Meski Tanpa Presidential Threshold, Menteri Hukum Tekankan Dukungan Parlemen Krusial buat Capres

Meski Tanpa Presidential Threshold, Menteri Hukum Tekankan Dukungan Parlemen Krusial buat Capres

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Putusan MK tersebut membuka lebar kandidat capres dan cawapres pada Pilpres 2029 mendatang.

Namun Supratman berpendapat, pasangan capres dan cawapres tetap membutuhkan dukungan kuat dari Parlemen.

"Kalau itu sudah pasti (harus dapat dukungan kuat dari Parlemen). Pasti semua calon presiden ataupun presiden menginginkan dukungan yang kuat kepada parlemen," kata Supratman di Graha Pengayoman, Kementerian Kumham, Imipras, Kuningan, Jakarta, Selasa (7/1/2024).

Supratman mengatakan, dukungan kuat dari Parlemen itu dibutuhkan pasangan capres dan cawapres karena program, regulasi, dan pembiayaan akan disetujui bersama DPR.

"Karena kalau tidak, maka tentu program-programnya, baik itu menyangkut soal pembiayaan, karena kan APBN kita disetujui bersama-sama dengan DPR, termasuk regulasi dalam bentuk undang-undang. Karena itu, dukungan politik di parlemen pasti sangat dibutuhkan," ujarnya.

Supratman pun memastikan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) nantinya berpedoman pada lima poin rekayasa konstitusional atau constitutional engineering yang disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia mengatakan, sudah meminta Dirjen Peraturan Perundang-undangan (PP) untuk mengkaji putusan MK tersebut untuk segera dibahas bersama DPR RI.

"Yang satu, tidak boleh rekayasa konstitusional itu disahkan kepada perolehan suara ataupun kursi. Kan itu intinya tuh. Nah karena itu pasti ini akan dipenuhi," ucap dia.

Diberitakan, MK memberikan lima poin pedoman rekayasa konstitusional atau constitutional engineering, menyusul dihapusnya ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Wakil Ketua MK, Saldi Isra, mengatakan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membeludak.

"Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia," kata Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Kamis (2/1/2025), dikutip dari Antara.

Oleh karena itu, kata dia, pembentuk undang-undang, dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan sejumlah hal yaitu

Sumber