Mewaspadai Dampak Buruk Kabinet Gemuk
Sejarah pemerintahan Indonesia mencatat rekor baru dalam "penggemukan" kabinet setelah Presiden Prabowo Subianto melantik 48 menteri dan 56 wakil menteri pada Senin (20/10) lalu. Jika ditambah dengan pejabat setingkat menteri, panglima TNI, Kapolri, dan sekretaris kabinet, total 112 orang yang dilantik (detikcom, 21/10). Jumlah ini belum termasuk kepala badan yang belum dilantik ketika tulisan ini dibuat.
Menurut Presiden Prabowo dan pendukungnya, penambahan ini bertujuan untuk memastikan menteri bekerja lebih fokus dan efektif. Prabowo juga menyebut bahwa kabinet tersebut banyak yang profesional walaupun berasal dari partai politik.
Melihat menteri yang banyak berasal dari partai politik dan kelompok relawan selama pilpres, sulit untuk membantah penilaian publik bahwa kabinet gemuk ini bertujuan untuk bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi. Kekhawatiran lain pun muncul, check and balance kekuasaan akan berkurang dalam lima tahun ke depan.
Tidak Ada UrgensiSejak wacana penggemukan kabinet muncul ke ruang publik, banyak pengamat politik bereaksi karena menilai tidak ada urgensinya. Dikhawatirkan kabinet gemuk akan memboroskan biaya, lamban, dan tidak responsif. Kabinet yang mengidap obesitas tidak akan efisien dan efektif, sangat potensial digerogoti "kolesterol jahat" dari dalam tubuh kabinet berupa praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Pemerintahan gemuk Presiden Prabowo ini melawan arus teori dan praktik organisasi kekinian yang cenderung ramping. Poirier, Bauer, dan Houser (2006) dalam buku The Wall Street Diet sangat menganjurkan perusahaan untuk menerapkan diet agar ramping dan sehat. Lean organization atau organisasi ramping berfokus pada efisiensi, menghilangkan pemborosan, dan penyederhanaan proses dalam organisasi. Konsep ini pertama kali populer dalam dunia manufaktur, dari sistem produksi Toyota. Intinya adalah menciptakan nilai maksimal dengan sumber daya minimal, sekaligus memastikan kelincahan organisasi agar mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan. Organisasi ramping fokus pada nilai inti, mengurangi struktur atau fungsi yang tidak produktif. Kini konsep ini diadopsi berbagai sektor termasuk pemerintahan, dikenal dengan lean government. Prinsip dasar pemerintahan ramping adalah bahwa pemerintah lebih berperan melakukan ‘orkestrasi’ dari semua kebijakan dan program-programnya. Orkestrasi mengacu pada pengaturan, koordinasi, dan pengelolaan jaringan kompleks tempat pihak publik dan swasta melakukan tugas (Jansen dan Estevez, 2012).
Pemerintahan ramping dan responsif tidak hanya lebih efisien, tetapi juga mampu memberikan pelayanan publik yang lebih baik bagi masyarakat. Sebaliknya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa struktur yang gemuk cenderung menjadi birokratis, lambat, dan kurang responsif. Semakin banyak tingkatan dan unit dalam organisasi, semakin sulit koordinasi dan kontrol dilakukan. Akibatnya, energi justru tersedot oleh proses administrasi ketimbang pencapaian tujuan strategis (Jansen dan Estevez, 2012).
Sulit BerharapDengan kabinet yang "mekar dan "melar", beban biaya pemerintahan pun akan semakin berat. Bagaimanapun, setiap kementerian baru pastilah membutuhkan anggaran besar untuk operasional, sumber daya manusia, dan infrastruktur. Di sisi lain, kementerian baru pun tak akan dapat langsung menjalankan program karena akan disibukkan dengan penataan struktur dan sumberdaya manusia internalnya. Sulit berharap bahwa dalam waktu satu tahun penataan internal ini akan rampung.
Alih-alih menambah kementerian, seyogianya pembentukan kabinet ini diarahkan pada optimalisasi fungsi, sinergi antarinstansi, dan pemanfaatan teknologi. Penambahan struktur tidak selalu menghasilkan peningkatan kinerja. Presiden dapat mengoptimalkan fungsi dan tugas kementerian yang ada melalui reorganisasi, atau membentuk gugus tugas atau tim lintas kementerian untuk menangani isu-isu strategis tertentu. Lagi pula kemajuan teknologi dan digitalisasi saat ini dapat dimanfaatkan untuk koordinasi dan sinkronisasi untuk meningkatkan efisiensi birokrasi. Hal ini memungkinkan pemerintah memberikan pelayanan publik yang cepat dan efektif tanpa memperbesar struktur organisasi.
Kita akan melihat dalam lima tahun ini apakah langkah Presiden Prabowo Subianto menambah jumlah kementerian benar-benar akan meningkatkan fokus dan efektivitas pemerintahan, atau justru menciptakan kabinet yang tidak efisien karena terjangkit berbagai penyakit akibat obesitas.Makmur Sianipar Direktur Research Institute for Ethical Business and Political Leadership Development (Rebuild)