Misteri Pagar di Pantai Laut Utara: Dalang Tak Kasatmata

Misteri Pagar di Pantai Laut Utara: Dalang Tak Kasatmata

KALAU dulu ada serial film Misteri Gunung Merapi, maka misteri pagar laut ini mungkin akan menarik minat sineas untuk membuatnya jadi film.

Jika biasanya seting cerita misteri berada di Pantai Laut Selatan, maka kini Pantai Laut Utara pun akan memiliki cerita misteri.

Seperti yang sedang ramai dalam perbincangan publik, ada cerita menarik dari pesisir Tangerang, pantai utara Jawa.

Bukan cerita tentang kemilau sunset atau serunya aktivitas nelayan, melainkan tentang pagar bambu setinggi 6 meter yang membentang sepanjang 30,16 kilometer.

Pagar ini melintasi laut dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji, melewati 6 kecamatan dan 16 desa. Keberadaannya telah dilaporkan masyarakat sejak 14 Agustus 2024.

Berbagai media juga melaporkan bahwa sejak mendapat informasi, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten setidaknya telah tiga kali meninjau lokasi dari Agustus 2024 sampai September 2024.

Dalam melakukan peninjauan pagar laut ini, DKP Provinsi Banten konon mengajak juga pihak Pangkalan TNI AL Banten, Polairud Polresta Tangerang, hingga Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Provinsi Banten.

Namun, selain tidak melakukan tindakan apa pun untuk menghentikannya, tim mengaku tidak mengetahui siapa yang membangun pagar laut tersebut.

Pagar ini bukan pagar sembarangan. Dengan tinggi 6 meter, pagar ini terlihat lebih seperti benteng pertahanan daripada upaya untuk mencegah kambing tersesat.

Anehnya, meski telah menimbulkan keresahan masyarakat setempat, tak satu pun pihak berwenang yang tahu siapa pemilik pagar ini. Ironi yang menggelitik sekaligus mengherankan, mengingat skala proyek ini jauh dari kata kecil.

Semua sepakat bahwa pagar ini tidak memiliki izin. Namun, penemuan mereka berhenti di situ. Tak jelas soal investigasi lebih lanjut, tak ada jawaban tentang siapa yang berani memagari laut seolah-olah laut itu halaman rumahnya sendiri.

Wajar jika semakin banyak yang bertanya-tanya siapa dalang di balik pagar laut ini?

Lalu muncul pernyataan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang, jujur saja, terdengar seperti lelucon di kafe sore hari.

"Kalau tidak ada izin, maka pagar ini akan dibongkar," katanya.

Pernyataan yang mengindikasikan bahwa, dengan izin, memagari laut tampaknya bukan masalah. Apakah ini berarti pengusaha bisa memagari laut asalkan memenuhi formalitas administratif?

Apakah hak rakyat, khususnya nelayan yang mencari nafkah di laut, hanya sekadar formalitas yang bisa diabaikan dengan selembar kertas berkop pemerintah?

Mari kita berhenti sejenak untuk merenungkan skala pagar ini. Pemagaran ini bukan seperti cerita legenda Gunung Tangkuban Perahu dan Candi Roro Jongrang yang terjadi dalam satu malam.

Bambu setinggi 6 meter dan sepanjang 30,16 kilometer bukanlah sesuatu yang bisa dibangun dalam semalam oleh segelintir orang. Ini adalah proyek raksasa, membutuhkan ribuan batang bambu, tenaga kerja dalam jumlah besar, dan logistik yang tidak main-main.

Anehnya, semua pihak yang bertanggung jawab atas pengawasan kawasan laut seolah-olah menjadi tak bisa melihat dan mendengar.

Secara teknis, tidak ada keajaiban di sini. Pagar ini tidak muncul begitu saja, setiap malam bertambah tanpa ada yang melihat. Juga bukan karena ada teknologi alien yang menciptakannya tanpa terdeteksi.

Kita semua tahu, ini bukan soal keajaiban. Ini soal bagaimana orang tertentu bisa melakukan apa pun tanpa ada yang berani menantang mereka.

Sementara pejabat sibuk berdiskusi tentang legalitas dan administrasi, sebanyak 3.888 nelayan di kawasan tersebut harus menghadapi kenyataan pahit. Pagar laut ini memaksa mereka memutar jauh untuk mencari ikan dan menambah biaya bahan bakar.

Bayangkan seorang nelayan yang sehari-hari bergantung pada tangkapan ikan di sekitar pantai. Dengan adanya pagar ini, mereka harus memutar hingga puluhan kilometer. Biaya bahan bakar meningkat dan penghasilan mereka kian tergerus.

Tak lengkap membahas pagar misterius ini tanpa menyebut proyek strategis nasional di kawasan Pantai Indah Kapuk Kedua (PIK-2). Proyek ini, yang digadang-gadang sebagai bagian dari visi besar pembangunan, tampaknya lebih mirip ladang emas bagi konglomerat.

Jika pagar ini berkaitan dengan PSN PIK-2, dalam konteks ini maka pagar bambu tersebut terasa seperti simbol dari bagaimana kepentingan besar selalu menang, sementara rakyat kecil harus berjuang untuk sekadar bertahan hidup.

Kawasan PIK-2 disebut-sebut akan menjadi kawasan mewah dengan segala fasilitas modern. Namun, apa arti semua itu bagi masyarakat lokal, khususnya para nelayan yang telah hidup di kawasan ini selama puluhan tahun?

Mereka tidak membutuhkan mal atau apartemen mewah. Mereka hanya membutuhkan laut yang bebas, tempat mereka bisa mencari nafkah tanpa halangan.

Ada satu hal yang sangat mencolok dalam kisah ini ketidakmampuan (atau mungkin ketidakmauan) aparat pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini.

Bagaimana mungkin proyek sebesar ini bisa luput dari pengawasan? Bagaimana mungkin tidak ada yang tahu siapa pemilik pagar ini? Apakah kita harus percaya bahwa sebuah proyek yang melibatkan ratusan atau bahkan ribuan orang bisa begitu rahasia?

Pernyataan bahwa pagar ini akan dibongkar jika tidak memiliki izin juga menunjukkan betapa lemahnya sistem pengawasan kita. Seolah-olah izin adalah satu-satunya masalah di sini.

Padahal, izin atau tidak, pagar ini telah melanggar hak-hak masyarakat setempat dan menciptakan masalah sosial yang nyata. Apakah selama ada potensi keuntungan besar, semua masalah tampaknya bisa diabaikan?

Kisah pagar laut ini adalah cerminan dari bagaimana kekuasaan dan uang sering kali bisa mengalahkan logika dan keadilan.

Laut, yang seharusnya menjadi milik bersama, kini menjadi ajang permainan orang tertentu. Sementara itu, rakyat kecil hanya bisa menonton dari pinggir, berharap ada keajaiban yang akan mengembalikan hak mereka.

Namun, mari kita kembali pada pertanyaan inti siapa sebenarnya dalang yang memagari laut ini? Jawabannya mungkin tidak pernah kita ketahui.

Mungkin pagar ini akan tetap menjadi misteri, seperti cerita rakyat yang akan diceritakan dari generasi ke generasi.

Atau mungkin, suatu hari nanti, ada keberanian dari pihak berwenang untuk mengungkap kebenaran di balik pagar ini. Atau kita mungkin perlu menyewa detektif Hercule Poirot untuk menyelidiki misteri ini.

Hingga saat itu, kita hanya bisa berharap bahwa keadilan bukanlah pagar yang bisa ditembus oleh uang dan kekuasaan. Laut bukan untuk dipagari, dan rakyat kecil tidak boleh terus-menerus menjadi korban dari ambisi besar yang mengabaikan mereka.

Sumber