menjadi legasi pemerintahan Jokowi.
Tidak terdengar lagi gaung IKN di dalam pidato-pidato resmi Prabowo dan Gibran. Bahkan dikabarkan proyek IKN akan dikesampingkan, lalu anggarannya akan dialihkan untuk program-program baru Prabowo-Gibran, seperti program makan siang gratis dan peningkatan kesejahteraan guru, misalnya.
Untuk sektor infrastruktur juga terjadi perubahan arah yang cukup drastis. Dalam pidatonya di acara Kamar Dagang Indonesia belum lama ini, Prabowo mengatakan akan membuka peluang sebesar-besarnya kepada pihak swasta untuk menggarap proyek-proyek infrastruktur nasional.
Dengan kata lain, intervensi pemerintah pada sektor infrastruktur akan dikurangi secara signifikan alias tidak akan “sengoyo” pemerintahan sebelumnya dalam mendukung sektor infrastruktur.
Pasalnya, proyek-proyek infrastruktur di era Jokowi telah menyebabkan pembengkakan luar bisa pada utang negara di satu sisi dan utang BUMN di sisi lain.
Lagi-lagi hal tersebut cukup bisa dipahami mengingat pemerintahan baru terpantau cukup kelimpungan dalam melebarkan ruang fiskal untuk membiayai program-program unggulannya, terutama program-program kesejahteraan sosial yang menurut Prabowo jauh lebih penting ketimbang proyek-proyek infrastruktur.
Untuk program makan siang bergizi gratis saja, misalnya, tarik ulur pembiayaan masih terjadi. Dikatakan anggaran yang telah ditetapkan pun, yakni sekitar Rp 71 triliun, baru mampu menutup pembiayaan program tersebut untuk jangka waktu kurang dari satu tahun. Sementara sisanya diperkirakan masih akan dicari di tengah jalan.
Ambisi Prabowo agar program yang satu ini bisa segera terwujud memang sangat tinggi, begitu pula dengan optimismenya untuk mewujudkan itu tetap konsisten sampai hari ini, meskipun mayoritas ekonom di negeri ini tidak terlalu mendukung hitung-hitungan fiskal Prabowo untuk membiayainya.
Apalagi, para ekonom tidak terlalu menganggap bahwa program tersebut bersifat fundamental atas perekonomian nasional, tapi bersifat suplemental semata.
Namun di mata Prabowo, justru program tersebut sangat krusial dan fundamental dalam menyiapkan SDM-SDM unggul Indonesia.
Karena ambisi dan konsistensi beliau tersebut, akhirnya semua lembaga dan institusi pemerintahan, termasuk pemerintah-pemerintah daerah, mau tidak mau mulai berlomba-lomba untuk mengafirmasi, bahkan melakukan uji coba, program makan siang gratis ini.
Tak terkecuali Dewan Ekonomi Nasional, yang dinahkodai oleh Luhut Binsar Panjaiatan. Menurut Luhut, sebagaimana karakter beliau yang sering muncul pada pemerintahan sebelumnya, para pengamat dan pengkritik pemerintahan sebaiknya diam dulu, tidak memberikan komentar pesimistis dan kritis dulu.
Sementara itu, dari sisi penegakan hukum (law enforcement), kisah-kisah “hukum” yang berjalan sampai hari ini masih berupa keberlanjutan dari kisah-kisah yang ada sebelumnya.
KPK misalnya, masih terlihat bekerja untuk kepentingan segelintir pihak tertentu di satu sisi dan masih berdinamika berdasarkan tarik ulur kepentingan “penitip-penitip” komisioner KPK di sisi lain.
Pun untuk lembaga sekelas Kejaksaan Agung, sinisme publik justru masih jauh dari membaik. Apalagi setelah penetapan hukuman 6,5 tahun untuk kasus megakorupsi Timah.
Bahkan Prabowo sendiri “meng-address” kekecewaanya atas putusan tersebut, meskipun kekecewaan itu hanya sebatas kekecewaan.
Begitu pula dengan lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Agung. Nama baik institusinya masih tak baik-baiknya saja, lantaran masih dibayang-bayangi oleh putusan MA yang sempat membuka peluang kepada Kaesang Pangarep untuk tetap maju Pilkada beberapa bulan jelang Pilkada serentak tempo hari.
Dengan kata lain, tak berbeda dengan KPK, kepentingan politik juga masih kental “berkeliaran” di dalam lembaga tinggi yang satu ini.
Lalu institusi kepolisian, kinerja dan nama baiknya sama sekali belum membaik. Belum sempat pulih dari bencana Ferdy Sambo dan Vina Cirebon, kasus polisi tembak polisi kembali hadir di Sumatera Barat, misalnya.
Dan satu persatu keburukan institusi dan para oknumnya mulai mengemuka ke ruang publik, seiring dengan semakin menguatnya sinisme dan pesimisme masyarakat kepada institusi ini.
Di bidang pertahanan dan geopolitik, harus diakui secara persepsional cukup terasa. Harus diakui, terjadi perbaikan yang “lumayan signifikan” di bidang ini.
Namun demikian, hal itu cukup bisa dipahami mengingat lima tahun era Jokowi-Ma’ruf, Prabowo sebagai Menteri Pertahanan sudah mulai bekerja di sektor ini.
Belanja masif bidang pertahanan yang dilakukan Prabowo selama menjabat Menteri Pertahanan, disertai dengan narasi-narasi geopolitik yang beliau utarakan di forum-forum internasional, harus diakui, membuat Indonesia semakin dipandang di kancah dunia, tentu dengan segala kekurangan, kontroversi, dan kelebihannya.
Pun bergabungnya Indonesia ke dalam Organisasi seperti BRICS, juga ikut memberikan kepercayaan diri masyarakat secara geopolitis kepada pemerintahan yang baru.
Apalagi, Indonesia diberitakan secara positif oleh media-media besar dunia sebagai salah satu negara berkembang yang akan ikut menentukan arah geopolitik dan geostrategi global dalam waktu-waktu mendatang pada umumnya dan akan ikut mempertinggi kepercayaan diri “Kubu Selatan” pada khususnya.
Pada bidang kesehatan dan pendidikan, nampaknya juga belum terjadi perubahan secara signifikan, yang bisa dijadikan indikator bahwa kedua sektor dasar ini sedang bertransformasi positif.
Sektor kesehatan masih seperti sebelumnya, bergerak “as usual”, dan belum menunjukkan tanda-tanda akan memberikan satu kejutan besar kepada publik di bidang kesehatan.
Justru wacana kenaikan iuran BPJS kesehatan tempo hari ikut membuat publik semakin mempertanyakan komitmen serius pemerintahan baru dalam menjadikan sektor kesehatan sebagai sektor utama untuk membangun SDM nasional yang unggul.
Sementara untuk bidang pendidikan, terobosan langsung dari Prabowo dan Kementerian Keuangan justru mengalahkan pamor kementerian pendidikan dan kementerian riset dan perguruan tinggi.
Kebijakan Prabowo yang langsung berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dalam meningkatkan pendapatan para guru disambut sangat antusias oleh publik.
Sementara Kementerian Pendidikan dan Kementerian Riset dan Perguruan Tinggi sendiri, masih bergerak “as usual” dan masih ditunggu oleh publik arah strategisnya akan kemana.
Bahkan tokoh baru yang duduk sebagai Wamen di Kementerian Riset dan Perguruan Tinggi, Stella Cristie, masih sibuk dari panggung ke panggung untuk mengafirmasi pesona pribadinya, ketimbang menunjukkan kinerja nyata dalam bentuk kebijakan-kebijakan institusional nyata yang strategis dan transformatif.
Terakhir di bidang politik, pemerintahan baru nampaknya masih belum mampu keluar dari relasi kuasa gaya lama di mana para elite saling sandera di satu sisi dan tangan-tangan pemerintahan “ikut bermain api” pada momen-momen politik penting di sisi lain.
Pertama, konflik-konflik elite yang muncul sangat menyita energi publik, karena melibatkan institusi-institusi penting negara yang terlihat saling “adu jotos”, tapi bukan untuk kepentingan publik.
Hal ini membuat pemerintahan baru menjadi semakin sulit untuk keluar dari pola relasi konfliktual lama di mana lembaga-lembaga negara dijadikan proksi oleh elite-elite tertentu untuk melampiaskan kepentingan politiknya.
Sementara pada momen penting seperti Pilkada serentak tempo hari, diakui atau tidak, beberapa institusi negara ikut berjalan di belakang layar untuk mengarahkan kontestasi agar sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu, tentu beserta “politik uang” yang menyertainya.
Hal ini bisa terjadi karena beberapa lembaga penting negara telah berubah menjadi “partai politik” bayangan yang memperjualbelikan dukungan dan support-nya dalam rangka barter politik strategis tertentu di tingkat yang lebih tinggi.
Walhasil, karena dua hal penting ini, demokrasi Indonesia dianggap oleh banyak pihak, baik oleh para intelektual maupun kalangan internasional, sedang mengalami kemunduran. \
Institusi demokrasi kita dianggap oleh sebagian pihak sedang berada pada status pelemahan atau dilemahkan, institusi-institusi demokrasi dipandang sudah mulai kehilangan peran demokratisnya, lalu berubah menjadi sekrup-sekrup kekuasaan untuk menyelamatkan kepentingan institusi dan orang-orang penting yang ada di dalamnya.
Jadi pendeknya, over all, 100 hari pemerintahan baru, pemerintahan Prabowo-Gibran masih berjuang untuk keluar dari pola lama, baik dari sisi ekonomi, politik, dan sektor-sektor dasar lainnya.
Pada bidang-bidang tertentu memang sudah mulai terlihat arah strategis baru, misalnya pada bentuk dan model intervensi pemerintah secara sektoral. Begitu juga pada aras internasional, terutama geopolitik dan pertahanan.
Namun demikian, jika harus disimpulkan pergerakan 100 hari pemerintahan yang baru, maka kata yang paling tepat untuk menggambarkannya adalah “masih perlu pembuktian”.
Pidato-pidato ‘ciamik” memang masih bisa mempertahankan ekspektasi publik yang masih sangat tinggi, yang terlihat dari tingginya tingkat approval rating pemerintahan Prabowo - Gibran.
Namun catatannya, ekspektasi tinggi tersebut tidak akan bertahan lama jika pembuktian tak segera dihadirkan dan dipertontonkan kepada publik.