MK Hapus Ambang Batas Capres 20%, Cak Imin Ngaku Masih Trauma Kalah
Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold minimal 20% kursi DPR. Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengatakan semua harus tunduk pada putusan itu.
"Kalau keputusan MK siapa pun harus tunduk," kata Cak Imin usai rapat di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (3/1/2025).
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pemberdayaan Masyarakat ini mengatakan ada pertimbangan dalam putusan MK yang memungkinkan DPR menyusun lagi syarat pencalonan presiden. Dia mengatakan perubahan UU terkait Pemilu tergantung DPR.
"Problemnya adalah ada satu bab di situ dari keputusan itu, mengembalikan kepada pembuat UU. Nanti ya tergantung fraksi-fraksi di DPR," tuturnya.
Cak Imin yakin putusan itu disambut baik semua pihak. Dia mengatakan putusan MK itu penting.
"Semua keputusan MK nggak ada yang nggak happy, kalau nggak happy gimana, keputusan penting," kata dia.
Cak Imin mengatakan putusan itu membuka peluang partainya mendorong kader maju Pilpres 2029. Meski demikian, katanya, hal itu harus dilakukan dengan pertimbangan realistis.
"Pasti, pasti. Semua menyambut cairnya demokrasi tapi kita juga punya pengalaman kalau terlampau banyak calon yang nggak realistis juga buang-buang," ujar dia.
Cak Imin pun mengaku masih belum tahu apakah akan maju capres di Pilpres selanjutnya. Dia mengaku trauma.
"Kemarin juga bisa maju (pilpres). Nanti maju? Ya belum tau, masih panjang. Trauma nggak itu, trauma kalah. Belum tahu ngerasain kalah sih," kata Cak Imin yang merupakan cawapres nomor urut 1 pada Pilpres 2024.
"Masih panjang, masih lama. Jangan dibahas sekarang," sambungnya.
MK sebelumnya telah membacakan putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1). MK mengabulkan permohonan yang pada intinya menghapus ambang batas pencalonan presiden.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo.
MK pun meminta pemerintah dan DPR RI melakukan rekayasa konstitusional dalam merevisi UU Pemilu. Tujuannya, agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membeludak.