Misteri Pagar Bambu Sepanjang 30,16 Km di Laut Tangerang

Misteri Pagar Bambu Sepanjang 30,16 Km di Laut Tangerang

SERANG, KOMPAS.com - Pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer membentang di laut wilayah Kabupaten Tangerang, Banten masih menjadi misteri untuk apa dan siapa yang memasangnya.

Pagar tersebut terbentang dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji di wilayah perairan Kabupaten Tangerang, Banten.

Ombudsman RI saat melakukan pengecekan pada 5 Desember 2024 yang lalu, menemukan fakta bahwa pagar tidak dipasang satu lapis melainkan berlapis-lapis.

Adanya pagar laut itu pun membuat aktifitas nelayan dan warga terganggu. Bahkan, dapat membahayakan keselamatan nelayan.

Berdasarkan temuan Ombudsman RI, pagar dipasang oleh warga pada malam hari dengan upah per hari Rp 100.000 sejak Juli 2024.

Namun hingga kini pihak yang meminta pemasangan pagar itu belum diketahui. 

"Siapa yang melakukan (pemasangan pagar) belum teridentifikasi," kata Kepala Perwakilan Ombudsman RI Wilayah Banten Fadli Afriadi kepada Kompas.com melalui telepon. Rabu.

Fadli menuturkan, pagar tersebut berlapis seperti labirin. Ia dan Ombudsman juga belum mengetahui dasar dari pembangunan pagar itu. 

"Saya naik kapal keliling, jadi itu (pagar bambu) bukan satu lapis, tapi berlapis-lapis. Untuk apa? Kita belum bisa mengidentifikasi karena beragam informasinya," kata Fadli.

Lebih lanjut, Fadli menyebutkan bahwa pagar tersebut memiliki pintu setiap 400 meter yang dapat dimasuki oleh perahu, dan di dalamnya akan kembali ditemukan pagar lapisan berikutnya.

"Pagar tersebut berbentuk seperti labirin," tambahnya.

Fadli menyebut, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten telah menyatakan bahwa pemagaran sudah bertentangan dengan aturan yang berlaku atau tidak berizin.

"Tidak sesuai dengan prinsip bahwa laut itu kan terbuka engga boleh tertutup. Padahal, DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan Banten) telah menyatakan bahwa tidak berizin," kata Fadli.

Dilansir Antara, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Banten Eli Susiyanti menyebut, panjang pagar 30,16 km itu membentang sepanjang 16 desa.

Adapun rinciannya, tiga desa di Kecamatan Kronjo, tiga desa di Kecamatan Kemiri, empat desa di Kecamatan Mauk, satu desa di Kecamatan Sukadiri, tiga desa di Kecamatan Pakuhaji, dan dua desa di Kecamatan Teluknaga.

Berdasarkan data, di sepanjang kawasan ini ada sekelompok nelayan, masyarakat pesisir yang beraktivitas sebagai nelayan sekitar 3.888 nelayan, dan 502 pembudi daya.

Eli mengatakan,pagar laut sepanjang 30,16 km itu bertentangan dengan Perda Nomor 1 Tahun 2023 meliputi zona pelabuhan laut, zona perikanan tangkap, zona pariwisata, zona pelabuhan perikanan, zona pengelolaan energi, zona perikanan budi daya, dan juga beririsan dengan rencana waduk lepas pantai yang diinisiasi oleh Bappenas.

Eli menegaskan, pada saat terjun ke lapangan pada 18 September 2024, DKP telah meminta aktifitas pemagaran dihentikan karena tidak ada rekomendasi ijin dari desa maupun camat.

Untuk menangani temuan tersebut, Eli mengatakan akan terus melibatkan berbagai pihak untuk menangani permasalahan tersebut.

Eli mengatakan, struktur pagar laut terbuat dari bambu atau cerucuk dengan ketinggian rata-rata 6 meter.

Di atasnya, dipasang anyaman bambu, paranet, dan juga diberikan pemberat berupa karung berisi pasir.

"Kemudian di dalam area pagar laut itu sudah juga dibuat kotak-kotak yang bentuknya lebih sederhana dari pagar laut itu sendiri," katanya, dikutip dari Antara.

Eli mengungkapkan, pihaknya pertama kali mendapatkan informasi tersebut pada 14 Agustus 2024.

Mereka langsung menindaklanjuti dengan turun ke lapangan pada 19 Agustus 2024. Dari kunjungan ke lapangan, ada aktivitas pemagaran laut saat itu yang masih sepanjang kurang lebih 7 km.

"Kemudian setelah itu, tanggal 4-5 September 2024, kami bersama dengan Polsus dari PSDKP (Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) KKP dan juga tim gabungan dari DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan), kami kembali datang ke lokasi bertemu dan berdiskusi," lanjutnya.

Pada 5 September 2024, pihaknya membagi dua tim. Pertama, langsung terjun ke lokasi, sedangkan satu tim lainnya berkoordinasi dengan camat dan beberapa kepala desa di daerah itu.

Saat itu, informasi yang didapatkan adalah bahwa tidak ada rekomendasi atau izin dari camat maupun dari desa terkait pemagaran laut di daerah itu.

Saat itu pula, belum ada keluhan dari masyarakat terkait pemagaran tersebut. Pada 18 September 2024, Eli dan tim kembali melakukan patroli dengan melibatkan Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang serta Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).

Saat itu, DKP Banten meminta aktivitas pemagaran dihentikan.

"Terakhir kami melakukan inspeksi gabungan bersama-sama dengan TNI Angkatan Laut, Polairut, PSDKP KKP, PUPR, Satpol-PP, Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang. Kami bersama-sama melaksanakan investigasi di sana, dan panjang lautnya sudah mencapai 13,12 km. Terakhir malah sudah 30 km," kata Eli.

Eli mengatakan, pihaknya akan terus melibatkan berbagai pihak untuk menangani permasalahan tersebut.

Sementara itu, Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI), melalui Rasman Manafii, menegaskan bahwa setiap penggunaan ruang laut selama lebih dari 30 hari wajib memiliki izin, yaitu izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

“Aktivitas di ruang laut yang aturannya itu harus ada KKPRL kalau di atas kegiatan 30 hari,” ujar Rasman.

Dengan demikian, Rasman mempertanyakan keberadaan izin KKPRL terkait pemagaran laut di wilayah tersebut.

Jika aktivitas pemagaran dilakukan tanpa mengantongi izin yang diperlukan, maka dapat dianggap sebagai malaadministrasi.

Sumber