Mitos Parlemen Reformis
Daftar RUU Prolegnas Prioritas 2025 yang diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR (Selasa, 19/11) kembali menjelaskan watak laten lembaga parlemen yang problematik. Dari 41 RUU yang disepakati, legislasi tentang perampasan aset dan pembatasan uang kartal tidak masuk daftar. Padahal, kedua legislasi itu dipandang menjadi senjata pamungkas dalam menekan kejahatan terorganisasi. Tidak saja kasus korupsi, namun juga setiap tindakan kejahatan yang berdampak pada kerugian negara secara umum. Judi online, misalnya, ada 186 juta transaksi dengan total akumulasi dana mencapai Rp 327 triliun sepanjang 2023 (PPATK, 2024). Presiden Prabowo bahkan menyebut potensi kebocoran negara menembus Rp 981 triliun. Paradoks Berganda
Reformasi tidak hanya membuka keran demokratisasi dan keterbukaan politik, namun juga merombak struktur ketatanegaraan republik. Tapak sejarah ini kemudian berimplikasi pada perubahan sistemik pendulum kewenangan antarlembaga negara. Perubahan tersebut bahkan terjadi pada lanskap ketatanegaraan yang paling fundamental, yakni kembalinya nalar "rakyat" dalam penentuan nasab negara.
Transformasi kelembagaan yang terjadi juga menyiratkan terjadinya fragmentasi sentralistik pada kerangka format politik Indonesia. DPR dikembalikan ke tempat yang semestinya, sebagai aktor utama pemilik kuasa. Salus populi suprema lex –suara rakyat kebajikan tertinggi.
Populisasi politik tersebut adalah hasrat, sekaligus implikasi reformasi. Kuasa deviasi Orde Baru menjadi argumen historik dan landas pijak proyeksi kehidupan bernegara. Namun segala pembaruan ini rupanya bertubulensi paradoks, dan praktis kini reformasi mulai mengalami kegagapan. DPR yang sejatinya pewakil publik tidak saja gagal menjalankan fungsi dan kewenangannya, namun turut menjadi pencipta kegagalan. Dari tiga fungsi yang diembannya –legislasi, anggaran, dan pengawasan– DPR masih belum menunjukkan kinerja yang optimal.
Dari 248 rancangan undang-undang (RUU) yang termaktub dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020-2024, sebanyak 179 RUU lahir dari hak inisiatif DPR, jauh lebih banyak ketimbang usulan pemerintah sebanyak 86 RUU. Ini berarti, sebanyak 48 persen RUU adalah murni usulan dari DPR. Fakta ini menyiratkan suatu optimisme, sekaligus tantangan bagi pembentukan hukum yang berkualitas. Namun demikian, banyak repetisi pembahasan RUU. Dalam Laporan Kinerja DPR 2023-2024, hanya 10 RUU (21,28 persen) yang menjadi usulan baru dalam Prolegnas 2024. Sisanya, 24 RUU (51,06 persen) adalah RUU Prolegnas 2022 yang tidak selesai, dan 13 RUU (27,66 persen) dari 2023.
Deretan fakta ini menyelip paradoks berganda. Selain rendahnya realisasi legislasi, hanya 48 RUU dari 179 RUU yang berhasil diselesaikan DPR bersama pemerintah, kualitas pembentukannya juga problematik. Bahkan, dalam beberapa kasus, prosedur penyusunan undang-undang tidak berlandaskan pada keberadaan naskah akademik. Dalam jangka panjang, ironi ganda ini berujung pada terbentuknya legislasi yang cacat substansi dan bertentangan dengan konstitusi. Akibatnya marak terjadi pengujian konstitusionalitas UU ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam laporan MK (2024), sepanjang 2023 saja terdapat 187 perkara pengujian undang-undang. Dari jumlah ini, sebanyak 136 perkara telah diputuskan (72,7 persen) dan jumlah permohonan dikabulkan (pembatalan UU) sebanyak 13 perkara ( 9 persen). Namun sebenarnya sengkarut UU kita tidak hanya sebanyak 13 perkara yang dikabulkan. Sebab faktanya hanya 57 perkara (40 persen) yang ditolak MK, yang juga berarti 41 perkara (32 persen) yang dinyatakan tidak dapat diterima dan 25 perkara (19 persen) ditarik kembali, sangat mungkin inkonstitusional. Dengan kata lain, substansi atas 66 perkara tersebut sangatlah mungkin bertentangan dengan UUD 1945.
Fungsi Pengawasan
Di sisi pengawasan, DPR juga terlalu gegabah menafsir fungsi pengawasan yang melekat padanya. Nalar fungsional ini dijalankan tanpa memiliki pijakan empirik, yaitu kehendak publik atas kejadian ketatanegaraan tertentu. Mencoba menegasi eksistensi KPK, misalnya, semestinya disudahi. Berbagai parameter objektif menegaskan bahwa rakyat menginginkan KPK yang kuat, independen, dan berwibawa. Faktanya rencana revisi UU KPK dan KUHP/KUHAP selalu menjadi wacana prioritas dan terpenting parlemen. Padahal semua memahami bahwa revisi terhadap kedua ketentuan hukum tersebut adalah semata bertujuan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Alih-alih melaksanakan mandat rakyat, publik malah memandang DPR tidak mewakilinya. Dalam survei Litbang Kompas (2024), citra DPR mengalami penurunan pada akhir masa kerjanya. Tidak aneh jika lembaga ini diragukan kinerjanya, selain partai politik. Indikator (2024) dalam rilis survei bertajuk Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Penegak Hukum dan Politik menempatkan DPR sebagai lembaga kedua paling tidak dipercaya publik (58 persen), setelah partai politik (51 persen).
Di sisi lain, rekomendasi fungsi pengawasan DPR kerap diabaikan pemerintah. Dalam catatan Indonesian Parliamentary Center (2024), sepanjang 2019-2024, hanya 37 persen rekomendasi rapat pengawasan DPR yang ditindaklanjuti pemerintah. Sisanya sebanyak 67 persen hanya menjadi dokumen tidak berguna.
Praksis fungsi anggaran DPR juga kerap salah arah, kalau tidak mau dikatakan koruptif. Pembentukan badan anggaran yang berwenang merealokasi postur anggaran sampai fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga, serta dana alokasi transfer daerah (Pasal 110 ayat 1(c) UU 17/2014) justru menjadi pangkal korupsi lebih sistemik. Karena hal tersebut pembubaran lembaga ini pernah dimohonkan ke MK. Dalam data terbaru KPK (11 September 2024), anggota parlemen menempati peringkat ketiga terbanyak sebagai pelaku korupsi (358 orang), di bawah swasta (462) dan birokrasi (417). Data ini menunjukkan bahwa kemerdekaan fungsional parlemen sebagai implikasi deterministik reformasi berbuah paradoks.
Pada akhirnya, tidak salah masyarakat memandang sinis kinerja parlemen. Bahwa parlemen reformis sekadar jargon dan mitos semata.
Arifuddin Hamid alumnus Pascasarjana Universitas Indonesia