Momen Rapat Perdana Natalius Pigai dengan DPR, Singgung Peran Oposisi hingga Diperingatkan Yasonna Laoly
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menghadiri rapat kerja perdananya bersama Komisi XIII DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (31/10/2024) kemarin.
Pada kesempatan ini, Pigai mengulas perjalanannya dari seorang aktivis dan mantan oposisi sebelum masa pemerintahan Prabowo Subianto, hingga menjabat sebagai menteri di Kabinet Merah Putih.
Selain itu, ia juga menjelaskan alasannya ingin mengajukan permohonan tambahan anggaran Rp 20 triliun yang sebelumnya memicu kontroversi.
Singgung latar belakang oposisi
Pigai membuka rapat dengan memperkenalkan diri kepada setiap fraksi di Komisi XIII DPR dan mengenang peranannya selama ini sebagai oposisi.
Saat menyapa perwakilan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Pigai menyebut dirinya memiliki kemiripan dengan fraksi tersebut karena sama-sama dikenal sebagai oposisi pada masa pemerintahan sebelumnya.
"Saya lebih kenal Fraksi PKS ya, karena kita sama-sama selama ini oposisi," ujarnya di hadapan para anggota Komisi XIII DPR.
Pigai kemudian menegaskan bahwa jabatan menteri yang kini diembannya bukanlah penghargaan karena perannya yang pernah menjadi oposisi.
Sebagai mantan komisioner Komnas HAM, ia merasa memiliki pengalaman dan kompetensi yang diperlukan untuk memimpin Kementerian HAM.
"Saya menjadi menteri bukan karena saya oposisi, tapi karena saya diterpa oleh mereka yang ada di pemerintahan. Jadi, saya berpandangan itu sebagai sebuah dinamika," kata Pigai.
Setelah itu, Pigai pun menyampaikan harapannya untuk memperkuat isu-isu HAM di mata publik dan parlemen. Ia menilai, selama ini isu HAM masih dianggap kurang relevan oleh banyak pihak.
"HAM itu di ujung pandangan dan jangkauan DPR RI yang terhormat. Mungkin tidak ada imajinasi HAM dalam DPR selama saya bergulat sebagai aktivis HAM, dan baru kali ini ada imajinasi dalam memori pimpinan dan anggota DPR," ujar dia.
Alasan ingin anggaran Rp 20 triliun
Di hadapan Komisi XIII DPR, Pigai menjelaskan alasannya ingin meningkatkan anggaran Kementerian HAM dari Rp 64 miliar menjadi Rp 20 triliun yang sempat menjadi perbincangan publik beberapa waktu lalu.
Menurut dia, tambahan anggaran ini dibutuhkan untuk memperkuat struktur dan program kementerian, termasuk penambahan staf hingga 2.544 orang, pembangunan Universitas HAM, serta sosialisasi HAM hingga ke tingkat desa.
"Saya mau membumikan HAM seantero nusantara. Ini program yang menyentuh individu langsung, mengubah mindset 280 juta orang," kata dia.
Dalam wacana tersebut, Pigai menerangkan bahwa untuk menambah pegawai dan tunjangan saja, dibutuhkan dana lebih dari Rp 1,2 triliun.
Sementara untuk program penyuluhan di desa-desa, Pigai ingin membentuk 83.000 kelompok HAM yang masing-masing diberi dana Rp 100 juta.
"Dari 83.000 kelompok yang basisnya itu di pedesaan yang kita siapkan. Satu kelompok atau satu wilayah saya kita kasih Rp 100 juta, maka (butuh) Rp 8,3 triliun pak. Ini tuh untuk sosialisasi di masyarakat lokal dan basis bawah," ujar dia," ujar Pigai.
Yasonna ingatkan Pigai realistis
Namun, keinginan Pigai mendapat tanggapan kritis dari anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PDI-P Yasonna Laoly. Dia mengingatkan Pigai untuk lebih realistis dalam menyusun anggaran kementerian.
Meski mengapresiasi semangat Pigai sebagai seorang aktivis HAM, Yasonna menekankan pentingnya menyesuaikan usulan anggaran dengan kondisi ekonomi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbatas.
"Sejak awal tentunya tadi dengan penjelasan latar belakang sebagai aktivis orang yang berjuang di jalur HAM, semangatnya cukup baik dan kita apresiasi. Tapi semangat aja nggak cukup pak menteri, dari pengalaman-pengalaman. Realitas juga kita harus lihat," kata Yasonna.
Sebagai mantan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna juga mengingatkan Pigai agar memperhatikan defisit APBN dan kondisi ekonomi global yang mungkin memengaruhi anggaran pemerintah.
Politikus PDI-P itu kemudian menceritakan pengalamannya memimpin Kementerian Hukum dan HAM dengan anggaran yang terbatas selama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Tahun 2024 anggarannya itu semua Rp 18,3 triliun, yang paling besar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan hampir 35.000 pegawai existing itu. Dirjen PAS dengan segala kompleksitasnya itu hanya sekitar Rp 5 triliun saja," kata Yasonna.
Kerja sama selesaikan pelanggaran HAM
Selain soal anggaran, Yasonna juga meminta Pigai untuk bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu.
Ia mengingatkan Pigai agar tak memiliki pandangan berbeda dengan Menko Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra, terutama dalam mencari pendekatan penyelesaian pelanggaran HAM non yudisial yang efektif.
"Ini nanti barangkali jangan sampai berbeda pendapat dengan Pak menko, Menko hukum Pak Yusril. Karena ada statement beliau juga kemarin antara bapak dengan beliau harus duduk bersama dulu supaya ada kesepakatan, jangan nanti tidak harmoni,” tutur Yasonna.
Ia mencontohkan kerja sama antara kementerian/lembaga terkait yang dijalankan saat menjadi Menkumham.
Salah satu kasus yang diselesaikan secara non yudisial pada pemerintah era Presiden Joko Widodo adalah tragedi Talangsari 1989.
"Sehingga model penyelesaian Talangsari kita lakukan dalam pendekatan non yudisial, diberikan pendidikan bahkan ada waktu itu PNS yang sudah dipecat karena dituduh kita pulihkan kembali, hak-haknya diberikan," kata Yasonna.
Pigai menanggapi itu dengan menegaskan komitmennya untuk memastikan program Kementerian HAM berjalan sesuai koridor HAM, termasuk berperan dalam pengawasan kebijakan pemerintah agar tetap menghormati hak-hak masyarakat.
"Kami adalah pembangunan, maka kami mendorong akselerasi mulai dari program sampai dengan pelaksanaan, kami harus ikut turut serta agar kebijakan-kebijakan pemerintah secara keseluruhan tidak menabrak atau berjalan di atas koridor HAM," ungkap Pigai.
Pada akhir rapat, Pigai menegaskan bahwa kementeriannya tidak memiliki program kerja 100 hari. Ia ingin fokus pada pencapaian jangka panjang selama lima tahun ke depan.
"Kalau 100 hari, hari ke 101 nanti diam semua, enggak ada yang kerja lagi. Saya menempatkan lima tahun sebagai kondisi emergency, dan pasukan saya harus siap melayani kebutuhan rakyat semuanya," kata dia.