MK Hapus ”Presidential Threshold”, Siapa Diuntungkan?
POLEMIK ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) akhirnya menuai titik kepastian pascaputusan Mahkamah Konstitusi terbaru.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden di Indonesia sebelumnya puluhan kali diajukan sejumlah pihak, tapi selalu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasannya karena faktor stabilitas politik, prinsip keadilan dan keseimbangan serta legitimasi demokrasi.
Seperti dikutip Kompas, MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Enika Maya Oktavia, dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.
Selain itu, MK juga menerima permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan oleh Dian Fitri Sabrina (perkara nomor 87/PUU-XXII/2024, Netgrit dan Titi Anggraini (perkara nomor 101/PUU-XXII/2024), dan Gugum Ridho Putra (perkara nomor 129/PUU-XXI/2023).
MK menyatakan, syarat ambang batas pencalonan presiden di dalam Pasal 222 tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Pasal 222 UU Pemilu menyatakan “pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Sejak Pilpres 2009 hingga 2024, hanya ada 2-3 pasangan calon saja yang maju dalam kontestasi. Bisa dibayangkan dengan multi partai yang ekstrem, tetapi kandidat presiden di setiap pemilu hanya 2-3 pasang.
Oleh karena itu, ketentuan ambang batas selama ini cenderung mengarah pada dominasi dua kekuatan besar. Hal ini membatasi peluang bagi calon presiden dari partai kecil untuk berkompetisi secara langsung.
Dengan penghapusan ambang batas, diharapkan akan tercipta lebih banyak variasi calon presiden dan mencegah calon tunggal, memungkinkan pemilih untuk memiliki pilihan yang lebih beragam.
Dengan demikian, memberi ruang bagi regenerasi kepemimpinan yang lebih inklusif dan representatif.
Keputusan MK telah menciptakan gelombang besar dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Kontestasi demokrasi melalui pemilihan umum yang selama ini didominasi dan hegomoni partai-partai besar, kini seluruh partai tanpa kecuali akan memiliki peluang yang sama.
Dengan penghapusan ambang batas pencalonan presiden sejumlah pihak akan diuntungkan, terutama yang sebelumnya terhambat oleh ketentuan ini.
Pertama, dari sisi partai politik, partai-partai kecil menjadi pihak yang paling diuntungkan. Mereka tidak harus berkoalisi dengan partai-partai besar untuk memenuhi syarat pencalonan.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, partai kecil selalu mengekor pada partai besar. Partai-partai kecil terpaksa bergabung pada dominasi dua kekuatan besar.
Hal ini tentu mengurangi keberagaman dalam kontestasi politik. Partai kecil kerap kali menjadi bagian dari kekuatan lebih besar, bukan kekuatan politik yang mandiri.
Kedua, bagi pemilih atau masyarakat, keputusan ini tentu akan membuka peluang untuk lebih banyak pilihan kandidat dari berbagai latar belakang, visi dan program dari seluruh partai politik.
Demokrasi yang selama ini eksklusif dan berpihak pada partai-partai besar, kini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pemilih dan memperkuat legitimasi presiden terpilih.
Ketiga, berimplikasi pada regenerasi kepemimpinan nasional. Proses ini akan mempercepat regenerasi kepemimpinan karena membuka peluang bagi figur-figur potensial yang sebelumnya terhambat ketentuan ambang batas untuk berkompetisi.
Dengan demikian, kualitas demokrasi juga akan meningkat di mana lebih banyak pilihan yang tersedia bagi pemilih dan mereka dapat memilih calon paling sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka.
Di sisi lain, penghapusan Threshold juga memunculkan tantangan baru. Salah satunya adalah risiko fragmentasi suara.
Dengan banyaknya kandidat yang maju dalam kontestasi, suara pemilih bisa terpecah sehingga mempersulit proses konsolidasi politik dan pelembagaan pemilu di negeri ini.
Sementara itu, presiden terpilih dari partai kecil dengan kekuatan parlemen yang sangat terbatas berpotensi menimbulkan instabilitas politik.
Sistem Pilpres tanpa threshold juga membuka pintu munculnya kandidat-kandidat yang hanya berbasis pada populisme tanpa program yang jelas.
Perkembangan media sosial turut mendukung munculnya kandidat yang hanya sebatas populer. Dalam konteks ini, bisa jadi popularitas lebih diprioritaskan daripada kapabilitas kandidat, pada akhirnya bisa merugikan kualitas dan regenerasi kepemimpinan nasional.
Penghapusan threshold juga menjadi tantangan bagi partai besar yang selama ini mendominasi kontestasi pemilu di Indonesia.
Tanpa adanya ambang batas pencalonan, partai-partai besar yang biasanya mengontrol akses ke pemilihan presiden harus menghadapi situasi di mana banyak calon potensial dari partai kecil dapat mengajukan diri tanpa kendala ambang batas.
Tentu hal ini mengurangi kekuatan dominan mereka dan memperlebar peluang bagi partai-partai lain yang selama ini dipandang sebelah mata dalam kontestasi di tingkat nasional.
Di sisi lain, sistem baru ini bisa mendorong partai besar untuk lebih inovatif dalam menjaring figur pemimpin berkualitas, memperkuat strategi politik mereka, serta memperhatikan aspirasi masyarakat yang lebih luas.
Hal ini akan menciptakan dinamika politik yang lebih kompetitif dan demokratis di masa depan.
Namun, partai-partai besar tetap memiliki keunggulan dalam hal infrastruktur politik, sumber daya manusia, dan dana kampanye dibandingkan partai kecil.
Keputusan ini juga dapat mendorong partai-partai untuk lebih fokus pada kaderisasi dan pembangunan basis dukungan yang kuat.
Tanpa aturan threshold, partai harus benar-benar memilih kandidat yang mampu bersaing berdasarkan kualitas, bukan hanya strategi koalisi politik.
Dalam jangka panjang, penghapusan ambang batas dapat menjadi katalisator bagi reformasi politik yang lebih luas. Demokrasi Indonesia memiliki peluang untuk menjadi lebih kompetitif dan inklusif.
Namun, keberhasilan sistem tanpa threshold sangat bergantung pada literasi politik masyarakat, keadilan dalam regulasi pemilu, serta komitmen semua pihak untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Peran literasi politik menjadi sangat penting kaitannya dengan penghapusan batas pencalonan prediden.
Bisa dibayangkan berapa banyak kandidat dalam kontestasi pemilihan presiden yang diusung oleh seluruh partai politik peserta pemilu?
Oleh karena itu, literasi politik yang memadai akan membantu masyarakat atau pemilih untuk memahami perbedaan, mengevaluasi para kandidat, dan membuat pilihan yang lebih bijaksana.
Dengan penghapusan ambang batas, pemilih akan dihadapkan pada lebih banyak informasi yang perlu dipahami. Ada kemungkinan kontestasi politik akan menjadi lebih kompleks, dengan lebih banyak calon dari berbagai kelompok atau ideologi.
Literasi politik memungkinkan pemilih untuk menyaring informasi yang benar dan relevan, sehingga mereka tidak terjebak dalam janji-janji kosong atau narasi populis.
Selain itu, literasi politik berperan penting dalam menjaga kualitas demokrasi. Ketika lebih banyak calon yang muncul, masyarakat perlu memahami dampak dari pilihan politik yang diambil, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Pemilih dengan literasi yang baik akan lebih cerdas dalam menilai visi, misi, dan rekam jejak dan pengalaman calon presiden, serta memahami bagaimana setiap calon berpotensi memengaruhi sistem pemerintahan dan kebijakan publik.
Dalam konteks penghapusan ambang batas, literasi politik bukan hanya tentang memahami siapa calon-calon yang ada, tetapi juga bagaimana mereka berinteraksi dengan sistem politik yang lebih luas.
Oleh karena itu, penguatan literasi politik menjadi hal krusial dalam menghadapi pemilu yang lebih terbuka dan kompleks.