MK Tegaskan Perkawinan di RI Harus Berdasarkan Agama atau Kepercayaan
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan untuk menghapus kolom agama di e-KTP hingga di syarat sah perkawinan. MK menyatakan perkawinan tidak sah tanpa agama atau kepercayaan yang dianut oleh warga negara.
"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan perkara 146/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025).
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan UU perkawinan harus dipahami secara utuh dan tidak parsial. MK menilai, sesuai dengan amanat UUD NKRI 1945 dan Pancasila, perkawinan tidak dapat terlepas dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan perlakuan diskriminatif," kata hakim konstitusi Arief Hidayat.
Arief pun menegaskan, tanpa adanya agama atau kepercayaan yang dianut oleh warga negara, tidak akan ada perkawinan yang sah. Sebab, dalam pasal 28B ayat 1 UUD NRI 1945 telah disebutkan dalam membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan harus melalui perkawinan yang sah.
Arief mengatakan perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai ekspresi beragama atau berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Maka, kata dia, hal itu dapat dikategorikan sebagai forum eksternum, di mana negara dapat menentukan tata cara dan syarat-syaratnya.
"Dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) a quo, negara pun menyerahkannya kepada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa," jelasnya.
"Oleh karena itu, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dari syarat sahnya perkawinan," sambung dia.
Simak juga Video ‘Pernikahan Anak Penghapus Harapan Masa Remaja’
[Gambas Video 20detik]
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
MK menegaskan beragama atau berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa ialah sebagai wujud karakter bangsa. Sebab itu, menurut MK, warga negara tidak bisa memilih untuk tidak beragama atau tidak berkepercayaan.
"Tidak ada ruang bagi warga negara untuk memilih tidak beragama atau tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan pembatasan yang proporsional dan bukanlah bentuk diskriminasi terhadap warga negara. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah tidak beralasan menurut hukum," tuturnya.
Sebelumnya, Warga bernama Raymond Kamil dan Indra Syahputra mengajukan gugatan terhadap sejumlah pasal dalam beberapa undang-undang, termasuk Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk), yang mengatur urusan agama warga. Keduanya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan warga tidak menganut agama.
Para pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan sejumlah aturan yang menurut mereka mengharuskan warga negara untuk beragama atau menganut agama. Mereka merasa ada ketidakpastian perlindungan bagi warga gara-gara keharusan itu.
"Hak konstitusional para pemohon yang tidak memeluk agama dan kepercayaan dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang menjadi objek permohonan dan kerugian bersifat aktual dan/atau menurut penalaran yang wajar dapat terjadi dan memiliki hubungan sebab-akibat yang nyata," demikian ujar pemohon seperti dilihat dari risalah persidangan, Rabu (23/10).
Simak juga Video ‘Pernikahan Anak Penghapus Harapan Masa Remaja’
[Gambas Video 20detik]